Jakarta, Ekorantt.com– Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) memulangkan 12 Pekerja Migran Indonesia (PMI) kelompok rentan dari Malaysia pada 10 Juni 2024 lalu.
Plt. Asisten Deputi Bidang Pelayanan Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus (AMPK) Kemen PPPA, Atwirlany Ritonga mengatakan, tim layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) telah melakukan penjemputan, penampungan sementara di rumah aman SAPA, tracing keluarga, dan pelayanan lainnya yang dibutuhkan sesuai hasil asesmen.
Ia merincikan ke-12 PMI tersebut antara lain, empat ibu dan delapan anak dari Jawa Tengah, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat dan Sumatera Selatan.
“Mereka ditampung sementara di rumah aman SAPA dan menerima serangkaian proses pelayanan yaitu asesmen bagi korban dan keluarga oleh psikolog klinis dan pekerja sosial yang disediakan oleh Kemen PPPA,” jelas Atwirlany dalam keterangan tertulis yang diterima awak media, Sabtu, 15 Juni 2024.
Menurut dia, penanganan kasus 12 PMI kelompok rentan ini berawal dari rujukan Kementerian Luar Negeri melalui Direktorat Jenderal Perlindungan Warga Negara Indonesia (PWNI) dan KBRI Kuala Lumpur Malaysia pada akhir Mei 2024.
Atwirlany mengatakan, rata-rata PMI mengalami berbagai permasalahan terkait keimigrasian, seperti bekerja tanpa visa, pekerja imigran ilegal, overstay, dan dugaan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Pemerintah Malaysia melakukan deportasi mereka setelah menjalani proses masa tahan.
Kemen PPPA, kata dia, berkomitmen untuk memberikan perlindungan dan pelayanan terbaik bagi WNI/PMI, khususnya kelompok rentan seperti ibu dan anak.
Hal ini sesuai dengan amanat Perpres Nomor 65 Tahun 2020 yang memberikan penambahan tugas pelayanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan.
“Sinergi antar-kementerian/lembaga (K/L) juga dilakukan dengan Ditjen Capil Kemendagri terkait perekaman biometrik dan pencatatan sipil WNI/PMI guna identifikasi kependudukan dan domisili tercatat ibu serta anak sesuai,” pungkas Atwirlany.
Harus Damping secara Intens
Ketua dewan pembina Lembaga Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian (Padma) Indonesia Gabriel Goa meminta Kemen PPPA agar tidak hanya memulang 12 WNI kelompok rentan tersebut.
Namun lebih dari itu yakni Kemen PPPA harus mendampingi secara intens terutama psikologis, kesehatan, rohani, dan pendampingan hukum Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), termasuk reintegrasi.
“Sehingga mereka tidak terjebak bujuk rayu lagi oleh mafia human trafficking ke Negeri Jiran,” ujar Gabriel.
Khusus untuk penegakan hukum TPPO, dia mendesak Polri untuk segera menangkap pelaku dan aktor intelektual pengiriman TKI agar menimbulkan efek jera.
Selain itu, lanjut Gabriel, pemerintah baik pusat maupun daerah segera melakukan upaya antara lain, pertama, membentuk gugus tugas pencegahan dan penanganan TPPO.
Kedua, membangun layanan terpadu satu atap untuk pekerja migran. Ketiga, membangun Balai Latihan Kerja (BLK) PMI profesional bekerja sama dengan lembaga agama dan perusahaan pengerah PMI yang legal dan profesional bukan abal-abal bagian dari jaringan human trafficking.
Ke depan menurut dia, presiden terpilih Prabowo Subianto wajib membentuk Badan Nasional Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang (BNP TPPO) karena Indonesia sudah masuk kategori darurat human trafficking.
“Perlu keseriusan Presiden Prabowo selamatkan anak-anak Indonesia korban TPPO dengan modus operandi online scam (penipuan internet) yang sudah mencapai 60.000 orang tersebar di Kamboja, perbatasan Myanmar dan Thailand, serta Philipina,” tutup Gabriel.