Alex Wulohering dan Ikhtiar Melestarikan Bahasa Edang

Jangan sampai karena sikap kita yang tidak mau lagi menggunakan bahasa Edang, bahasa kita akhirnya tergerus oleh bahasa asing

Oleh: Gerardus Kuma Apeutung

Manusia adalah makhluk yang berbicara. Sebagai homo languens, manusia membutuhkan bahasa. Ya, bahasa adalah produk manusia sebagai homo languens.

Menurut Chaer (dalam Wahyuni, 2018) bahasa merupakan suatu sistem lambang berupa bunyi, bersifat arbiter, digunakan oleh suatu masyarakat tutur untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri.

Di dunia ini ada beragam bahasa yang digunakan. Setiap bangsa memiliki bahasa sendiri. Bahkan dalam suatu negara setiap daerah mempunyai bahasa masing-masing. Sebagaimana di Indonesia, terdapat 718 bahasa daerah. Di NTT, ada sekitar 86 bahasa daerah.

Secara kuantitatif, jumlah penutur setiap bahasa daerah sangat beragam. Ada bahasa daerah yang jumlah penuturnya relatif banyak. Ada bahasa daerah yang jumlah penuturnya sangat sedikit. Bahkan ada bahasa daerah yang tidak ada lagi penuturnya.

Ini artinya ada bahasa daerah yang sudah punah dan ada yang berada di ambang kepunahan. Apabila tidak ada upaya merawatnya, bahasa daerah tersebut hanya tinggal menunggu waktu untuk hilang dari Nusantara.

Fanny Henry Tondo melalui artikel “Kepunahan Bahasa-Bahasa Daerah: Faktor Penyebab dan Implikasi Etnolinguistis” dalam jurnal Masyarakat dan Budaya, Vol.11 Nomor 2 Tahun 2009, mengutip Wurm (1998) (dalam Crystal, 2000) mengklasifikasi kondisi “kesehatan” bahasa dalam beberapa tahap.

Pertama, potentially endangered languages, bahasa yang secara sosial ekonomi tergolong minoritas serta mendapat tekanan cukup besar dari bahasa mayoritas. Generasi mudanya sudah mulai berpindah ke bahasa mayoritas dan jarang menggunakan bahasa daerah.

Kedua, endangered languages, bahasa yang tidak mempunyai lagi generasi muda yang dapat berbahasa daerah. Penutur yang fasih hanya kelompok menengah (dewasa).

Ketiga, seriously endangered languages, bahasa yang penuturnya hanya generasi tua berusia 50 tahun ke atas. Keempat, moribund languages, bahasa yang dianggap sekarat karena hanya dituturkan beberapa orang sepuh berusia 70 tahun ke atas. Kelima, extinct languages, bahasa yang dianggap punah karena penuturnya hanya satu orang.

Ancaman kepunahan bahasa-bahasa daerah disebabkan oleh beberapa faktor. Fanny Henry Tondo dalam artikel yang sama, mengelompokkannya dalam dua kategori yaitu faktor alamiah dan non-alamiah.

Faktor alamiah dapat berupa bencana alam, pengaruh bahasa mayoritas, komunitas bahasa yang bilingual atau multilingual, pengaruh globalisasi, migrasi, dan perkawinan antaretnik. Sementara faktor non-alamiah seperti kurangnya penghargaan terhadap bahasa daerah, pengaruh faktor ekonomi, dan pengaruh pemakaian bahasa Indonesia.

Kita harus merasa prihatin atas kondisi bahasa-bahasa daerah di Nusantara yang saat ini menghadapi ancaman kepunahan yang sangat serius. Karena bahasa menunjukkan jati diri penuturnya. Kepunahan bahasa (daerah) berarti kehilangan jati diri masyarakat penutur daerah tersebut.

Keprihatinan akan hilangnya jati diri inilah yang mendorong Alex Wulohering untuk merawat bahasa ibunya, bahasa Edang. Upaya itu dilakukannya dengan menulis buku berjudul “Pengantar Linguistik Nariq Edang Sebuah Kajian Tentang Struktur Internal Bahasa Kedang”.

