Ruteng, Ekorantt.com – Koalisi Advokasi Poco Leok menggalang dana sebesar Rp500 untuk mengganti pagar kantor Bupati Manggarai, yang kondisinya sudah rusak.
Kerusakan terjadi akibat saling dorong antara massa aksi dari Aliansi Pemuda Poco Leok dan Sat Pol PP saat berunjuk rasa menentang kehadiran proyek geotermal Poco Leok pada Senin, 3 Maret 2025 lalu.
Muhamad Jamil, salah satu pengacara dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) yang tergabung dalam Koalisi Advokasi Poco Leok menegaskan, penggalangan dana sebagai bentuk simpati dan dukungan publik terhadap kerusakan tersebut.
“Pengumpulan koin ini merupakan solidaritas untuk memperbaiki pagar yang rusak agar Bupati Manggarai bisa bekerja dengan nyaman dan aman,” ujarnya pada Selasa, 18 Maret 2025.
Menurut Jamil, aksi unjuk rasa tersebut merupakan hak setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat, terlebih karena warga Poco Leok menentang proyek geotermal yang dinilai berdampak buruk bagi masyarakat sekitar.
Dua orang pemuda adat Poco Leok, yang menjadi koordinator dalam aksi penolakan terhadap proyek geotermal di Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Kantor Bupati Manggarai pada awal Maret lalu, telah memenuhi panggilan dari Kepolisian Resort Manggarai.
Pemanggilan ini merupakan buntut dari laporan yang diajukan oleh Bupati Manggarai, Herybertus G.L. Nabit, melalui Kabag Umum Setda Manggarai, Fransiskus Makarius Beka, yang menuduh para pengunjuk rasa telah merusak pagar kantor bupati.
Kedua pemuda tersebut adalah Kristianus Jaret dan Milin Neter. Mereka didampingi oleh tim kuasa hukum saat menjalani pemeriksaan yang berlangsung sekitar empat jam di ruang Bareskrim Polres Manggarai pada Senin, 17 Maret 2025.
Pemeriksaan tersebut dilakukan oleh dua penyidik, Stanislaus Dea, Kepala Unit Pidana Umum, dan Patric Y.H. Kono.
Surat pemanggilan yang dikeluarkan oleh Polres Manggarai bernomor S.Pgl/101/III/2025/Satuan Reskrim, ditandatangani oleh Kepala Satuan Reskrim, Robbianly Dewa Putra.
Selama pemeriksaan, kedua pemuda tersebut dimintai keterangan mengenai proses aksi dan keterlibatan pihak-pihak lain dalam aksi tersebut.
Kepala Divisi Pembelaan Hak Asasi Manusia pada Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Sinung Karto menganggap pemanggilan terhadap kedua warga tersebut sebagai bentuk kriminalisasi yang dilakukan oleh Kepolisian Resort Manggarai.
Sinung menyebutkan, tindakan ini merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia untuk menyampaikan pendapat secara bebas, yang dilindungi oleh UUD 1945, UU Nomor 9 Tahun 1998, serta instrumen HAM internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia.
“Kami akan selalu siap mendampingi masyarakat Poco Leok dalam proses hukum yang sedang berjalan,” kata Sinung.
Ia menambahkan, perlu ada kejelasan terkait peristiwa kerusakan gerbang kantor bupati, apakah itu disebabkan oleh peserta aksi atau petugas.
Sinung mengklaim memiliki rekaman video yang menunjukkan situasi saat aksi berlangsung.
Dalam video tersebut, terlihat gerbang jatuh ke arah peserta aksi, yang mengindikasikan bahwa ada pihak yang mendorong gerbang dengan keras.
Di sisi lain, pengacara lainnya, Judianto Simanjuntak, meminta Kepolisian Resort Manggarai untuk menghentikan pemanggilan dan pemeriksaan terhadap pemuda Poco Leok, termasuk peserta aksi lainnya.
Berdasarkan video yang beredar, robohnya gerbang pagar kantor bupati justru jatuh ke arah peserta aksi, bukan ke petugas, yang menunjukkan bahwa petugas yang mendorong gerbang dengan kuat.
“Seharusnya, yang dipanggil dan diperiksa adalah anggota Satuan Polisi Pamong Praja yang mengawal jalannya aksi, karena merekalah yang mendorong gerbang tersebut,” jelas Judianto.
Ia menyebutkan, peristiwa ini merupakan bagian dari skenario dan rekayasa yang melibatkan petugas.
Kasat Reskrim Polres Manggarai, Iptu Robbianly Dewa Putra mengatakan, pihaknya telah melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) dan memanggil kedua terlapor untuk klarifikasi sebanyak dua kali, namun keduanya tidak memenuhi undangan tersebut.
Pada Kamis, 13 Maret 2025, gelar perkara dilakukan untuk meningkatkan status kasus dari penyelidikan menjadi penyidikan.
Pada Jumat, 14 Maret 2025, diterbitkan surat perintah penyidikan dan panggilan pertama kepada kedua koordinator aksi.
Robbianly menambahkan, jika kedua terlapor tidak memenuhi panggilan pertama maupun kedua pada tahap penyidikan, pihaknya akan melakukan upaya paksa.
“Kedua terlapor akan dijerat dengan Pasal 170 ayat (1) KUHP Sub Pasal 406 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP, dengan ancaman pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan,” ujar dia.