Petani ‘Tersingkir’ dari Tanahnya Sendiri

Di pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), kasus perampasan tanah, pengusiran, dan pemaksaan dengan cara kekerasan dapat ditemukan.

Oleh: Patrisius. E. K. Jenila

Kasus tentang warga (petani) kehilangan tanah telah banyak dikemukakan. Di bawah ekspansi kapitalisme, tanah mudah dipindahtangankan dengan berbagai cara.

Ada banyak sekali fakta di lapangan yang menceritakan tanah milik petani hilang begitu saja. Prosesnya berlangsung secara terbuka, dengan cara pemaksaan, pengusiran, maupun lewat berbagai instrumen kekuasaan yang ingin merampas tanah milik warga.

Konflik agraria dengan model seperti ini bisa ditemui di banyak tempat. Di pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), kasus perampasan tanah, pengusiran, dan pemaksaan dengan cara kekerasan dapat ditemukan. Misalnya, kasus masyarakat adat di kabupaten Manggarai, tepatnya di kampung Poco Leok, mengandung dimensi kekerasan dan penyerobotan paksa tanah dan lahan warga untuk kepentingan proyek geotermal.

Pemakaian kekerasan dalam upaya merampas dan menghakmiliki suatu bidang tanah sudah merupakan metode yang kerap ditemui. Biasanya, ketika dialog terbuka tak menemui kesepakatan bersama, kekerasan selalu dipilih sebagai metode yang dengannya ‘yang punya kuasa’ dapat memaksa pihak lain (petani). Cara kekerasan, yang umumnya dipakai oleh negara, melibatkan aparat negara (Polisi dan Tentara), dianggap efektif.

iklan

Namun, cara kekerasan terbilang ketinggalan zaman. Sebab, cara itu lebih berisiko dan merugikan satu sama lain. Karena itu, tak lagi efektif.

Maka jalan lain yang ditempuh untuk merampas tanah ialah dengan melibatkan mafia-mafia tanah, yang berperan dalam proses perampasan dan pengambilalihan hak tanah pihak lain. Prosesnya berlangsung sedemikian rupa, melibatkan banyak pihak dengan berbagai ‘modus operandinya’.

Edi Hardum dalam artikelnya ‘Siapa Biang Kerok Mafia Tanah di Labuan Bajo?’ (selengkapnya; https://floresa.co/perspektif/analisis/64872/2024/06/10/siapa-biang-kerok-mafia-tanah-di-labuan-bajo) mengatakan bahwa banyak pihak terlibat dalam jaringan mafia tanah di Labuan Bajo. Menurut Edi, “mafia tanah melibatkan banyak pihak, mulai dari tua adat abal-abal, oknum di BPN, notaris hingga aparat.”

Jaringan mafia tanah di Labuan Bajo, menurut Edi, terbentuk karena posisi Labuan Bajo sebagai kota pariwisata super premium, yang mendorong wisatawan domestik dan mancanegara berkunjung di Labuan Bajo. Dengan sendirinya, menurut Edi, peredaran uang juga meningkat, yang juga akhirnya mendorong orang memiliki tanah untuk bisnis penginapan dan restoran mewah.

Pertanyaannya, apakah masalah agraria di Flores semata soal keterlibatan langsung negara (dan korporasi) merampas tanah milik warga, seperti di Poco Leok? Apakah juga masalah agraria yang mendera warga di Flores, semata soal jaringan keterlibatan mafia tanah, seperti yang terjadi di Labuan Bajo?

Tanpa mengurangi perspektif agraria di atas, persoalan agraria di Flores juga berkelindan dengan penghidupan sehari-hari petani. Tulisan ini mengambil rute yang sedikit berbeda dalam menjelaskan problem agraria yang mendera warga (petani) di Flores.

Prosesnya berlangsung lewat hidup sehari-hari yang tak dikenali, tetapi membawa dampak (sangat) serius bagi dinamika agraria dan kelangsungan hidup petani.

