Dari ‘Oring’, Orang Hewa Flores Wujudkan Asa untuk Berdaulat Pangan

Masa paceklik bisa diantisipasi dengan baik karena stok pangan di oring mampu bertahan dua bahkan sampai tiga tahun

Larantuka, Ekorantt.comSepiring singkong rebus, kopi, dan irisan sambal tomat segar manis jadi kudapan pembuka obrolan kami tentang oring. Laki-laki dengan rambut beruban dan tatapan yang selalu awas itu terukur ketika bicara. Suaranya lantang, sesekali ia tertawa.

Adalah Benyamin Widin, 69 tahun, seorang yang menjadi bagian dari tokoh adat kampung Hewa. Selama masa mudanya ia pernah dua periode menjabat sebagai kepala desa, dari tahun 1992-2002.

“Oring itu bahasa kami di kampung Hewa sini, kalau dalam bahasa Indonesia itu lumbung pangan,” kata Benyamin membuka pembicaraan dengan Ekora NTT di Desa Hewa, Kecamatan Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur pada Kamis, 12 September 2024.

Oring atau rumah pangan itu menyerupai pondok kecil yang menyimpan beragam jenis pangan lokal masyarakat Hewa. Konstruksi bangunannya menggunakan material atau bahan-bahan lokal. Bambu dan kayu dari hutan sekitar membentuk kerangka yang kokoh untuk menopang oring. Sementara atapnya menggunakan alang-alang.

Di dalam oring, terdapat sebuah ruangan khusus lumbung pangan berdinding bambu sebagai tempat penyimpanan wadah-wadah berisi segala jenis pangan.

Area di sekitar ruangan itu merupakan area terbuka yang hanya ditutupi atap alang-alang. Di situ ada tempat perapian dan juga bale-bale, tempat orang untuk duduk dan melepas lelah setelah bekerja di ladang.

Benyamin merinci, di dalam lumbung ada wadah-wadah khusus menyimpan padi lokal jenis nalu mitan dan nalu meran (padi hitam dan padi merah). Padi-padi ini disimpan dalam wadah yang disebut dengan bakur, blekang, suket, teli, doler dan memuk. Nama-nama wadah ini merujuk pada ukurannya. Mulai dari yang paling besar sampai yang paling kecil.

Sementara untuk jagung, selain digelar di atas bale-bale juga diikat dan digantung tiang-tiang penyangga oring.

Menurut Benyamin, setiap kepala keluarga di Hewa memiliki oring. Sejak kanak-kanak, ia telah mengenal lumbung pangan yang ada di setiap ladang milik warga kampung.

“Dulu saya masih pemuda itu selain tiap rumah tangga punya oring di kebun masing-masing, tapi ada juga kebun suku sekaligus ada oring-nya juga,” kata Benyamin.

Walau begitu Benyamin menyimpan kecemasan, jangan sampai kelak sedikit demi sedikit oring bisa hilang dari ladang-ladang milik warga. Kecemasan itu beralasan mengingat adanya perubahan pola pertanian masyarakat setempat, dari hidup berladang beralih menjadi petani sawah.

Dulu, menurut Benyamin, petani hanya mengenal pola pertanian berladang dengan menanam berbagai jenis pangan dalam satu lahan yang sama. Saat musim panen, petani tidak membawa hasil pertanian ke rumah, tapi menyimpan padi, kacang, dan kacang di oring.

“Kalau dulu masih banyak yang tanam juga dengan jawawut tapi sekarang berkurang, paling banyak itu padi, jagung, kacang-kacangan, dan umbi-umbian.”

Petani hanya mengambil padi atau jagung secukupnya untuk dibawa ke rumah. Bila stok sudah berkurang, baru mengambil kembali di oring.

Sejak masuk pola pertanian sawah, petani perlahan-lahan mengabaikan “tradisi nenek moyang termasuk oring.” Terlihat di sawah-sawah tidak ada oring yang menjadi pondok sekaligus tempat menyimpan hasil panen petani.

