Belajar dari Kepemimpinan Paus Fransiskus

Kita berharap, para calon dan mereka yang sudah menggenggam kekuasaan sungguh terinspirasi oleh jiwa kepemimpinan paus yang sederhana, peduli, dan berpihak kepada orang-orang miskin

Oleh: Yantho Bambang*

Kedatangan Paus Fransiskus ke Jakarta baru-baru ini telah memunculkan banyak tanggapan positif dari kalangan masyarakat Indonesia. Ada yang senang karena bisa bertemu secara langsung dengan beliau, ada yang merasa kagum karena melihat kesederhanaan beliau, dan ada juga yang merasa bangga karena Paus Fransiskus punya perhatian khusus, bukan hanya terhadap umat Katolik melainkan terhadap bangsa Indonesia secara keseluruhan.

Tanggapan-tanggapan tersebut memang patut diapresiasi karena itu menandakan bahwa bangsa Indonesia merindukan sosok yang patut diteladani.

Paus Fransiskus adalah sosok pemimpin yang patut diteladani karena ia memiliki jiwa kepemimpinan yang jauh berbeda dengan pemimpin-pemimpin politik di Indonesia. Jiwa kepemimpinan Paus Fransiskus tercermin dalam tiga hal.

Pertama, kesederhanaan. Kesederhanaan Paus Fransiskus tercermin dalam cara hidupnya yang tidak biasa. Kendati seorang pemimpin, ia tidak sungkan-sungkan melakukan pelayanan yang mungkin dalam kaca mata banyak orang paling rendah dan hina, yakni mencuci atau membasuh kaki orang lain.

Tindakan membasuh kaki memang umum di kalangan para imam Katolik pada saat misa Kamis Putih kepada 12 orang yang dipilih menjadi rasul. Namun apa yang berbeda dengan Paus Fransiskus ialah Ia juga membasuh kaki orang lain yang bukan beragama Katolik.

Pada tahun 2013, misalnya, ia membasuh kaki dua perempuan dan dua umat muslim di suatu penjara di Roma (CNN Indonesia, Rabu, 4 September 2024). Tindakan tersebut kemudian menjadi bagian dari pelayanan pastoralnya sebagai Paus.

Tidak hanya itu, beberapa sikap lain yang juga mencerminkan sikap kesahajaan beliau misalnya, menolak tinggal di apartemen kepausan yang mewah yang biasa ditempati oleh para paus terdahulu, memilih tinggal di kediaman Vatikan bersama para imam dan umat yang berkunjung, dan juga menolak menggunakan mobil paus yang mewah dengan memilih naik kereta dan mobil murah (Ibid.). Kesederhanaan inilah yang membuat paus Fransiskus dikagumi oleh banyak orang.

Kedua, kepedulian. Paus Fransiskus juga adalah sosok pemimpin yang peduli. Sebagai seorang gembala, ia tidak pernah menutup diri terhadap realitas yang dialami oleh para domba.

Jeritan dan tangisan para domba selalu ditanggapi dengan hati yang berbelas kasih. Seperti Sang Gembala Agung (Yesus), ia bahkan menebarkan perhatiannya bukan hanya terhadap umat Katolik tetapi juga terhadap umat-umat lain atas nama kemanusiaan.

Setiap kali ia mendengar, membaca, dan melihat realitas pelik yang dialami oleh masyarakat global yang tertimpa bencana, baik itu bencana perang maupun bencana alam, ia akan senantiasa mengekspresikan rasa belas kasihannya kepada mereka.

Ia bahkan tidak segan-segan berbicara atas nama kemanusiaan dan mengutuk segala macam bentuk tindakan yang merugikan hak dan martabat dari mereka-mereka yang menjadi korban atau tumbal kebengisan perang.

Kepedulian terhadap sesama yang menderita dan yang kecil, bagi Paus Fransiskus merupakan kebajikan yang sangat penting dan harus diusahakan oleh setiap orang.

Usaha meningkatkan spirit kepedulian, bagi Paus Fransiskus itu penting mengingat virus yang menyebar dewasa ini, yang oleh dia sendiri sebut sebagai virus indifference atau “virus ketidakpedulian.”

Virus indifference menyebar bersamaan dengan munculnya semangat individualisme dan materialisme. Individualisme menekankan kemerdekaan manusia serta kepentingan bertanggung jawab terhadap diri sendiri.

Sementara materialisme menekankan harta benda. Harta benda lebih penting dari pada keluarga kemanusiaan dan Tuhan. Di tengah gejala ini, spirit kepedulian mesti bangkit.

Ketiga, keberpihakan. Jiwa keberpihakan Paus Fransiskus tampak dalam sikapnya yang mengakomodasi orang-orang miskin, terlantar, dan terpinggirkan.

Dalam beberapa kesempatan, ketika melakukan kunjungan ke negara-negara Barat dan Eropa, ia berulang kali mengingatkan para pemimpin di negara-negara tersebut untuk mengakomodasi para imigran dan pengungsi (refugees).

Dalam ensiklik Fraterli Tutti, ia menyoroti fakta tentang kehidupan para imigran dan pengungsi di seluruh dunia. Ia memperlihatkan bagaimana mereka berjuang bukan hanya untuk bertahan hidup (survive) tetapi juga untuk mempertahankan martabat dan hak-hak asasi mereka.

Mereka adalah orang-orang kalah yang hemat Paus Fransiskus harus diterima (welcomed), dilindungi (protedted), dipromosi (promoted), dan diintegrasi (integrated) (Donal Door, The Pope Francis Agenda, 2018, p. 87).

Diterima, menurut beliau artinya, membuka gerbang atau sekat-sekat antar negara dan menyambut para imigran dan pengungsi secara legal. Kemudian dilindungi artinya, langkah untuk melindungi dan membela hak-hak dan martabat mereka. Dan dipromosi artinya usaha untuk memastikan bahwa semua imigran, pengungsi, serta komunitas-komunitas yang menyambut mereka diberdayai untuk mencapai potensialitas mereka sebagai manusia.

Sementara itu, integrasi berfokus pada peluang-peluang untuk menginterkulturasikan kekayaan budaya yang mereka bawa. Integrasi ini pun bukan untuk sebuah asimilasi yang menuntun para imigran untuk terpaksa melupakan identitas kultural mereka melainkan untuk memperkaya khazanah budaya untuk suatu peradaban baru (Ibid).

Bukan hanya itu, Paus Fransiskus juga bahkan mendorong para klerikus dan religius untuk memberikan perhatian mereka terhadap orang-orang miskin yang berada di tempat-tempat kumuh.

Paus menyerukan supaya mereka mencebur diri ke dalam realitas yang dialami oleh orang-orang miskin tersebut. Mereka seyogianya meninggalkan kursi empuk dan kenyamanan biara (comfort zone) untuk bergaul dengan orang-orang kecil dan terlupakan. Mereka harus berbau “seperti domba.”

Seruan-seruan Paus itu bukan hanya seruan kosong. Ia sendiri mengalami secara langsung bagaimana menjadi gembala yang berlibat dan berpihak. Seperti Yesus, Ia tidak hanya hadir untuk orang-orang benar tetapi juga untuk orang-orang berdosa.

Ia bahkan menyambut mereka yang telah lama diasingkan oleh Gereja sendiri. Inilah tipe pemimpin ideal yang dinanti-nantikan orang.

Pemimpin Politik di Indonesia

Lantas seperti apa tipe kepemimpinan dari para pemimpin kita di tanah air? Seperti yang sudah saya singgung pada bagian terdahulu bahwa jiwa kepemimpinan dari para pemimpin kita memang sangat jauh berbeda dengan jiwa kepemimpinan Paus Fransiskus.

Tiga hal yang bisa dikatakan untuk melukiskan gaya kepemimpinan dari para pemimpin kita.

Pertama, kemewahan. Tidak seperti Paus Fransiskus, para pemimpin di tanah air kita bisa dibilang mewah-mewah. Itu terlihat bukan hanya dari cara mereka hidup melainkan juga dari cara mereka memimpin.

Mereka tidak menunjuk diri sebagai pelayan yang melayani kepentingan masyarakat tetapi semata-mata sebagai pemimpin yang memerintah. Konsekuensinya masyarakat menderita karena segala kebutuhan dan suara-suara masyarakat diabaikan.

Mereka bahkan merampas hak-hak rakyat dengan melakukan sejumlah tindakan yang tidak demokratis seperti korupsi. Mereka tidak melayani kepentingan rakyat dengan sepenuh hati.

Demokrasi kemudian menjadi tidak tuntas karena demos sendiri dipinggirkan oleh oligarki yang menyusup dan menjadi penguasa.

Kedua, ketidakpedulian. Sikap ketidakpedulian juga menjadi karakter utama pemimpin kita. Sebelum menjabat sebagai kepala desa, bupati, gubernur, DPR, dan bahkan presiden mereka seolah-olah peduli dengan situasi dan realitas yang dihadapi oleh masyarakat.

Mereka tampil dengan retorika-retorika populis yang seolah-olah tahu tentang kebutuhan masyarakat. Namun ketika sudah menggenggam kekuasaan, janji-jani manis tersebut ditarik kembali. Mereka bahkan menutup diri terhadap realitas yang dihadapi masyarakat kecil karena mereka hanya fokus mengisi kantong pribadi dan kroni.

Ketiga, ketidakberpihakan terhadap orang-orang kecil. Inilah penyakit yang sering menggerogoti pemimpin kita. Alih-alih membantu pertumbuhan ekonomi, mereka bersekongkol dengan para pengusaha dan orang-orang kuat untuk mengais kekayaan negara.

Hukum dan institusi-institusi penting negara bahkan diabaikan demi menggapai keuntungan pribadi dan kelompok. Masyarakat akar rumput hanya menikmati ampas dari hasil kerja mereka karena orang-orang kuat itulah yang diprioritaskan.

Keteladanan Kepemimpinan Paus Fransiskus

Kedatangan Paus Fransiskus di Indonesia kiranya membawa angin perubahan bagi bangsa Indonesia khususnya bagi para pemimpin kita. Kunjungan beliau kiranya tidak hanya sekadar kunjungan biasa.

Kehadiran Paus kiranya memantik para calon dan pemimpin kita untuk belajar bagaimana menjadi seorang pemimpin yang sejati, pemimpin yang dinanti-nantikan orang.

Dan kita berharap, para calon dan mereka yang sudah menggenggam kekuasaan sungguh terinspirasi oleh jiwa kepemimpinan paus yang sederhana, peduli, dan berpihak kepada orang-orang miskin. Dengan begitu, mereka pun menjadi pemimpin yang ideal yang bisa mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana yang tercantum dalam UUD 1945.


*Penulis adalah biarawan Katolik Tinggal di Manila, Filipina

spot_img
TERKINI
BACA JUGA