Alex menulis, “Penulisan buku ini adalah ikhtiar atau ‘langkah kecil’ dalam merawat dan melestarikan bahasa Kedang sebagai warisan budaya dan penanda jati diri atedi’en Edang.”

Kita perlu memberi kredit yang lebih pada upaya Alex Wulohering merawat bahasa Edang. Karena penulisan buku ini dilakukan saat menjalani masa pensiun. Tidak seperti kebanyakan orang yang menjalani masa pensiun dengan bersenang-senang, Alex justru memanfaatkan waktu di usia senja usai menjalani karier sebagai PNS dengan menulis buku.

Menulis tentang bahasa Edang yang tidak berkaitan langsung dengan latar belakang pendidikan dan pekerjaannya, dan hanya bermodalkan kemampuan sebagai native speaker tentu membutuhkan usaha lebih dalam menyusun buku ini. Apresiasi!

Ada dua alasan yang mendorong Alex Wulohering menulis tentang bahasa ibunya (nariq Edang). Pertama, kerisauannya atas fenomena di mana banyak penutur asli bahasa daerah tertentu mulai menelantarkan bahasa ibunya dengan tidak lagi memakainya dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan ada yang tidak lagi mengindahkan kaidah-kaidahnya.

Kedua, dewasa ini perkembangan bahasa asing dengan jumlah penutur yang fantastis menjadi ancaman serius akan eksistensi bahasa daerah yang jumlah penuturnya sangat sedikit. Di tengah gempuran bahasa asing ini, penting untuk merawat bahasa daerah sebagai sebuah kekayaan kebudayaan.

Bahasa Edang merupakan bahasa daerah yang digunakan oleh etnis Edang yang hidup di pulau Lembata. Etnis Edang mendiami bagian Timur pulau Lembata. Wilayah ini meliputi dua kecamatan: Omesuri dan Buyasuri dengan luas 274, 74 kilometer persegi.

Robert H. Barnes (1974) sebagaimana dikutip Alex (2024) mengatakan bahwa bahasa Kedang merupakan bahasa tersendiri dan bukan merupakan sebuah dialek dari bahasa-bahasa di sekitarnya.

Di Lembata, bahasa Edang dianggap unik dan paling sulit untuk dikuasai. Menurut Yapi Taum dalam pengantar buku ini, bahasa Edang merupakan salah satu cabang bahasa yang memiliki karakteristik tersendiri, yang dibedakan dari cabang bahasa Lamaholot yang digunakan di wilayah Kabupaten Lembata.

Berdasarkan data BPS Lembata, pada tahun 2022 jumlah penduduk yang mendiami wilayah Kedang sebanyak 41.236 jiwa. Mereka ini adalah penutur asli bahasa Edang. Dengan jumlah penutur sebanyak ini, bahasa Edang relatif aman dari ancaman kepunahan.

Namun situasi ini tidak boleh membuat kita lengah dalam merawat eksistensi bahasa Edang. Ke depan pengaruh bahasa asing yang menggerus keberadaan bahasa daerah semakin nyata. Mesti ada upaya serius merawat bahasa Edang.

Saya teringat saat Sekolah Dasar dulu pada awal tahun 1990-an, kami (anak-anak sekolah) dilarang menggunakan bahasa daerah (Edang) di sekolah. Semua orang wajib berbahasa Indonesia saat berada di lingkungan sekolah. Bila ketahuan menggunakan bahasa Edang, ada sanksi yang diberikan.

Saat itu, penguasaan bahasa Indonesia memang menjadi momok bagi anak-anak kampung. Maklum, bahasa daerah (Edang) merupakan bahasa yang digunakan dalam percakapan sehari-hari. Sehingga sulit bagi anak-anak dalam menguasai bahasa Indonesia. Bahkan sampai tamat SD pun ada anak yang belum mampu berbahasa Indonesia dengan baik dan lancar.

Berbeda dengan kondisi sekarang, karena pengaruh perkembangan teknologi dan informasi, penetrasi second language sudah masuk hingga ke kampung-kampung. Saat ini, anak-anak usia SD sudah bisa berbahasa Indonesia.

