Oleh: Patrisius. E. K. Jenila
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di seluruh wilayah Indonesia, termasuk di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) akan menentukan pembangunan daerah ini selama 5 tahun ke depan. Pada 27 November nanti, masyarakat di NTT akan memilih gubernur dan wakil gubernur sekaligus bupati dan wakilnya di kabupatennya masing-masing.
Apa yang menarik pada Pilkada NTT? Pertanyaan ini membawa kita masuk pada kompleksitas masalah yang dihadapi provinsi miskin ini. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) periode Maret yang dirilis pada 17 Juli 2024, persentase penduduk miskin di Provinsi NTT sebesar 19,48 persen.
Meskipun mengalami penurunan jika dibandingkan tahun 2023 sebesar 19,96 persen, tetapi angka ini tetap signifikan jika dibandingkan dengan provinsi lain.
Melihat data kemiskinan sebesar ini, kita bertanya mengapa NTT masih terjebak dalam lingkaran kemiskinan? Ini bukan sekali dua kali, namun jika membaca berbagai laporan tahunan BPS, kita mendapati fakta bahwa NTT tetap tergolong provinsi miskin.
Provinsi NTT selalu menempati posisi ketiga sebagai provinsi dengan tingkat kemiskinan paling besar di Indonesia.
Di mana letak persoalan utama yang menyebabkan provinsi ini tetap tergolong sebagai provinsi miskin? Sementara, sumber daya alam tersedia melimpah, yang merupakan modal dalam mendongkrak perekonomian NTT. Namun, mengapa sumber daya alam itu berbanding terbalik dengan kondisi rill yang dihadapi oleh warga NTT?
Tulisan ini menyoroti masalah kemiskinan di NTT sebagai problem struktural. Menurut perspektif struktural, kemiskinan (di NTT) tak ada sangkut pautnya dengan persoalan individu.
Artinya, persoalan individu seperti tidak kreatif, malas bekerja, tidak mampu membaca peluang ekonomi, bukan problem utama yang menyebabkan provinsi NTT masuk dalam jurang kemiskinan. Pandangan yang berpijak pada perspektif ini tak menyentuh inti persoalan kemiskinan.
Sebaliknya, perspektif struktural melihat bahwa kemiskinan di NTT adalah respons atas kondisi ekonomi-politik di tingkat negara yang mewujud dalam ragam bentuk seperti “korupsi kebijakan” dan permainan relasi kuasa yang melibatkan oligarki lokal pada satu sisi dan struktur negara seperti birokrasi dan institusi negara pada sisi lain.
Kemiskinan tumbuh dari problem laten yang tak didiskusikan secara serius sebagai akar masalah kemiskinan di NTT.
Dua Soal
Tanpa mengurangi perspektif dan temuan lain terkait persoalan kemiskinan di NTT, tulisan ini melihat bahwa kemiskinan struktural di NTT merupakan respons atas dua soal yang sangat berpengaruh pada kemiskinan di masyarakat.
Pertama, lanskap ekonomi politik yang timpang sebagai respons atas praktik “relasi kuasa”, yang mengakomodasi kepentingan tertentu, di saat bersamaan menyingkirkan kepentingan masyarakat luas.
Dapat dibayangkan bagaimana jadinya jika kekuasaan negara (birokrasi) ditopang lewat permainan relasi kuasa? Mustahil menemukan di sana prinsip-prinsip demokratis, yang berpijak pada kepentingan warga – diprioritaskan.
Relasi kuasa selalu menghindar dari yang sifatnya public karena di situ semua orang dapat mengakses ruang-ruang negara secara bebas dan equal. Sementara, relasi kuasa selalu berpegang pada prinsip “privatisasi”, yang mengarah pada tindakan akumulasi dan kepentingan pribadi.
Dalam postur politik dan birokratis yang diwarnai relasi kuasa, kebijakan dan anggaran dan fasilitas publik digeser dari yang sifatnya publik ke privat. Tampak di permukaan, kebijakan dan anggaran publik dapat dilihat wujudnya, seperti misalnya pembangunan infrastruktur dan laporan keuangannya seperti terlihat transparan.
Tetapi, yang tidak diketahui, siapa aktor yang mengendalikan, didistribusikan kepada pihak mana, dan siapa yang dirugikan – sangat dipengaruhi lewat relasi kuasa yang ada di baliknya. Semua itu, tak pernah terlihat di permukaan, karena relasi kuasa itu ditopang oleh birokrasi negara, aturan legal-formal, dan lain sebagainya.
Di sini, Pilkada bisa menjadi pintu masuk pada terbentuknya relasi kuasa. Dengan cost politics yang mahal, tentu, mengundang para pendonor menyokong ‘sumber keuangan’ demi memenangkan pertarungan politik.
Pada titik ini, istilah “quid pro quo” (sesuatu untuk sesuatu), yang mengarah pada “balas budi politik” pada gilirannya berpotensi merusak birokrasi, menihilkan kebijakan, dan anggaran publik.
Kedua, belum ada komitmen penataan penguasaan agraria. Jika melacak kembali pesta demokrasi di NTT (Pilgub dan Pilbub), kampanye penataan penguasaan agraria hampir tak pernah masuk dalam list kampanye politik pasangan calon. Padahal, konteks NTT yang agraris memerlukan kejelasan terkait penataan penguasaan agraria.
Mengapa demikian? Saya menduga, orang kuat di tingkat lokal (local strongmen) yang menguasai kepemilikan tanah luas, tak menginginkan adanya penataan penguasaan agraria. Selain menjaga “posisi kelas” para ‘borjuasi lokal’, penataan atau perombakan penguasaan agraria dapat membuat “rantai ekonomi” yang sebelumnya mereka kendalikan (karena memiliki tanah luas, misalnya), dapat mengganggu kepentingan rantai ekonomi borjuasi lokal.
