Ruteng, Ekorantt.com – Seorang dosen STIE Karya Ruteng, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT), berinisial LM, mengajukan somasi terhadap Yayasan Perguruan Tinggi Tunas Karya (YPTTK) Ruteng, yang diduga ‘mengamputasi’ karier akademiknya.
LM, yang telah mengabdi di kampus tersebut selama tujuh tahun, merasa bahwa pihak yayasan dan kampus sedang berupaya merampas hak mengajarnya.
Somasi tersebut disampaikan oleh kuasa hukum LM, Melkhior Judiwan, pada Jumat, 28 Maret 2025, kepada Ketua YPTTK.
Dalam somasi tersebut, Melkhior menyampaikan bahwa langkah ini merupakan upaya bipartit untuk menyelesaikan persoalan yang tengah dihadapi kliennya.
Surat somasi ini mengandung 13 poin penting yang menjadi dasar pertimbangan.
“Semua poin dalam somasi ini pada intinya meminta YPTTK memenuhi semua hak normatif yang semestinya diterima oleh klien kami,” ujar Melkhior.
Menurut Melkhior, LM tidak pernah melanggar aturan yang berlaku di kampus dan telah selalu taat pada ketentuan yang ada.
Ia juga menyoroti intervensi dari pihak yayasan terhadap kegiatan Tridharma Perguruan Tinggi, termasuk masalah upah yang tidak sesuai dengan Upah Minimum Provinsi (UMP).
Melkhior menambahkan, ketika kepemimpinan yayasan berada di tangan Heribertus Mutis, kondisi lingkungan kampus terasa kondusif. Namun, setelah kepemimpinan beralih kepada Mariyati Helsako F. Mutis, suasana kerja di kampus berubah drastis, dengan intervensi yang semakin kuat terhadap kebijakan akademik, termasuk pembagian tugas mengajar.
Seiring dengan perubahan tersebut, LM yang sebelumnya mengampu tiga mata kuliah tiba-tiba tidak diberikan tugas mengajar.
Melkhior menganggap kebijakan tersebut melanggar Undang-Undang tentang Dosen, yang mengatur bahwa dosen dengan jabatan fungsional Asisten Ahli wajib mengampu minimal 9 SKS.
LM, lanjut Melkhior, juga merasa dirugikan terkait pembayaran upah yang jauh di bawah ketentuan UMP NTT yang sebesar Rp2.328.969, di mana selama ini ia hanya menerima kisaran Rp600.000 hingga Rp800.000.
Untuk itu, somasi tersebut menuntut agar YPTTK membayar hak normatif yang terdiri dari uang pesangon, penghargaan masa kerja, uang penggantian hak, tunjangan hari raya (THR), dan jaminan BPJS Ketenagakerjaan. Total hak normatif yang harus dibayar pihak yayasan mencapai Rp199.585.490.
Menanggapi somasi itu, Ketua Yayasan Pendidikan Tinggi Teknologi Karya (YPTTK), Mariyati Helsako F. Mutis mengatakan, LM masih terdaftar sebagai dosen di STIE Karya dan belum ada keputusan pemutusan hubungan kerja (PHK).
“Seluruh keputusan sanksi yang diberikan oleh pihak STIE Karya mulai dari program studi, Ketua STIE Karya maupun Senat STIE Karya murni karena berbagai kesalahan dan kelalaian saudara Lucius Proja Moa,” kata Mariyati melalui klarifikasinya yang diperoleh Ekora NTT, Minggu, 30 Maret 2025.
Lebih lanjut, Mariyati menjelaskan bahwa LM masih memiliki kewajiban untuk hadir sesuai dengan jam kerja yang telah ditetapkan, sesuai dengan peraturan yang berlaku, baik dalam Peraturan Kepegawaian, Kode Etik Dosen, maupun Surat Perjanjian Kerja Nomor 017/YPTTK/III/2024 yang telah ditandatangani oleh LM.
Dalam surat perjanjian kerja tersebut, jelas Mariyati, LM telah menerima dan menyetujui ketentuan terkait gaji, tunjangan, dan honorarium.
Pada pasal 3, poin a dan b, disebutkan bahwa upah kerja/gaji, tunjangan, serta honorarium dibayarkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di STIE Karya, dan apabila ada kenaikan gaji atau honorarium, hal tersebut akan disesuaikan.
Mariyati juga membantah klaim LM terkait informasi yang salah mengenai gaji. Gaji pokok yang diterima LM memang sebesar Rp600.000, yang lebih rendah dari UMP Provinsi NTT, namun dengan tambahan honorarium mengajar yang dihitung berdasarkan jam per SKS sebesar Rp50.000, LM memperoleh pendapatan yang lebih besar.
Pada semester lalu, dengan 12 SKS yang diajarkan, LM bisa mendapatkan hingga Rp2.400.000 dari honorarium mengajar, ditambah dengan gaji pokok menjadi total Rp3.000.000.
Bahkan, pada bulan-bulan tertentu, LM pernah menerima gaji hingga Rp3.700.000, angka yang lebih tinggi dari UMP Provinsi NTT, belum termasuk honorarium lainnya seperti UTS, UAS, wisuda, skripsi, dan KKN.
Mengenai penilaian LM terhadap perubahan iklim kerja di STIE Karya, Mariyati menegaskan bahwa klaim tersebut tidak berdasar.
Sebagai lembaga yang sedang berkembang, YPTTK, khususnya Ketua Yayasan, berperan aktif dalam menciptakan kondisi kerja yang kondusif.
Ketua Yayasan turut hadir dalam berbagai rapat untuk memastikan keputusan yang diambil merupakan keputusan bersama yang matang dan produktif.
Mariyati juga menambahkan bahwa kerja kolaboratif antara Yayasan dan STIE Karya telah menunjukkan hasil yang positif, dengan kedua instansi berjalan seiring dan saling memperkuat.
“Kerja sama ini terbukti produktif dan bermanfaat untuk kemajuan bersama,” tutupnya.