Ruteng, Ekorantt.com – Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian Daerah (Polda) Nusa Tenggara Timur (NTT) menggelar sidang etik terhadap Hendrikus Hanu, seorang polisi dari Polres Manggarai pada Selasa, 25 Februari 2025.
Propam Polda NTT berfokus pada kekerasan yang diduga dilakukan oleh Hendrik terhadap Pemimpin Redaksi Floresa, Herry Kabut dan warga Poco Leok. Herry pada saat itu tengah meliput aksi penolakan warga terhadap proyek geotermal.
Herry bersama warga Poco Leok dipanggil sebagai saksi pelapor dalam sidang etik tersebut.
“Setelah empat bulan menunggu langkah Polri menangani kasus kekerasan yang dilakukan anggota institusi itu terhadap jurnalis dan Pemimpin Redaksi Floresa, Herry Kabut, kami mendapatkan hasil yang mengecewakan,” kata Pemimpin Umum Floresa, Ryan Dagur dalam keterangan tertulisnya yang diterima Ekora NTT.
Ryan mengatakan, sidang etik itu memutuskan bahwa pelaku kekerasan itu hanya satu orang, yakni polisi bernama Hendrikus Hanu.
Meskipun Hendrikus dinyatakan bersalah, namun sidang itu juga memutuskan memberinya sanksi ‘meminta maaf lisan’ kepada korban dan minta ‘maaf tertulis’ kepada Kapolri, Listyo Sigit Prabowo.
Sebelumnya, proses hukum tindak pidana kasus ini dihentikan oleh Polda NTT pada 6 Januari 2025 dengan alasan “tidak cukup bukti.”
“Sementara pernyataan permintaan maaf membuktikan bahwa Polri mengakui adanya kekerasan seperti yang kami laporkan,” jelas Ryan.
Penanganan kasus ini menunjukkan bahwa institusi Polri memaafkan dirinya sendiri dan mengabaikan kewajiban untuk mengusut kasus ini secara tuntas.
“Ini adalah praktik impunitas yang dipamerkan secara terang-terangan.”
Ryan menyebutkan insiden kekerasan terhadap jurnalis Floresa terjadi pada 2 Oktober 2024 ketika Herry sedang menjalankan tugas, meliput aksi protes warga Poco Leok di Kabupaten Manggarai menolak proyek geotermal.
Sekelompok anggota Polri menarik dan memiting leher Herry serta memukulnya sampai luka di sejumlah bagian tubuh. Warga yang berupaya mendokumentasikan peristiwa itu dikejar.
“Kami melaporkan kasus itu kepada Polda NTT di Kupang pada 11 Oktober, setelah sanksi bahwa kasus ini akan diproses jika melaporkannya ke Polres Manggarai yang merupakan kesatuan pelaku,” terang dia.
Ryan bilang, “harapan kami untuk sebuah proses yang berpihak pada keadilan tidak tercapai.”
Keputusan Polri menghentikan proses pidana dan proses oleh Propam yang hanya berujung sanksi ‘meminta maaf’, menunjukkan bahwa institusi Polri menoleransi tindakan anggotanya yang melakukan kekerasan terhadap jurnalis.
“Hal ini menunjukkan Polri tidak sungguh-sungguh menjamin keamanan jurnalis.”
“Sekali lagi, ini adalah bagian dari praktik impunitas yang sedang dipertontonkan institusi kepolisian,” tambah Ryan.
Polisi Hendrik Tidak Profesional
Kabidhumas Polda NTT, Kombes Pol. Henry Novika Chandra, mengatakan pasal yang dilanggar dan wujud perbuatan Aipda Hendrikus Hanus terbukti melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf (c) Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi Polri dan Komisi Kode Etik Polri.
Wujud pelanggaran yang dilakukan, kata dia, adalah tidak profesional dalam mengamankan kegiatan identifikasi dan pendataan awal lokasi rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu unit 5-6 di lokasi wellpad I dan access road wellpad I.
“Dalam proses pengamanan tersebut, Aipda Hendrikus Hanus diduga mengamankan seorang jurnalis online dari Floresa secara tidak sesuai prosedur,” terangnya.
Sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) ini terdiri dari beberapa tahapan, yaitu pembacaan persangkaan terhadap terduga pelanggar, pemeriksaan saksi dan terduga pelanggar, pembacaan tuntutan oleh penuntut, dan pembacaan putusan oleh majelis sidang.
Berdasarkan hasil sidang, menurutnya, Aipda Hendrik Hanu dinyatakan bersalah dengan sanksi “perbuatannya dinyatakan sebagai perbuatan tercela.” Kemudian “wajib menyampaikan permintaan maaf secara lisan di hadapan sidang KKEP serta secara tertulis kepada pimpinan Polri dan pihak yang dirugikan.”