Benyamin sendiri telah menggarap lahan sawah, walaupun masih tetap mengolah ladang kering sekaligus. Luas sawah yang dikerjakannya setengah hektare.

Dari sisi produktivitas, hasil panen dari sawah memang lebih banyak dibandingkan dengan hasil padi ladang, kata Benyamin. Namun bertani sawah membutuhkan ongkos produksi yang tidak kecil, demi membeli pupuk dan pestisida.

Sementara panenan dari ladang tidak sebanyak yang ia petik di sawah. Namun dengan adanya oring, manajemen persediaan hasil panenan tertata secara rapi.

“Ya, itu tadi padi banyak tapi cepat habis, hasil dari sawah itu simpan di karung ketika ambil itu angkat saja tapi kalau di oring ada aturan dan wadah khusus menyimpan pangan,” katanya.

Tidak ada aturan adat yang melarang padi sawah untuk disimpan di oring. Hanya saja petani Hewa tumbuh dalam tradisi berladang, dan oring menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dari tradisi itu.

Seorang ibu di Hewa sedang mengambil padi di Oring untuk kebutuhan pangan keluarga (Foto: Hengky Ola Sura/Ekora NTT)

Benyamin bilang, yang bertugas mengambil pangan dari oring itu pun adalah sang ibu. Ketika ia sakit dan tak bisa menjalankan peran mengambil pangan dari sana, anak perempuan tertuanyalah yang biasanya ditugaskan untuk mengambil.

Alasan dari tradisi ini, menurut Benyamin, adalah karena perempuan lebih tahu soal kebutuhan makan anggota keluarganya. Lebih jauh, masyarakat setempat memiliki mitos bahwa benih pangan berasal seorang perempuan, di mana dagingnya dicincang, lalu ditanam, kemudian tumbuh padi, kacang, jagung. Tidak heran urusan pangan selalu identik dengan pekerjaan perempuan, mulai dari menanam hingga memetik hasil panen.

Kalau ada kejadian luar biasa ketika perempuan tidak ada di rumah dan persediaan pangan menipis barulah bisa diambil sang kepala keluarga. Tapi hal ini hampir mustahil terjadi, kata Benyamin.

Antara Berladang dan Bertani Sawah 

Pemerintah Kabupaten Flores Timur bekerja sama dengan tentara, membuka lahan sawah seluas 200 hektare di Hewa pada 2016 silam. Sampai saat ini, hanya sekitar 40-an hektare yang digarap.

Thomas Uran dari Yayasan Ayu Tani Mandiri, mengatakan bahwa upaya pemerintah mencetak sawah sudah terjadi sejak tahun 1980-an. Sebagian warga mengikuti program pemerintah itu, namun tidak sedikit warga tetap bertahan dengan tradisi berladang hingga sekarang.

Thomas bilang, percetakan sawah menjadi semacam penanda waktu adanya pergeseran pola pertanian di Hewa. Petani diperkenalkan dengan tradisi bertani sawah yang belum pernah mereka lakukan sebelumnya.

“Ada memang yang kerja sawah tapi tidak sebanyak yang bekerja di ladang. Agak susah mengubah tradisi turun-temurun dari yang semula berladang lalu masuk sawah,” tutur Thomas.

Theresia Hale (48), seorang petani perempuan, menuturkan semangat masuk ke sawah pada masa awal percetakan sawah kini sirna. Hal itu terjadi karena pasokan air yang sangat minim akibat situasi iklim setempat yang kering.

“Ada mata air di sini tapi tidak cukup masuk ke sawah, harus dibagi lagi untuk kebutuhan air bersih untuk kami warga makan minum,” kata Theresia.

