Bajawa, Ekorantt.com – Warga Laja, Kecamatan Golewa Selatan, Kabupaten Ngada menolak penggunaan air dari sungai Tiwu Bala di Desa Sadha untuk kepentingan proyek geotermal Mataloko.
Nikolaus Ago, Koordinator Forum Peduli Keutuhan Lingkungan Paroki Laja, menuturkan bahwa penyedotan air dalam jumlah besar akan berdampak pada penurunan debit pada saluran irigasi yang mengairi persawahan warga di wilayah itu.
Sungai Tiwu Bala menjadi satu-satunya sumber air untuk pertanian di enam desa antara lain Desa Were 3, Desa Were 5, Desa Were 6, Desa Nirmala, Desa Kezewea, dan Desa Kezewea 1.
“Luas area irigasi di sana mencapai 239,75 hektare. Dalam setahun petani melakukan dua kali tanam,” ujar Nikolaus pada sela-sela unjuk rasa penolakan proyek geotermal Mataloko, Rabu, 12 Maret 2025.
Tidak hanya itu, air irigasi juga dimanfaatkan masyarakat untuk meningkatkan ekonomi keluarga melalui budi daya ikan air dan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) yang konsepnya ramah lingkungan.
Ia khawatir bila penggunaan air dari Sungai Tiwu Bala tetap dipaksa maka akan terjadi masalah sosial.
“Penyedotan air untuk kepentingan geotermal Mataloko tidak diawali dengan sosialisasi dampak positif maupun negatif,” kata dia.
Oleh sebab itu, Nikolaus menolak kehadiran proyek geotermal. Penolakan dilakukan setelah ia dan warga yang lain melihat langsung dampak buruk dari PLTP Mataloko yang dibangun pada 1998 silam.
“Sejak mulai dibangun tidak ada sosialisasi secara transparan bagi masyarakat khususnya penggunaan air untuk proyek geotermal dari sungai Tiwu Bala yang ada di wilayah Paroki Laja,” kata Nikolaus.
Tokoh masyarakat Laja, Dominikus Su’a menambahkan sejak proyek geotermal Mataloko dikerjakan, pihaknya tidak pernah mendengar informasi terkait penyedotan air dari wilayah itu.
Ia sendiri mengaku kaget ketika melihat dua pipa berukuran besar dipasang ke arah Sungai Tiwu Bala.
“Itu ada dua pipa, katanya untuk sedot air satu pipa dan untuk pembuangan limbah satu pipa,” jelasnya.
Menurut Dominikus, jika tidak segera dibatalkan, hal tersebut akan berdampak negatif bagi para petani.
“Kalau begini, besok-besok anak cucu kami mau makan apa? Apalagi saat ini di sana ada juga budidaya ikan air tawar,” tutur dia.
Sementara itu, Koordinator aksi solidaritas penolakan geotermal Mataloko, Pater Feliks Baghi menuturkan, dalam analisis dampak lingkungan (Amdal) pada 2021, air untuk proyek geotermal diambil dari Sungai Wae Ia yang berada di Kecamatan Golewa, bukan dari sungai Tiwu Bala.
“Tapi kenyataannya pipa besar sudah membentang ke arah Tiwu Bala. Berarti Amdal sudah tidak sesuai,” ungkap dia.
Menurutnya, jika tetap dipaksakan, proyek geotermal Mataloko tidak hanya berdampak buruk bagi masyarakat sekitar tetapi juga menurunkan debit air untuk irigasi yang digunakan petani setempat.
Wilayah Laja dahulunya merupakan wilayah subur. Pater Feliks menduga bahwa hadirnya proyek geotermal merusak lahan pertanian.