Angka Stunting di Flores Timur: Alami Penurunan, Namun Belum Signifikan

Nikolaus berujar, jika dilihat dalam kurun waktu empat tahun terakhir jumlah penderita stunting mengalami penurunan, namun belum signifikan.

Larantuka, Ekorantt.com – Bappeda Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT) mencatat, jumlah balita stunting di Flores Timur sebanyak 3.184 orang atau 18,1 persen dari total balita 17.697.

Fungsional Perencana Bidang Pemerintahan dan Pembangunan Manusia (PPM) pada Bappeda Flores Timur, Nikolaus Narek Kopong mengatakan, angka ini berdasarkan hasil pengukuran pada Agustus 2023.

“Untuk tahun 2024 kita belum dapat angkanya karena nanti akan diukur kembali pada bulan Agustus,” ujar Nikolaus kepada media di Larantuka, Senin, 8 Juli 2024 lalu.

Nikolaus berujar, jika dilihat dalam kurun waktu empat tahun terakhir jumlah penderita stunting mengalami penurunan, namun belum signifikan.

Misalnya, pada 2020 prevalensi stunting di Flores Timur sebesar 22,7 persen atau 3.974 dari total balita 19.289 orang. Pada 2021, prevalensi stunting 20,9 persen atau 3.696 dari total balita 19.002.

Kemudian, di 2022 prevalensi stunting sebesar 18,7 persen atau 3.412 dari total balita 18.490. Sementara pada 2023 prevalensi stunting 18,1 persen atau 3.184 dari total balita 17.697.

“Trennya memang menurun tapi tidak signifikan,” kata dia.

Nikolaus mengatakan ribuan balita stunting ini tersebar di semua kecamatan. Hanya ada dua desa di Kecamatan Wotan Ulumado yang tidak memiliki kasus stunting.

Kedua desa itu yakni Nayubaya dan Tobilota. Selama dua tahun terakhir angka stunting nol.

Atas prestasi ini Pemkab memberikan penghargaan dan mengundang mereka menyampaikan testimoni penanganan stunting.

Menurut Nikolaus, kasus stunting bisa berubah sesuai kondisi lapangan dan hasil kerja tim di puskesmas dan desa.

Dia menerangkan ada sejumlah aksi konvergensi penanganan stunting. Misalnya, pada aksi tujuh seharusnya ada audit kasus stunting.

Audit ini penting dilakukan sehingga bisa menganalisis penyebab masalah. Dengan begitu pola intervensi akan berbeda.

“Hanya pada kenyataannya audit itu belum maksimal. Intervensi selama ini seperti program pemberian makanan tambahan (PMT) itu belum optimal,” ujarnya.

Dia menjelaskan pemerintah telah mengeluarkan petunjuk teknis terbaru bahwa penderita stunting wajib dirujuk ke rumah sakit umum untuk diperiksa dokter ahli.

Kemudian, pemerintah desa harus mengintervensi anggaran untuk penanganan anak stunting dan underweight atau berat badan kurang untuk seusianya.

Sementara penanganan anak gizi kurang, melalui dana bantuan operasional kesehatan (BOK) ke setiap puskesmas senilai Rp5 miliar lebih.

“Khusus untuk gizi buruk Pemkab telah menganggarkan dana alokasi umum (DAU) melalui Dinas Kesehatan,” ujar dia.

Nikolaus menambahkan penanganan stunting di Flores Timur terus dioptimalkan. Targetnya, pada 2045, Flores Timur zero (nol) stunting.


Penulis: Risto Jomang

spot_img
TERKINI
BACA JUGA