Kisah Sehari-hari yang Tak Disadari

Berbekal penelitian etnografis selama 20 tahun di wilayah perbukitan Lauje, Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng), Tania Murray Li (cet.2, 2022), memperlihatkan suatu temuan menarik tentang persoalan agraria dan kelangsungan hidup masyarakat (petani) di Lauje. Dalam bukunya ‘Kisah dari Kebun Terakhir; Hubungan Kapitalis di Wilayah Adat’, Tania Li, menunjukkan bahwa “proses yang menyebabkan mereka (petani) kehilangan kendali atas lahan [….], justru seperti keadaan sehari-hari”.

Demam komoditas kakao di wilayah perbukitan Lauje telah mendorong mereka (petani) menanam kakao dengan harapan ‘mengubah nasib’. Lahan pertanian produktif akhirnya ditanami kakao, dengan harapan mereka mampu melepas jerat dari kemiskinan.

Padahal, sebagaimana dicatat Li, tanaman jangka panjang ini (kakao), justru “[….] mengakibatkan individualisasi hak atas lahan dan membentuk hubungan kapitalis yang membuat kemampuan mereka bertahan hidup diatur oleh prinsip persaingan dan laba”.

Lahan pertanian yang semula ditanami jagung, pisang, kelapa, sayur, dan jenis tumbuhan yang mampu memberi mereka makan di saat musim kering, justru tergantikan dengan ditanami kakao.

Bagi petani kapitalis, dengan kepemilikan tanah yang luas, tanaman seperti kakao menguntungkan. Tetapi, bagi petani dengan lahan terbatas, yang lahan pertaniannya telah ditanami tanaman jangka panjang, hidup mereka akhirnya bergantung pada utang-piutang untuk menutupi kebutuhan sehari-hari.

Pada ujungnya, sebagaimana dicatat Tania Li, demam komoditas kakao justru menciptakan ketimpangan agraria yang mengerikan di kalangan masyarakat perbukitan Lauje. Tekanan utang yang terus membengkak, mendorong mereka untuk menjual tanah dan berpindah ke bagian pedalaman (Li, 2022).

Tak berhenti di situ, menurut Li, demam komoditas kakao juga mengundang migrasi orang-orang dari ‘wilayah luar’ untuk ‘memiliki lahan pertanian’ di wilayah perbukitan Lauje, yang menyebabkan masyarakat terdepak dari tanah mereka.

Orang-orang luar, sebagaimana yang ditemukan Tania Li, telah turut serta dalam mencari pusat ekonomi baru di wilayah perbukitan Lauje, yang mendorong jual-beli lahan pertanian.

Dinamika Agraria dan Penghidupan Petani di Flores

Menurut saya, temuan Tani Li memiliki kesamaan dengan konteks dan dinamika agraria di pulau Flores. Demam komoditas telah mendorong sebagian petani menanami lahan pertanian mereka dengan tanaman jangka panjang. Dengan motivasi untuk mengubah nasib dan menyekolahkan anak-anak, tanaman jangka panjang dipilih sebagai suatu yang menjanjikan secara ekonomis.

Di beberapa wilayah Manggarai Timur, seingat saya, di tahun 2021, demam porang sangat masif. Bahkan, setiap rumah tangga petani memiliki tanaman jenis ini, karena dianggap laku dijual, harga pasar yang menjanjikan, serta pekerjaan yang dianggap mudah untuk dikerjakan. Tak heran, para petani mulai mencari bibit porang dan menanamnya di kebun milik mereka.

Selain tanaman porang, di setiap kebun petani di Flores memiliki tanaman kakao, cengkih, kopi, dan banyak tanaman jangka panjang lain. Para petani bergantung pada tanaman ini untuk menghidupi keluarga dan menyekolahkan anak-anak mereka. Tanaman ini merupakan penopang ekonomi keluarga di sebagian masyarakat Flores dan satu-satunya cara untuk mengubah nasib dari belenggu kemiskinan.