Theresia menunjukkan kepada Ekora NTT saluran irigasi yang mubazir di ladangnya. Penampang saluran irigasi kelihatan masih utuh tanpa ada kerusakan sedikit pun. Oleh petani setempat, saluran irigasi tersebut dipakai untuk akses jalan dari dan menuju ke kebun.

Dalam penelusuran Ekora NTT, dari 200 hektare lahan sawah yang dicetak oleh pemerintah, kurang lebih 30 persen lahan masih digarap. Sisanya, dibiarkan begitu saja, bahkan ada yang diolah kembali menjadi pertanian lahan kering.

“Saya tanam jagung pakai benih yang ada di sini. Saya tidak kerja sawah lagi,” kata Theresia.

Pengalaman berbeda dialami Benyamin. Pada 2023, dia memanen 70 karung padi sawah. Hasil panen anjlok pada 2024 karena kekeringan berkepanjangan. “Syukurlah kami masih ada oring di ladang.”

Persediaan pangan di oring bisa membuat Benyamin bernapas lega. Masa paceklik bisa diantisipasi dengan baik karena stok pangan di oring mampu bertahan dua bahkan sampai tiga tahun.

Perjuangan Petani Perempuan Hewa, Flores Melestarikan Benih Lokal Warisan Leluhur3
Bertani ladang merupakan tradisi bertani yang diwariskan leluhur orang Hewa. Masih banyak petani yang mengembangkan pola pertanian ini karena cocok dengan iklim setempat (Foto: Hengky Ola Sura/ Ekora NTT)

Dari Ekonomi Keluarga Hingga Stunting

Kepala Desa Hewa, Maria Herenggeka Niron mengamini pengalaman Benediktus. Baginya, oring membantu petani dalam hal pengaturan persediaan pangan terutama di tengah kondisi iklim yang tidak menentu.

“Ada keluarga bahkan punya sampai dua oring,” kata Maria.

Menukil data desa setempat, kata Maria, dari 1.540 penduduk di Hewa, hanya sekitar 368 warga yang menerima bantuan pangan sembako.

“Sampai dengan Agustus kemarin itu ada bantuan pangan sembako sebanyak 10 kilogram untuk warga, tapi itu tidak semua,” ucap Maria sembari menambahkan, warga berharap penuh dari persediaan pangan yang ada di oring.

Benedikta Beting Soge (47), seorang ketua tim penggerak pemberdayaan kesejahteraan keluarga (PKK) Desa Hewa memiliki cerita berbeda tentang oring. Sebagai orang tua tunggal, ia mampu membiayai pendidikan tiga anaknya. Dua anak tertuanya telah menamatkan pendidikan menengah atas. Putera pertamanya memilih tidak melanjutkan kuliah demi membantunya. Sedangkan anak nomor duanya akan masuk ke perguruan tinggi pada tahun 2025 nanti.

Dari hasil menjual beras hitam saja Benedikta bisa mendapatkan Rp3 rupiah dalam sebulan. Beras itu merupakan hasil panen dari tahun 2022 dan 2023 yang disimpan dalam sokal –tempat menyimpan padi yang ada di oring. Kalau dihitung dalam ukuran karung sekitar 40 karung padi gabah.

“Saya tumbuk lalu jual ke Pasar Boru pada hari senin. Saya jual bisa sampai 30 kilo. Satu kilo beras hitam sekarang itu mahal. Rp25 ribu per kilogram,” tutur Benedikta. Pesanan berasnya bahkan sampai tembus ke pasar Larantuka, ibu kota Kabupaten Flores Timur.

Hampir 99 persen dari 398 kepala keluarga di Hewa memiliki oring. Bila dikalkulasikan, setiap keluarga menjual 25 kilogram beras hitam atau beras merah dalam sepekan, maka uang yang masuk sebesar Rp750 ribu untuk setiap kepala keluarga.

Pemuda Hewa, Nong Lens Soge mengakui keuntungan dari menjual beras hitam dan beras merah mampu menafkahi keluarga dan pendidikan anak. Sejauh ini belum dijual ke luar kabupaten.