Karena itu, para borjuasai lokal mau tak mau harus menjadi bagian dari lingkaran kekuasaan tertentu lewat pendanaan politik, kampanye politik, dan relasi “orang dalam” melalui birokrasi negara. Cara-cara ini akan merawat posisi kelas mereka yang notabene memiliki tanah berlimpah untuk kepentingan bisnis.
Menurut saya, inilah yang memicu ketimpangan agraria, di mana sebagian besar petani menguasai hanya secuil luas tanah. Sementara sebagian kecil orang, sebaliknya, menguasai berhektare-hektare tanah. Kondisi ini membawa petani dan masyarakat secara keseluruhan akhirnya jatuh dalam kemiskinan struktural.
Pada sisi lain, karena tidak adanya komitmen pada penataan penguasaan agraria, distribusi alat pertanian, distribusi pupuk, anggaran pertanian, dan kebijakan pertanian seringkali tak menyentuh para petani yang harus dibantu oleh negara. Kucuran anggaran pertanian jatuh ke tangan para pihak yang bukan penerima manfaat.
Maka tak heran sebagian petani (untuk mengatakan semuanya) merasa negara tak hadir dalam masalah pertanian mereka. Seolah, tak ada titik sambung antara petani dan negara, karena proyek dan anggaran pertanian bagi petani dibegal oleh pihak yang bukan penerima manfaat.
Kekosongan ini akhirnya dimanfaatkan “pasar” yang sialnya semakin membebani petani. Karena tak ada ruang yang memungkinkan petani mencari ‘alternatif ekonomi’ untuk menopang ekonomi keluarga. Pada titik itu kemiskinan struktural membuat para petani makin terpojok dan jatuh dalam jurang kemiskinan.
Para petani terjebak dalam lingkaran kemiskinan struktural, bukan karena mereka tak terampil, tak memiliki inovasi pertanian, dan tak bekerja keras. Tetapi, karena negara abai melihat ini sebagai persoalan struktural yang membawa kemiskinan di masyarakat NTT.
Konsekuensinya, kebijakan di sektor pertanian seperti membagi pupuk, distribusi bibit, malah tak menjawab inti masalah pertanian, apabila hak petani untuk memperoleh akses pada tanah dan lahan pertanian tak dipikirkan.
Pada sisi lain juga, lemahnya komitmen negara pada urusan agraria juga memicu berbagai konflik agraria di masyarakat. Kasus-kasus perampasan tanah dan penyerobotan paksa tanah warga oleh negara, seperti di Poco Leok, Besipae, Sumba Barat, adalah bukti nyata lemahnya dukungan negara pada urusan agraria. Padahal, dengan adanya komitmen untuk mengurus penguasaan agraria dan mengakui hak warga atas tanah mereka, negara di NTT tak serampangan mengambil paksa tanah warga.
Keseriusan Kita Bersama
Pilkada di NTT harus berbicara ide perubahan, yang jelas dan punya ukuran. Ini akan menentukan apakah ide perubahan itu mampu direalisasikan atau hanya sebatas “omong lepas” demi meraup dukungan politik semata. Di sini, sebaiknya, kita berani bertanya sejauh mana keseriusan masing-masing calon membawa ide perubahan yang mereka kampanyekan.
Kemiskinan struktural di NTT bisa dilakukan dengan mendesain kebijakan yang sesuai dengan persoalan di masyarakat NTT.
Pertama, di level pemerintahan, perlu adanya desain kebijakan yang meminimalisir adanya ‘korupsi kebijakan’ dari level hulu sampai ke hilir. Isu ini penting dikampanyekan secara terbuka kepada masyarakat, supaya ada dukungan publik yang besar pada prosesnya nanti.
Kedua, perombakan penguasaan agraria. Para calon harus memiliki komitmen yang jelas pada persoalan penguasaan agraria di NTT. Konteks NTT yang sebagian besar merupakan daerah agraris, harus diperjelas dengan adanya kebijakan perombakan penguasaan agraria di masyarakat.
Perombakan penguasaan agraria berarti mendorong semangat ‘reforma agraria’. Lahan atau tanah yang tak terpakai bisa dijadikan sebagai objek reforma agraria, dan selanjutnya didistribusikan lahan pertanian kepada rumah tangga yang tak punya lahan.
Sementara, bagi rumah tangga yang punya lahan kecil, pemerintah bisa mengupayakan adanya kebijakan ‘distribusi modal’ untuk menjaga stabilitas ekonomi rumah tangga.
Di sini perlu melibatkan banyak pihak seperti gereja Katolik, tuan tanah, masyarakat adat, LSM, akademisi, dan pihak terkait lainnya. Pemerintah harus memiliki ‘semangat mereformasi ulang penataan agraria’ supaya terjadi penyelarasan penguasaan agraria. Jika ini diabaikan, kemiskinan akan terus menghantui masyarakat NTT.
Pilkada di NTT harus memulai kampanye politik yang substantif, yang berakar pada persoalan riil masyarakatnya. Kampanye politik harus membawa isu-isu yang relevan seperti kampanye keadilan agraria, berantas human trafficking, berantas stunting, berantas korupsi, berantas mafia dan makelar.
Kalau problem ini dikampanyekan secara serius dan penuh dengan komitmen untuk mengubah wajah kemiskinan NTT, sudah pasti NTT bisa bangkit dari kemiskinan.
*Penulis adalah alumnus Universitas Merdeka Malang dan saat ini tinggal di Jakarta