Pilkada NTT Minus Isu Pendidikan

Seharusnya, para calon pemimpin NTT bisa lebih serius dalam merancang kebijakan pendidikan yang komprehensif

Jim Briand Kolianan*

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Nusa Tenggara Timur (NTT) 2024 menjadi momentum penting bagi masyarakat NTT untuk menentukan sosok pemimpin yang akan membawa NTT ke arah yang lebih baik dalam lima tahun ke depan.

Ketiga pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur NTT, yaitu Ansy Lema-Jane, Melki Laka Lena-Joni Asadoma, dan Simon Kamlasi-Adrianus Garu, berlomba memaparkan visi misi mereka yang dianggap paling tepat untuk menjawab permasalahan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat NTT.

Namun, jika dicermati lebih jauh, isu pendidikan sebagai salah satu fondasi utama pembangunan sumber daya manusia justru belum mendapatkan perhatian yang sepadan dari para calon pemimpin NTT ini. Padahal, NTT termasuk provinsi dengan tingkat kemiskinan yang masih tinggi dan kualitas pendidikan yang masih tertinggal dibandingkan provinsi lain.

Potret Buram

Kita mulai dengan melihat realitas obyektif kondisi NTT saat ini. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024, NTT menempati posisi sebagai salah satu provinsi dengan persentase penduduk miskin tertinggi di Indonesia, yaitu sebesar 19,48 persen. Angka ini jauh di atas rata-rata kemiskinan nasional sebesar 9,54 persen.

Tingginya angka kemiskinan ini tentunya berimplikasi pada rendahnya daya beli dan akses masyarakat terhadap pendidikan yang layak. Hal ini selaras dengan teori sosiologi tentang reproduksi ketimpangan yang diungkapkan oleh Pierre Bourdieu.

Menurut Bourdieu, sistem pendidikan cenderung melanggengkan ketimpangan sosial karena anak-anak dari keluarga miskin seringkali tidak memiliki modal ekonomi, sosial, dan budaya yang memadai untuk bersaing dalam arena pendidikan.

Kondisi pendidikan di NTT juga masih jauh dari kata ideal. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Indeks Pembangunan Manusia (IPM) NTT tahun 2023 sebesar 68,40, masih di bawah IPM nasional sebesar 77,29.

Komponen IPM yang paling rendah adalah Harapan Lama Sekolah (HLS) dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS). Artinya, anak-anak NTT belum memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan dalam jangka waktu yang cukup panjang.

Kualitas pendidikan juga tergambar dari hasil PISA (Programme for International Student Assessment) 2018. Hasil PISA untuk Indonesia menunjukkan rata-rata skor kemampuan membaca, matematika, dan sains yang lebih rendah dibanding negara-negara lain, apalagi di NTT sebagai salah satu provinsi tertinggal juga berkontribusi dalam menurunnya hasil PISA di Indonesia yang memiliki indeks pendidikan paling rendah dari provinsi-provinsi lain.

Hal ini mengindikasikan bahwa pembelajaran di sekolah-sekolah NTT belum mampu mengembangkan kompetensi dasar peserta didik secara optimal.

Masalah Pendidikan Terlupakan

Lantas, bagaimana para calon gubernur dan wakil gubernur NTT merespons masalah pendidikan ini?

Sangat disayangkan, di tengah gegap gempita kampanye, akar masalah pendidikan di NTT seolah terlupakan. Padahal, pendidikan adalah fondasi utama dalam membangun sumber daya manusia yang berkualitas. Tanpa pendidikan yang baik, mimpi tentang NTT yang sejahtera dan berdaya saing tinggi hanya akan menjadi angan-angan belaka.

Memang beberapa paslon menyinggung pentingnya pembangunan SDM dan peningkatan masyarakat yang cerdas. Tapi sejauh ini, belum terlihat adanya program yang benar-benar visioner dan menyasar pada akar masalah pendidikan di NTT. Program-program yang ditawarkan masih terlalu umum, normatif dan kurang ‘membumi’.

Seharusnya, para calon pemimpin NTT bisa lebih serius dalam merancang kebijakan pendidikan yang komprehensif. Mulai dari pemerataan akses pendidikan, peningkatan kualitas guru, penyediaan sarana prasarana yang memadai, hingga penyelarasan kurikulum berbasis kebutuhan dunia kerja. Semua aspek ini harus digarap secara holistik dan berkelanjutan.

