Melihat Kunjungan Paus Fransiskus dari NTT

Sejauh mana sinode-sinode keuskupan berhasil menganimasi umat agar mempunyai kesadaran dan kepedulian yang sejalan dengan keprihatinan dasar Injil dan visi Paus Fransiskus?

Oleh: Ve Nahak*

Dua kali dalam beberapa baris, Pembukaan Undang-undang Dasar Anda merujuk kepada Allah yang Maha Kuasa dan perlunya berkat Allah turun atas negara Indonesia yang baru lahir. Dengan cara yang sama, kalimat pembuka Undang-undang Dasar Anda merujuk dua kali pada keadilan sosial,” demikian kata Paus Fransiskus dalam audiensinya di istana Negara bersama Presiden Jokowi, Rabu, 4 September 2024.

Paus mengapresiasi refleksi para pendiri bangsa ini yang melihat, di satu sisi, dimensi teologis UUD yang menekankan intervensi Allah dalam sejarah Indonesia, namun di sisi lain, perlunya komitmen etis dan politik untuk mewujudkan keadilan sosial bagi semua orang.

Kunjungan Paus Fransiskus – tokoh global pemerhati isu perdagangan orang (Susilo, Kompas, 4/9/2024) – membangkitkan kembali memori publik NTT akan janji para peserta KTT ke-42 ASEAN di Labuan Bajo setahun silam.

Dalam pertemuan tersebut (10-11/5/2023) para kepala negara mencanangkan komitmen bersama: perang terhadap perdagangan orang.

Presiden Jokowi, sebagai tuan rumah, mendesak anggota ASEAN mengadopsi dokumen kerja sama penanggulangan perdagangan orang. Presiden menyadari bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan korban perdagangan orang terbanyak di Asia Tenggara (Kompas, 9/5/23).

Pilihan pada Labuan Bajo sebagai tempat pertemuan penting itu seolah memberi sinyal harapan bahwa NTT sebagai salah satu zona merah kasus perdagangan orang di Indonesia bakal mendapat perhatian lebih. Kebetulan pula, setahun sesudah komitmen tersebut diteken, Paus Fransiskus menetapkan berdirinya keuskupan baru di kota pariwisata super premium tersebut.

Studi Kasus di Maumere

Sepekan sebelum kunjungan Paus Fransiskus, ramai diberitakan di media sosial demonstrasi berbagai elemen masyarakat yang menuntut pembatalan pelantikan seorang anggota DPRD Sikka berinisial YS alias Joker.

Ia adalah tersangka kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) puluhan pekerja migran asal NTT di Kalimantan. Aksinya telah menewaskan seorang pekerja migran asal Maumere (Floresa.co, 26/8/2024).

Lambannya penanganan kasus tersebut mendorong TRUK Maumere, mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat turun ke jalan (Bdk. Ekorantt.com, 13/5/2024). Salah satu aksi demonstrasi yang menyita perhatian publik ialah orasi beberapa biarawan-biarawati berjubah untuk “menghalangi” parade jas berdasi para wakil rakyat menuju Gedung Kula Babong pada 26 Agustus 2024 lalu. Aksi berjubah sekelompok demonstran dikritisi banyak pihak karena dinilai tidak tepat sasar.

Namun, sebagaimana penampilan Paus Fransiskus dalam acara penjemputan di Bandara Soekarno-Hatta sampai dengan akomodasinya di Kedutaan Vatikan dibaca secara simbolik, menurut penulis, kostum para demonstran dan para wakil rakyat di Sikka pun mesti juga diberi ruang tafsir simbolis.

Tuntutan mereka yang turun ke jalan tidak lain ialah amplifikasi dari gagasan-gagasan pokok Paus Fransiskus untuk membela hak para korban perdagangan orang (Susilo, Kompas 4/9/2024). Pembiaran seorang tersangka TPPO melenggang kangkung ke gedung wakil rakyat merupakan sinyal kaburnya nurani dan pupusnya harapan masyarakat.

Kasus ini menegaskan anggapan umum bahwa mati-hidupnya warga adalah urusan privat. Salah kaprah semacam ini tentu perlu diluruskan lewat advokasi yang getol dan bernafas panjang.

Tampilnya para demonstran di ruang publik pada momen pelantikan wakil rakyat tentu penting untuk membangkitkan kembali kesadaran bahwa nasib masyarakat sipil ialah tanggung jawab Negara.

Dalam pidato pada kesempatan pertemuan bersama para Uskup, klerus, seminaris dan biarawan-biarawati di Katedral Jakarta (Rabu, 4/9/2024), Paus Fransiskus pada satu bagian meminta agar dokumen-dokumen penting diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Sentilan Paus tersebut menantang Gereja untuk mentransfer pokok-pokok ajarannya melampaui sekat-sekat ruang akademis. Dalam hal ini aksi demonstrasi untuk mengadvokasi kebijakan publik yang “berjubah” Gereja perlu dilihat dari sisi upaya diseminasi haluan-haluan ajaran Gereja dalam isu tertentu.

Tentu dalam jangka panjang, Gereja lokal perlu memikirkan ulang model pastoral di bidang politik. Sejauh mana sinode-sinode keuskupan berhasil menganimasi umat agar mempunyai kesadaran dan kepedulian yang sejalan dengan keprihatinan dasar Injil dan visi Paus Fransiskus? Bagaimana keprihatinan dalam isu-isu aktual di NTT bisa dikonversi sebagai sebuah gerakan kolosal?

Dalam kacamata saya, terdapat benang merah amat kasat mata yang menghubungkan seruan moral dalam demonstrasi mendesak pertanggungjawaban Negara atas kasus YS di Maumere, komitmen Presiden Jokowi di Labuan Bajo dan spirit Paus Fransiskus untuk membela hak-hak dasar para korban.

Dalam arti itu, euforia penyambutan Paus Fransiskus tidak boleh berhenti hanya pada perasaan terharu-biru di level permukaan. Sebagai warga Gereja kita perlu melampaui tindakan karitatif yang dangkal. Paus menegaskan hal ini dalam sambutannya di hadapan para Uskup di Katedral Jakarta, Rabu (4/9/2024).

“Kita tahu bahwa bela rasa tidak dibatasi saja pada memberi sedekah pada saudara-saudari yang membutuhkan sambil memandang rendah mereka dari menara rasa aman dan keberhasilan kita. Sebaliknya, bela rasa mendekatkan kita satu dengan yang lain, menghapuskan segala sesuatu yang menghalangi kita untuk turun menyentuh mereka yang ada di bawah, mengangkat mereka dan memberikan mereka harapan (Fratelli Tutti 70). Terlebih, bela rasa berarti merangkul mimpi dan hasrat mereka akan kebebasan dan keadilan, memelihara mereka, mendukung mereka sambil melibatkan orang lain, memperluas jaring dan batas-batasan untuk menciptakan kekuatan kasih yang luas dan besar.” (Kompas TV, 4/9/2024).

Prioritas Pengalaman

Stephen Bevans mengatakan, dalam berteologi pengalaman manusia hari ini mendapat prioritas di hadapan Tradisi dan Alkitab. Hal ini karena pada dasarnya Kitab Suci berisi refleksi atas pengalaman konkret orang Israel dengan Allah yang mereka imani (Bevans 2010, 229).

Dalam nada interogasi kita bisa meminjam sentilan Peter Ben Smit, “Kalau kiranya Alkitab itu berisi pengalaman manusia akan Allah, lantas bagaimana dengan pengalaman aktual manusia hari ini?” (Smit, Spronk, dan van der Ham, 2022: 16).

Salah satu pengalaman yang mendominasi ziarah iman orang-orang NTT hari ini ialah pengalaman para perantau yang “gagal” dan pulang kampung (Prior, 2015). Ketimpangan ekonomi antara Jawa dan luar Jawa di satu sisi dan mudahnya mobilitas penduduk membawa para pencari kerja dari NTT ke luar pulau.

Namun, rendahnya pendidikan, impitan kemiskinan, dan abainya perhatian Negara menambah kerentanan mereka. Pengalaman mereka adalah juga realitas perbudakan yang layak disisipkan dalam kanon Alkitab.

Di layar kaca televisi nasional dan Youtube kita menyaksikan sebuah cuplikan yang bisa menjadi karikatur dari realitas getir yang sedang kita hadapi di NTT.

Dalam kunjungannya Paus Fransiskus selalu didampingi seorang putra NTT sebagai penerjemah. Sang Pastor adalah wakil dari minoritas perantau NTT yang terdidik, sukses, dan berhasil duduk di lingkaran dalam Vatikan.

Namun, di balik layar pemberitaan media tersembunyi wajah lebam Meriance Kabu yang dihantam benda keras karena tergiur bujuk rayu para pendoa yang menjanjikan nasib baik di Malaysia (BBC, 2/3/23) atau teriakan Yodimus Moan Kaka (40) dari dalam kubur yang mati kelaparan di Kalimantan karena terbujuk rayuan YS (Floresa.co, 12/4/2024).

Kita menghadapi semacam paradoks: menebah dada karena bangga dan sekaligus terenyuh karena hidup kebanyakan umat kita ternyata begitu pahit.


*Penulis adalah dosen di Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif (IFTK) Ledalero

spot_img
TERKINI
BACA JUGA