“Dengan adanya keputusan ini, diharapkan seluruh anggota Polri dapat menjunjung tinggi profesionalisme dalam menjalankan tugas serta menghormati hak-hak masyarakat, termasuk kebebasan pers,” ujarnya.
Kombes Henry juga mengimbau seluruh anggota Polri dan ASN Polri di jajaran Polda NTT agar senantiasa mencerminkan sikap sebagai insan Rastra Sewakottama dalam setiap tugas maupun kehidupan sehari-hari.
Ia menekankan pentingnya menjunjung tinggi nilai-nilai Tribrata dan Catur Prasetya, serta selalu patuh terhadap hukum yang berlaku.
“Dengan demikian, Polda NTT menegaskan komitmennya dalam menegakkan kode etik profesi Polri guna menjaga integritas dan kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian,” pungkasnya
Tidak Memuaskan
Ferdinansa Jufanlo Buba, pengacara Herry berkata, kendati sidang itu menunjukkan itikad institusi dalam menindak anggotanya yang bersalah, namun prosesnya “tidak memuaskan.”
“Kami tidak menemukan alasan-alasan yang memadai untuk meringankan sanksi terhadap pelaku, karena ia sudah secara nyata terlibat dalam kekerasan,” kata Jufan.
Sementara Yulianus Ario Jempau, pengacara lainnya berkata putusan bersalah terhadap Hendrikus menunjukkan “bahwa kerja jurnalistik harus dihargai, dan tidak boleh ada kejadian serupa bagi jurnalis dan elemen masyarakat sipil lainnya.”
Kendati demikian, terang Ario, ada beberapa hal yang “sama sekali tidak dipertimbangkan” selama sidang etik, misalnya tindakan Hendrikus merampas dan mengakses ponsel Herry.
Keterangan Hendrikus dan saksi kepolisian yang menyatakan hanya “memegang jaket dan merangkul” Herry, kata Arrio, juga upaya mengaburkan fakta, kendati mereka melakukan kekerasan terhadap Herry.
Putusan etik yang menetapkan Hendrikus bersalah menjadi pertimbangan agar kasus penganiayaan ini diproses secara pidana.
“Putusan etik ini menjadi pintu masuk agar proses pidana dibuka lagi,” katanya.
Adili Polisi dan Wartawan Pelaku Kekerasan
Di hari yang sama, sejumlah aktivis, jurnalis, dan warga Poco Leok melakukan aksi solidaritas di depan Mapolres Manggarai.
Para peserta aksi membawa poster bertuliskan kritikan terhadap dugaan tindakan kekerasan terhadap jurnalis dan warga Poco Leok, Kecamatan Satarmese pada 2 Oktober 2024 lalu.
Salah satu poster bertuliskan, “Adili polisi dan wartawan pelaku kekerasan”. Sementara lainnya memuat tulisan “Hapus impunitas polisi” dan “Negara hukum? Tetapi jurnalis tetap dibungkam. Polisi jaga siapa?”
Aksi ini digelar sebagai bentuk solidaritas dan dukungan terhadap Herry Kabut bersama warga Poco Leok dipanggil sebagai saksi pelapor dalam sidang etik terhadap Hendrikus
Menurut jurnalis Floresa Anno Susabun, sidang etik baru digelar setelah laporan diterima oleh Polda NTT pada pertengahan Oktober 2024, dan sudah empat bulan berlalu sejak kejadian tersebut.
“Aksi ini adalah bentuk solidaritas kami untuk menunjukkan bahwa Herry dan warga tidak berjalan sendiri. Banyak orang yang mendukung mereka,” ujarnya.
Anno menambahkan, tujuan dari aksi solidaritas itu adalah untuk menegaskan bahwa aparat kepolisian tidak boleh semena-mena dalam menjalankan tugasnya.
Ia juga menekankan, kekerasan terhadap jurnalis, seperti yang dialami Herry, tidak boleh dibiarkan begitu saja. Jika tidak dihukum secara tegas, ia khawatir kejadian serupa bisa terjadi pada jurnalis lainnya, terutama di wilayah Flores.
Kasus ini sebelumnya telah dilaporkan ke Propam dan Reskrim Polda NTT sebagai tindak pidana.
Namun, Anno mengungkapkan kekecewaannya atas dihentikannya proses pidana dengan keluarnya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari Divisi Reskrim Polda NTT.
Kristiano Jaret, seorang warga Poco Leok yang turut hadir dalam aksi, menyatakan bahwa kehadiran mereka adalah bentuk solidaritas kepada Herry dan warga Poco Leok.
“Saya datang ke sini untuk menunjukkan dukungan dalam proses sidang etik. Kekerasan terhadap jurnalis adalah tindakan yang tidak dapat diterima dan harus ditolak,” kata Kristiano.