Apalagi, pendidikan juga erat kaitannya dengan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal NTT. Sistem pendidikan yang ideal harus bisa mengakomodasi dan melestarikan local wisdom ini, bukan malah mengerusnya dengan kurikulum yang tidak kontekstual.

Pendidikan Khas NTT

Lalu, seperti apakah seharusnya arah kebijakan pendidikan NTT ke depan? Menurut hemat saya, pendidikan di NTT harus dibangun berbasis pada local genius dan potensi alam yang dimiliki.

Jika program yang ditawarkan masih berkiblat pada perspektif Jawa-sentris dan mengabaikan khazanah kearifan lokal, maka bukan tidak mungkin justru akan kontraproduktif dengan upaya memajukan daerah.

Kita tahu bahwa tantangan terbesar NTT adalah karakteristik lahan keringnya. Alih-alih mengeluhkan kondisi ini, mengapa kita tidak menjadikannya sebagai modalitas?

Sudah saatnya kurikulum pendidikan di NTT dirancang agar peserta didik memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk mengelola lahan kering secara produktif, misalnya melalui pertanian terpadu, sistem agroforesti, atau ekowisata berbasis alam. Dengan begitu, lulusan sekolah akan langsung dapat berkontribusi untuk mengatasi masalah kemiskinan dan ketahanan pangan di daerahnya.

Di samping itu, sektor pariwisata juga harus mendapat perhatian khusus. Keindahan alam dan budaya NTT adalah aset besar yang belum dieksplorasi secara optimal.

Ke depan, pendidikan pariwisata harus diarahkan untuk mencetak SDM yang tidak sekadar menjadi ‘pelayan wisatawan’, tapi mampu menjadi kreator industri wisata yang berdaya saing global dengan tetap menjaga nilai-nilai budaya lokal. Kurikulum berbasis ekowisata, geowisata atau desa wisata bisa menjadi alternatif.

Yang juga tak kalah penting, pendidikan harus dirancang inklusif dan merata hingga ke pelosok daerah. Jangan sampai anak-anak di daerah terpencil tidak memperoleh akses pendidikan yang berkualitas.

Diperlukan terobosan untuk menjangkau mereka, baik melalui sekolah mobile, pembelajaran jarak jauh, maupun pemanfaatan teknologi informasi secara cerdas sesuai kondisi setempat.

Gagasan ini selaras dengan perspektif struktural fungsional dalam sosiologi pendidikan, yang menekankan pentingnya pendidikan sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan sistem sosial yang lebih luas. Dengan merancang pendidikan yang inklusif dan adaptif terhadap karakteristik daerah, maka pendidikan dapat berkontribusi positif bagi pembangunan dan kohesi sosial di NTT.

Pilkada NTT 2024 seharusnya menjadi momentum bagi para calon pemimpin untuk tidak sekadar meraih kekuasaan, tapi juga memikirkan masa depan generasi muda NTT melalui pendidikan yang visioner dan kontekstual.

Visi-misi yang ditawarkan tidak boleh hanya menjadi retorika, tapi harus merefleksikan kepekaan terhadap akar masalah dan kearifan dalam melihat potensi daerah.

Hiruk pikuk pesta demokrasi jangan sampai melupakan substansi, bahwa tugas pemimpin adalah menghadirkan kebijakan yang memberi solusi. Dan pendidikan berkualitas adalah ‘solusi awal’ bagi kemajuan NTT di masa depan.

Karena itu, sudah saatnya para calon pemimpin NTT berani keluar dari retorika umum, menawarkan gagasan pendidikan yang otentik, berakar pada kearifan lokal, dan mampu menjawab tantangan zaman. Jika tidak, maka NTT akan terus terjebak dalam lingkaran kemiskinan dan keterbelakangan.

Pada akhirnya, kita berharap Pilkada NTT 2024 menjadi ajang kontestasi gagasan cerdas demi masa depan Flobamora yang lebih gemilang. Dan semoga pemimpin yang terpilih nanti benar-benar hadir sebagai sosok negarawan sejati yang memahami bahwa investasi di bidang pendidikan adalah jalan menuju kejayaan NTT di masa depan.


*Penulis adalah Dosen Ilmu Administrasi Negara Fisip Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang

spot_img
TERKINI
BACA JUGA