Bahkan bagi anak-anak tertentu, mother language mereka adalah bahasa Indonesia bukan bahasa Edang. Artinya dalam percakapan sehari-hari di rumah, anak-anak tidak lagi menggunakan bahasa Edang, tetapi bahasa Indonesia. Suatu kondisi yang terbalik.

Kondisi ini memaksa kita untuk tidak boleh lagi menunda-nunda usaha merawat bahasa Edang. Kalau dulu bahasa daerah dilarang penggunaannya di sekolah, sekarang harus diwajibkan untuk digunakan pada hari-hari tertentu, Rabu dan atau Sabtu, misalnya. Atau apabila perlu, dalam kelas yang siswanya homogen, bisa menggunakan bahasa daerah sebagai pengantar dalam pembelajaran.

Bahasa Edang juga perlu diajarkan kepada anak-anak sekolah di Kedang. Sehingga Bahasa Edang tidak hanya digunakan sebagai sebuah pengetahuan biasa tetapi lebih dari itu harus dikuasai sebagai sebuah pengetahuan yang bersifat ilmiah. Yaitu terkait dengan aspek-aspek kebahasaan.

Untuk tujuan ini, buku Pengantar Linguistik Nariq Edang karya Alex Wulohering sangat direkomendasikan karena memuat aspek-aspek kebahasaan nariq Edang secara komprehensif yang meliputi fonologi, morfologi, sintaks, dan semantik sehingga membantu siswa mempelajari dan memahami bahasa Edang dengan lebih baik.

Buku ini terdiri atas enam bab. Bab satu mengantar pembaca untuk mendalami linguistik dan bahasa sebagai objek kajian linguistik. Bagian ini berisi pengetahuan dasar dalam mempelajari ilmu bahasa sekaligus pengantar untuk mendalami pokok-pokok bahasan selanjutnya.

Bab dua dan tiga mengulas tentang fonologi yaitu bunyi bahasa. Bagian ini diawali ulasan tentang fonologi, fonetik, dan fonenim sebagai landasan untuk teoretis untuk membahas fonem bahasa Edang.

Bab empat mengkaji tentang morfologi yaitu bagaimana kata bahasa Edang dibentuk yang meliputi morfem, kata, proses morfologis, dan morfofonemik.

Bab lima tentang sintaksis Nariq Edang yaitu bagaimana kalimat dalam bahasa Edang dibentuk secara gramatikal dan bermakna. Bagian ini mengkaji pengertian sintaksis, lingkup bahasan sintaksis, struktur sintaksis, satuan-satuan sintaksis bahasa Edang. Bab terakhir mengulas tentang semantik yaitu makna kata dalam bahasa Edang yang meliputi semantik gramatikal dan semantik leksikal (hal. 10-11).

Selain melalui pengajaran di sekolah, generasi Edang masa kini juga dituntut untuk harus memiliki rasa bangga menjadi penutur bahasa Edang. Di tengah fenomena yang menghinggapi generasi muda masa kini di mana ada kesan modern dan keren bila menggunakan bahasa asing; sebaliknya, memakai bahasa daerah akan dicap kampungan dan ketinggalan zaman, generasi muda Edang harus menjadi garda terdepan merawat bahasa Edang.

Jangan sampai karena sikap kita yang tidak mau lagi menggunakan bahasa Edang, bahasa kita akhirnya tergerus oleh bahasa asing. Dan hanya tinggal nama saja. Kalau kita tidak bisa menulis tentang bahasa Edang sebagaimana dilakukan Alex Wulohering, cukuplah kita generasi muda Edang menjadi penutur aktif yang bangga menggunakan bahasa Edang dalam komunikasi setiap hari. Hanya dengan demikian, eksistensi bahasa ibu kita, bahasa Edang akan tetap terawat. Kalau bukan kita yang merawatnya, siapa lagi?


*Gerardus Kuma Apeutung lahir di Leuwayan, Kedang, Lembata. Saat ini mengabdi di SMPN 3 Wulanggitang, Hewa, Flores Timur

spot_img
TERKINI
BACA JUGA