“Ya tidak semuanya juga harus dijual karena mesti dijaga juga untuk ketersediaan makan di rumah,” tutur Nong Lens.

Selain sisi ekonomi, oring  juga punya dampak yang tidak langsung bagi ketersediaan gizi warga desa. Demikian penjelasan Masni Bedanaen selaku Kepala Puskesmas Wulanggitang.

Jika dioptimalkan, kata Masni, berbagai jenis pangan lokal yang tersimpan di oring dapat menciptakan zero stunting di desa itu. Oring menyimpan cadangan karbohidrat, ditambah protein dari sayuran dan ternak seperti unggas yang dibudidaya di sekitarnya.

Ia menuturkan, sekitar 16 bayi dari 73 bayi di Hewa mengalami stunting. Angka ini akan turun bila pemerintah memanfaatkan pangan-pangan dari oring.

“Saya kira ini kalau diperhatikan baik, lumbung pangan itu sesungguhnya dapat menekan angka stunting dan jadi pelajaran berharga bagi desa-desa tetangga,” urai Masni.

Berdasarkan pengalaman Benedikta, selaku ketua PKK, rata-rata bayi yang terkena stunting datang dari keluarga yang tidak punya oring di ladang.

“Orang tuanya memang punya ladang sayangnya yang kena stunting itu tidak ada oring,” kata Benedikta.

Benedikta menduga, hal ini bisa terjadi karena pola konsumsi keluarga yang anaknya terkena stunting, melulu beras. Mereka mungkin tidak lagi mengonsumsi pangan yang beragam sebagaimana yang sudah diwariskan secara turu temurun.

Tumpukan jagung digantung di bawah atap oring untuk stok pangan saat paceklik (Foto: Hengky Ola Sura/Ekora NTT)

Jaga Kedaulatan Pangan

Ketua Program Studi Agroteknologi Fakultas Teknologi Pangan, Pertanian dan Perikanan Universitas Nusa Nipa Maumere, Yovita Yasintha Bolly menjelaskan kondisi pertanian lahan kering yang dominan di NTT tentunya memberikan peluang kepada masyarakat untuk dapat membudidayakan beragam jenis tanaman pangan secara bersama-sama dalam satu lahan pertanian.

Sulit apabila dipaksakan semua petani harus menanam padi sawah yang belum tentu adaptif terhadap kondisi lahan kering, kata Yovita.

Di sisi lain, sumber pangan lokal seperti jagung, pisang, umbi-umbian yang adaptif terhadap kondisi lahan kering harusnya juga merupakan upaya mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan.

“Pangan yang datang dari oring itu berkualitas karena distribusinya tidak panjang. Jadi untuk dikonsumsi pasti aman,” kata Yovita.

“Praktik berladang dengan membudidayakan varietas padi lokal, yang tentunya sudah beradaptasi dengan kondisi tanah dan iklim di daerah setempat, sehingga dapat mengurangi input bahan kimia seperti pupuk dan pestisida,” tambah Yovita.

Yovita mendorong pemerintah untuk memperkuat sistem pangan lokal, termasuk tradisi yang ada di dalamnya, demi mendukung sistem pangan di level nasional.

“Akomodir sistem pangan di daerah-daerah. Lakukan riset supaya ada landasan yang bagus untuk bangun sistem pangan kita,” kata dia.

Sebagai masyarakat adat, Benyamin terbuka terhadap setiap kebijakan pemerintah yang mendorong penguatan keberagaman pangan lokal. Alasan dia, masyarakat adat bertahan hidup sampai sekarang karena tradisi yang mereka rawat sejak dulu.

“Jangan terus-menerus kasih bantuan sembako, tapi bantu rawat oring kami supaya bisa kasih kami makan,” pungkasnya.

spot_img
TERKINI
BACA JUGA