Kupang, Ekorantt.com – Solidaritas Perempuan Flobamoratas, sebuah organisasi berbasis di Kupang, menyerukan keadilan iklim feminis di Nusa Tenggara Timur.
Seruan tersebut disampaikan saat perayaan International Women’s Day atau Hari Perempuan Internasional di Sekretariat Solidaritas Perempuan Flobamoratas di Kupang, Sabtu, 8 Maret 2025.
Ketua Badan Eksekutif Komunitas SP Flobamoratas, Linda Tagie mengatakan, momen ini merupakan kesempatan mempertemukan perempuan akar rumput dari berbagai latar belakang dan dari berbagai wilayah dengan jaringan perempuan yang mengadvokasi isu iklim di Kupang.
“Guna menganalisis dampak perubahan iklim pada kehidupan mereka secara individu dan kolektif dan menyatukan suara perlawanan menuntut keadilan iklim feminis di Bumi Flobamoratas,” jelas Linda.
Dia berkata, temu perempuan diselenggarakan untuk memastikan bahwa “suara-suara perempuan didengar dan tuntutannya bisa diakomodasi serta ditindaklanjuti.”
Saat ini, menurutnya, Nusa Tenggara Timur sedang dikepung berbagai industri ekstraktif yang diklaim sebagai energi bersih, ramah lingkungan dan energi baru terbarukan, yang digadang-gadang sebagai solusi di tengah krisis iklim.
Tetapi faktanya, industri ekstraktif yang mengatasnamakan solusi iklim malah merampas ruang-ruang hidup perempuan dan menempatkan perempuan pada posisi yang sangat rentan terhadap berbagai bentuk kekerasan, seperti bencana iklim, bencana ekologis, dan bencana kemanusiaan seperti perdagangan orang, reprisivitas aparat, hingga ancaman kriminalisasi.
“Maka penting untuk mendorong partisipasi aktif perempuan untuk menuntut keadilan iklim di Bumi Flobamoratas,” bebernya.
Nusa Tenggara Timur adalah sebuah provinsi kepulauan yang paling rentan terdampak perubahan iklim.
Mencairnya es di kutub menyebabkan kenaikan permukaan air laut, yang menyebabkan pulau-pulau kecil semakin banyak yang sudah dan akan tenggelam setiap tahunnya, curah hujan tidak menentu, kekeringan, krisis air, gagal tanam dan gagal panen, serta beberapa fenomena sosial, menjadi peristiwa aktual yang merupakan bukti bahwa perubahan iklim nyata terjadi di Bumi Flobamoratas.
Linda berpendapat berbagai bencana mulai dari bencana ekologis, sosial, hingga bencana kemanusiaan menambah lapisan ketertindasan masyarakat dan menempatkan perempuan Nusa Tenggara Timur pada posisi paling rentan dan harus menanggung beban berlapis dari perubahan iklim yang mempengaruhi segala lini kehidupan.
Ketika Nusa Tenggara Timur sedang dilanda dampak perubahan iklim, kebijakan-kebijakan untuk penanggulangan dan untuk mengatasi dampaknya masih jauh dari kata harapan.
Pengetahuan perempuan, identitas sebagai perempuan adat, ruang tata kelola perempuan petani, penenun, peternak, peramu obat-obat tradisional, atau singkatnya semua perempuan yang merawat dan memastikan keberlanjutan alam dan generasi, semakin tergerus oleh kepentingan kapitalis dan oligarki.
Aksi-aksi iklim hanyalah formalitas yang malah menyodorkan solusi iklim palsu berupa proyek-proyek iklim berskala besar, masifnya pertambangan, pembangunan bendungan, dan pembangunan berskala besar lainnya yang bukan mengatasi perubahan iklim, justru menggusur, merampas, meminggirkan, dan berpotensi memusnahkan identitas dan pengetahuan perempuan, beserta dengan ruang penghidupan dan ruang tata kelolanya.
“Lalu setelah alam mulai habis diperdagangkan, manusia yang kehilangan ruang hidup kemudian diperjualbelikan. Lagi-lagi, perempuan NTT menjadi korban TPPO, dijadikan komoditas pasar, minim perlindungan, bahkan berujung mengalami penyiksaan berat, hingga ada yang meninggal dunia,” terang Linda.
Melihat kelindan persoalan ini, dalam momentum Temu Perempuan, perempuan akar rumput berkumpul dan membuat tuntutan bersama, kata Irene Kanalasari Inaq, koordinator program.
Melihat semua peristiwa aktual akibat proyek-proyek iklim yang tidak berkeadilan, katanya, kebijakan yang malah menghilangkan dan merampas tata kelola rakyat dan ruang penghidupan perempuan dan menambah lapisan kekerasan.
Perempuan NTT sebagai subjek yang berdaulat, menuntut kepada negara khususnya kepada para pemangku kebijakan.
Pertama, mencabut izin proyek-proyek ekstraktif yang tidak demokratis dan berkeadilan, khususnya izin pertambangan, geotermal, dan bendungan di bumi Flobamoratas, yang merampas ruang hidup dan menghilangkan identitas perempuan adat.
Kedua, menuntut pihak korporasi dan lembaga pendanaan agar mencabut segala rencana dan dukungan pendanaan yang berkontribusi terhadap kerusakan alam dan pemusnahan peradaban.
Ketiga, memastikan keterlibatan perempuan secara bermakna dalam ruang-ruang pengambilan keputusan, khususnya yang berkaitan dengan kebijakan yang berdampak langsung pada kehidupan perempuan.
Keempat, menuntut setiap pemerintah daerah yang baru terpilih untuk mendengar dan mengakomodasi penolakan masyarakat terdampak dan tidak tunduk di hadapan PSN, pemerintah pusat, dan korporasi.
Kelima, memastikan partisipasi, akses dan kontrol perempuan dalam mengelola sumber daya alam untuk kemandirian ekonomi dengan tetap merawat alam untuk kehidupan keberlanjutan.
Keenam, menuntut ketersediaan ruang yang setara bagi perempuan hingga di level paling bawah dan memastikan suara perempuan didengar dan diakomodasi, bukan hanya dilihat secara kuantitas, namun kualitas.
Ketujuh, menuntut gereja dan lembaga-lembaga agama untuk mengakomodir perempuan sebagai aktor transformatif dalam hal keadilan iklim dan ekologi.
Kedelapan, menuntut negara untuk mengambil kebijakan-kebijakan iklim yang berkeadilan, kontekstual, merata, dan menyentuh langsung kehidupan semua lapisan dan berkontribusi terhadap pelestarian alam.
Kesembilan, menghentikan segala bentuk kapitalisasi sumber daya alam yang menjadikan manusia sebagai objek untuk diperdagangkan melalui human traficking demi memenuhi permintaan pasar.
Kesepuluh, menghentikan segala kekerasan terhadap perempuan.
Kesebelas, mencabut SK Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 2268 K/30/MEM/2017 tentang Penetapan Pulau Flores sebagai Pulau Panas Bumi, yang menjadi legitimasi untuk membuka kran-kran investasi proyek panas bumi yang merampas ruang-ruang hidup perempuan di Flores.
Keduabelas, mendesak Bupati Manggarai, Hery Nabit untuk mencabut laporan terhadap masyarakat Poco Leok atas dugaan perusakan fasilitas publik saat menyampaikan aspirasi penolakan proyek geotermal di Poco Leok yang menghancurkan ruang hidup masyarakat adat.