Seperti juga yang dikaji Tani Li di wilayah perbukitan Lauje, di Flores para petani juga menanggung persoalan yang sama persis akibat demam komoditas. Bulan-bulan di mana kakao, cengkih, atau kopi tak berbuah, sebagian petani terpaksa harus meminjam uang di bank dan koperasi. Mereka berharap, tahun depan ketika kakao, cengkih atau kopi berbuah, mereka dapat melunasi sebagian utang mereka di bank dan koperasi.

Tetapi nyatanya, utang itu justru makin membengkak dan membebankan mereka (petani). Beban utang yang menumpuk karena pinjaman pokok plus bunga pinjaman, telah menempatkan petani dalam apa yang disebut sebagai ‘keterbatasan pilihan’ antara mempertahankan lahan pertanian atau menjual kepada pihak lain untuk melunasi utang, atau juga membiarkan pihak debitur (bank dan koperasi) mengambil tanah mereka.

Persis, menurut saya, pola perampasan yang ‘secara pelan-pelan dan diam-diam’ telah menyeret petani dalam kondisi yang makin memprihatinkan. Tanah mereka (petani) tak diambil oleh negara atau oleh korporasi skala besar untuk membangun suatu proyek. Tidak diambil oleh para mafia tanah, dengan cara memanipulasi sertifikat tanah. Tetapi, oleh yang Tania Li sebut sebagai “kondisi yang tak terkenali”, tetapi mengandung dimensi perampasan lahan.

Di lain pihak, ekspansi kapitalisme di sektor pertanian telah mendorong para petani makin kompetitif dan berorientasi mencari laba sebanyak-banyaknya. Tak hanya kompetitif, ekspansi kapitalisme di sektor pertanian juga menciptakan ketimpangan agraria di kalangan petani.

Emilianus Y. S Tolo (2019) dalam artikelnya di BASIS (No. 11 – 12, Tahun ke-68, hl.29 – 35) berjudul ‘Sengkarut Agraria di Flores’, “dalam lintasan sejarah di Flores, ketimpangan agraria ini telah menciptakan pelbagai persoalan dalam masyarakat sejak dulu hingga kini.

Kehadiran Negara

Persoalan petani dan dinamika agraria di Flores, membutuhkan perhatian semua pihak. Dalam posisi petani yang makin rentan dimangsa pasar, petani di Flores hidup dalam ‘kecemasan’ akan hidup mereka. Cemas jika sewaktu-waktu tanah mereka diambil oleh pihak debitur, karena tak mampu membayar utang.

Menurut saya, inilah realitas hidup petani kita di Flores saat ini. Keterbukaan pasar yang makin masif, yang mendorong petani dari berbagai ‘kelas’ dapat mengakses pasar, justru mengandung dimensi ‘penyingkiran’ bagi petani yang tak punya modal untuk bersaing.

Persis, petani berada dalam ruang pasar semacam ini. Karena itu, kehadiran negara, lebih tepatnya intervensi negara atas kelangsungan hidup petani sangat penting, untuk menekan laju petani kehilangan lahan produktif mereka.

Pertama, negara mesti melihat bahwa persoalan petani berakar dari ‘tekanan struktural’ dan ‘tekanan pasar’ yang membuat mereka makin kehilangan tanah garapan. Cara pandang ini berarti, tak meletakkan persoalan petani sebagai masalah di tingkat individu semata. Melainkan mendorong adanya kebijakan yang mengakomodasi kepentingan petani.

Kedua, negara dan pihak gereja Katolik di Flores harus memastikan agar setiap rumah tangga petani memiliki lahan pertanian yang cukup untuk produktivitas pertanian. Ini artinya, negara harus menjamin akses atas lahan pertanian oleh para petani di Flores. Mereka harus diberikan akses pada ketersediaan lahan pertanian demi menjamin hidup mereka.


*Alumnus Universitas Merdeka Malang dan saat ini tinggal di Jakarta

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA