Oleh: Ernestus Holivil
Rencana pemetaan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Poco Leok, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT), baru-baru ini menjadi sorotan publik. Proyek yang dianggap dapat menjadi bagian dari transisi energi bersih ini justru memicu gelombang protes dan penolakan dari berbagai elemen masyarakat.
Ironisnya, bentrokan antara warga dan aparat keamanan berujung pada dugaan penganiayaan jurnalis dan intimidasi masyarakat setempat.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang tujuan sebenarnya dari proyek geotermal – apakah proyek ini benar-benar untuk mendukung kesejahteraan masyarakat atau hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu?
Sebab, penolakan dan resistensi ini telah berkali-kali dilakukan warga lokal. Tetapi, pemerintah tetap bersikeras melanjutkan proyek tersebut dengan dalih memenuhi kebutuhan energi bersih.
Resistensi yang muncul ini bukan sekadar reaksi spontan, melainkan cerminan dari ketidakadilan yang dirasakan masyarakat lokal. Narasi green economy hanya upaya menyembunyikan arogansi kekuasaan segelintir elite, sementara masyarakat adat menanggung beban dampaknya.
Hal ini mencerminkan bagaimana kekuasaan dan kepentingan ekonomi berperan dalam menentukan siapa yang diuntungkan dan dirugikan dalam proyek geotermal
Hegemoni Kekuasaan dan Logika Kapitalisme Hijau
Dari perspektif ekonomi politik, proyek geotermal di Poco Leok menunjukkan kontradiksi dalam narasi transisi energi. Di satu sisi, energi terbarukan seperti panas bumi dipromosikan sebagai solusi untuk mengatasi krisis iklim.
Namun, di sisi lain, proyek semacam ini sering diimplementasikan tanpa mempertimbangkan keadilan sosial dan lingkungan.
Konsumsi air yang tinggi dalam produksi energi panas bumi, misalnya, menjadi masalah serius di Poco Leok. Sementara, Poco Leok sendiri merupakan daerah dengan ketersediaan air yang terbatas.
Selain itu, klaim ramah lingkungan seringkali tidak memperhitungkan hak-hak masyarakat adat yang tinggal di sekitar proyek. Hak atas tanah ulayat, yang memiliki makna sosial, budaya, dan spiritual, direduksi menjadi sekadar aset ekonomi untuk mendukung agenda pembangunan.
Penangkapan jurnalis dan tindakan represif terhadap warga menunjukkan bahwa ada elemen kepentingan privat yang kuat di balik proyek ini. Pemerintah, alih-alih menjadi pelindung rakyat, justru bertindak sebagai pelindung modal. Inilah yang disebut sebagai “state-corporate nexus” — sebuah hubungan yang erat antara pemerintah dan perusahaan untuk mengejar keuntungan, tetapi pada saat yang sama mengabaikan hak-hak masyarakat sipil.
Pemerintah, yang seharusnya melindungi hak-hak masyarakat, justru bertindak sebagai agen kekuatan kapitalis yang memaksakan agenda pembangunan dengan menggunakan kekuatan represif.
Inilah yang oleh Antonia Gramsci sebut sebagai hegemoni kekuasaan – pemerintah memanfaatkan narasi transisi energi bersih untuk melegitimasi proyek-proyek yang menguntungkan segelintir pihak. Betul-betul pemerintah beroperasi dalam kerangka kapitalisme hijau (green capitalism): alam dan manusia dieksploitasi demi kepentingan ekonomi.
Dalam kerangka kekuasaan yang hegemonik itu, narasi energi bersih proyek geotermal tampaknya menjadi alat legitimasi kekuasaan pemerintah. Kepentingan masyarakat diabaikan demi mencapai target ambisius untuk net zero emissions pada 2060, yang pada kenyataannya lebih menguntungkan para investor dan perusahaan energi.
Sementara, dampak sosial dan ekologis dari proyek ini diabaikan, termasuk hilangnya hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alam.
Dalam konteks ini, pemerintah tidak hanya gagal melindungi masyarakat, tetapi juga secara aktif berkontribusi pada pengabaian hak-hak mereka. Proyek ini mengakibatkan hilangnya kedaulatan masyarakat atas tanah ulayat dan sumber daya alam mereka, serta merusak ekosistem yang selama ini menjadi tumpuan hidup mereka.
Padahal, tanah ulayat bagi masyarakat adat tidak sekadar aset ekonomi, melainkan merupakan simbol identitas dan kehidupan spiritual yang sangat penting.
Tanah ini menjadi tempat masyarakat menjalani kehidupan sehari-hari, melakukan praktik budaya dan berinteraksi dengan alam. Dengan proyek yang merampas akses masyarakat terhadap tanah ini, pemerintah tidak hanya mengabaikan hak-hak mereka tetapi juga merusak ikatan sosial yang telah terjalin selama bertahun-tahun.
Dialog yang Konstruktif
Proyek geotermal di Poco Leok tampaknya akan semakin memanas jika pendekatan represif aparat terus dilakukan. Penganiayaan jurnalis dan intimidasi terhadap warga setempat menunjukkan bahwa ada kegagalan dalam menciptakan dialog yang konstruktif antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat lokal.
Untuk menghindari konflik berkepanjangan, pemerintah perlu mengadopsi pendekatan yang lebih inklusif dan adil. Keadilan sosial harus menjadi pilar utama dalam setiap narasi pembangunan, termasuk proyek energi terbarukan.
Setiap kelompok, terutama masyarakat yang terdampak langsung, menerima manfaat secara adil, tanpa ada pihak yang dirugikan. Masyarakat memiliki hak untuk mendapatkan kesejahteraan yang setara. Pemerintah perlu memastikan bahwa kesejahteraan masyarakat adat diutamakan dalam setiap tahap pembangunan.
Selain keadilan sosial, partisipasi inklusif merupakan komponen penting dalam setiap proyek pembangunan. Masyarakat adat, yang selama ini menjaga dan bergantung pada tanah ulayat, harus diberi kesempatan untuk menyampaikan pandangan, kekhawatiran, dan kebutuhan mereka.
Partisipasi inklusif tidak hanya memastikan bahwa proyek lebih responsif terhadap kebutuhan lokal, tetapi juga menghindari potensi konflik yang berkepanjangan.
Tanpa adanya keadilan sosial dan partisipasi inklusif, proyek energi terbarukan berpotensi memperkuat ketimpangan yang sudah ada. Tidak hanya merusak struktur sosial, tetapi juga menimbulkan ketidakpercayaan terhadap pemerintah dan proyek-proyek pembangunan yang seharusnya membawa manfaat bagi semua.
Oleh karena itu, dialog yang konstruktif antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat lokal menjadi kunci untuk menciptakan solusi yang adil dan berkelanjutan.
Pemerintah harus belajar dari resistensi yang muncul dan mengadopsi pendekatan yang lebih adil dan transparan. Hak-hak masyarakat adat harus dihormati, lingkungan harus dilindungi, dan manfaat dari proyek tersebut harus didistribusikan secara merata.
Hanya dengan pendekatan ini, pembangunan energi terbarukan dapat benar-benar berfungsi sebagai solusi bagi krisis iklim tanpa menciptakan krisis sosial baru.
*Penulis adalah Dosen Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang