“NTT harus bisa menjadi garam dan terang dunia” (Kepala BP Taskin Budiman Sudjatmiko)
“Ada dua tugas di NTT: menjadi pusat industri garam dan anak-anak harus sekolah” (Menteri PPN/Kepala Bappenas Rachmat Pambudy)
Dua pernyataan dari dua pejabat tinggi negara di atas beralasan, karena Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki semuanya untuk menjadi produsen garam industri dan ‘garam dunia’.
Pertama, garam dalam arti leksikal, karena daerah ini memiliki potensi garam terbaik di Indonesia bahkan dunia. Kedua, ‘garam dunia’ dalam arti melahirkan manusia-manusia unggul yang bisa memberikan cita rasa kepada dunia dan memastikan pengabdian kepada nilai-nilai kemanusiaan bisa awet dihidupkan.
Investasi Garam Industri di NTT
Pemerintahan di bawah komando Presiden Prabowo Subianto bertekad menjadikan provinsi NTT sebagai pusat pengembangan garam industri. Soal investasi garam di NTT tentu bukan barang baru. Akan tetapi, menjadikan NTT sebagai pusat investasi dan hilirisasi garam industri akan dikebut sejumlah kementerian dan lembaga di negeri ini.
Rangkaian diskusi dan promosi (roadshow) Gubernur NTT Emanuel Melkiades Laka Lena dan para bupati se-NTT ke sejumlah kementerian dan lembaga di Jakarta, belum lama ini (17-22 Maret 2025), berhasil mengungkap sebuah mega-investasi yang telah dibicarakan oleh sejumlah menteri bersama Presiden Prabowo, yaitu menjadikan NTT sebagai pusat garam industri.
Kerja sama antarkementerian dan lembaga telah dibangun. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas), Kementerian Investasi dan Hilirisasi (Kemeninveshil), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Koperasi (Kemenkop) dan Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional akan terlibat aktif. Sejumlah kementerian dan lembaga lainnya siap membantu.
Bappenas akan segera membangun Institut Garam di NTT untuk mendukung mega-proyek ini, terutama dalam modernisasi dan teknologisasi produksi garam, serta pengembangan riset berkelanjutan terkait produksi garam industri. Koperasi Garam Merah-Putih juga akan segera dirilis di NTT, sebagai pilot project.
Kabupaten Sabu Raijua dipilih sebagai penggerak utama (prime mover) dalam investasi garam industri di NTT. Kabupaten-kabupaten lain dengan garis pantai dan potensi produksi garam yang prospektif akan dilibatkan.
Pemerintah pusat telah melakukan rangkaian studi kelayakan (visibility studies). Kapasitas tercatat 850 ribu ton per tahun, dengan kadar natrium klorida (NaCl) 99 persen untuk kebutuhan industri.
Garam industri banyak dipakai untuk sejumlah sektor bisnis seperti kosmetik dan kecantikan, farmasi, produk teknologi tinggi, makanan, tekstil, dan lain-lain. Garam industri berbeda dengan garam konsumsi atau dikenal dengan nama garam meja untuk urusan dapur dan makanan sehari-hari.
Setelah studi kelayakan, tahun ini akan dibuat peletakan batu pertama (groundbreaking) dan konstruksi awal pabrik. Dalam rencana, pada 2027, ada kepastian beroperasi secara komersial (commercial operation date/COD), dengan memproduksi 2 juta ton garam industri dari NTT. Target ini dinilai rasional, karena kebutuhan domestik untuk garam industri mencapai 4,8 juta ton yang selama ini dipenuhi oleh impor hingga 1,7 juta ton.
Pemerintah mematok angka indikatif nilai investasi garam industri di NTT sebesar USD260 juta atau sekitar Rp4,2 triliun. Pendanaan akan berasal dari sejumlah lembaga investasi milik negara yang melibatkan badan usaha milik negara (BUMN) dan swasta dalam skema kerja sama strategis.
Presiden Prabowo menginstruksikan swasembada garam industri yang berpusat di NTT. Pembukaan lapangan pekerjaan untuk investasi garam industri ini harus bisa menyerap banyak tenaga kerja putera-puteri daerah setempat.
‘Garam Dunia’ di IFTK Ledalero
Seminari Tinggi Santo Paulus Ledalero di Kabupaten Sikka sudah tidak dapat dipungkiri telah menjadi salah satu centre of excellence untuk pemikiran di Indonesia timur. Dari awal berdirinya sejak 93 tahun lalu, sekolah ini telah menghasilkan belasan uskup, ribuan imam/rohaniwan dan rohaniwati dan lebih banyak lagi awam.
Menarik untuk dicatat bahwa ada tujuh dari delapan uskup di NTT adalah tamatan sekolah ini. Alumni tersebar di seluruh daerah di Indonesia bahkan hingga ke manca negara. Tercatat, para imam misionaris tamatan lenbaga ini berkarya di lebih dari 40 negara di seluruh dunia.
Pada mulanya sekolah ini dirancang hanya untuk para calon imam misionaris serikat sabda Allah (Societas Verbi Divini/SVD) dan kemudian juga untuk imam sekulir (projo). Dari sebuah lembaga yang khas Katolik, lalu berubah nama menjadi Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) dan kemudian Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero sesuai ketentuan negara republik Indonesia.
Penerimaan mahasiswanya pun makin terbuka dan ilmu yang diajarkan kian beragam, khususnya pada rumpun ilmu sosial-humaniora.
Sejak beberapa tahun lalu, kampus filsafat dan teologi ini berubah nama dan menambah program studinya menjadi Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif (IFTK).
Rektor IFTK Ledalero Pater Otto Gusti Madung SVD dalam sambutan di salah satu acara wisuda kampus ini menyatakan, dua tema besar filsafat dan teknologi dipertemukan agar para mahasiswa bisa saling belajar. Para pembelajar filsafat mau tidak mau bertemu dengan teknologi sebagai kodrat kedua.
Teknologi adalah sarana, namun saat ini pertanyaan-pertanyaan filosofis yang tajam mulai memperlihatkan: apakah manusia mengendalikan teknologi atau dikendalikan teknologi, apakah manusia menggenggam handphone (hp) atau hp yang menggenggam manusia?
“Di tempat ini, para mahasiswa akan membangun sebuah refleksi filosofis tentang dampak-dampak teknologi terutama teknologi digital bagi formasi kesadaran dan tatanan sosial umat manusia. Sementara bagi anda yang belajar prodi-prodi non-filosofis, anda akan diberi kesempatan untuk berkenalan dengan sejumlah mata kuliah filsafat, terutama filsafat teknologi,” ujar Otto Gusti.
Dalam waktu dekat, IFTK Ledalero akan membuka program pasca-sarjana S2 (magister) ilmu filsafat. Program S2 yang dibangun ini diusahakan semakin kontekstual untuk NTT, sebuah provinsi yang masih memiliki sejumlah pekerjaan rumah (PR) berat dalam hal kemiskinan ekstrem, angka tengkes (stunting), angka kematian ibu dan anak (bayi), dan sejumlah problematika lainnya.
Salah seorang penggagas program S2 filsafat di IFTK Ledalero Dr. Antonius Bastian Limahekin SVD menyampaikan sejumlah alasan pendirian program baru ini, yang pada intinya: memastikan tersedianya makanan bergizi di atas meja secara merata.
Tentu saja, untuk orang yang pernah sedikit membaca buku pengantar filsafat akan bertanya, “filsafat bisa apa dalam hal penyediaan makanan bergizi?”
Kita ikuti secara amat ringkas sejumlah hal yang disampaikan Bastian. Filsafat membantu kita memastikan: penyediaan makanan bergizi di atas meja secara merata dilakukan secara etis oleh komunitas politik yang demokratis dan adil.
Dalam konteks NTT, agama yang berdaya transformatif dan kemampuan kita memahami fenomena alam serta analisis dan perencanaan yang komprehensif menjadi keharusan.
Pengajaran yang dikembangkan mesti mengakomodasi sejumlah hal seperti riset pustaka yang khas filsafat belakang meja, riset lapangan, serta keterlibatan sosial demi suatu transformasi.
Untuk memperkuat relevansinya, maka sejumlah mata pelajaran perlu ada: Manusia dan Kebudayaan NTT dan Penelitian Sosio-Antropologis tentang NTT, yang kemudian dipertemukan dengan Filsafat Sosial Politik, Filsafat Hukum, Filsafat Islam Nusantara, Hermeneutika, Etika dan Kebijakan Publik, Filsafat Pembangunan, dan Filsafat Politik Lingkungan Hidup.
Profesor Franky Budi Hardiman menyambut baik rencana pembukaan program S2 filsafat di IFTK Ledalero. Franky berbicara tentang pentingnya filsafat bagi Indonesia, khususnya NTT.
Menurut Franky, pendidikan filsafat yang digelar dalam suatu suasana akademik dan lingkungan moral seperti seminari akan membawa banyak manfaat bagi mereka yang belajar di sana, termasuk bagi kaum awam.
Franky merekomendasikan agar IFTK menjadi pionir untuk menjadikan dua cabang ilmu filsafat utama yakni Logika dan Etika diajarkan sejak di SMA/SMK.
Logika adalah latihan untuk berpikir logis: benar, baik, dan kritis. Begitu juga, Etika bukan hanya soal sopan santun, tetapi sebagai filsafat moral dasar: alasan manusia berlaku etis juga bisa berangkat sebagai hasil dari berpikir mendalam tentang kebaikan untuk kemanusiaan.
Program pasca-sarjana di Ledalero bukan hal yang baru. Hampir 20 tahun lalu program S2 teologi dengan konsentrasi teologi kontekstual telah digelar.
Seorang penggawanya Dr. John Prior SVD (1946-2022) pernah menulis secara amat provokatif sebuah artikel berjudul “Cabut Pohon, Geser Gunung: Peran STFK Ledalero dalam Dunia Global Teknokratik” yang menjadi bagian buku “Menukik Lebih Dalam. Kenangan 40 Tahun STFK Ledalero” (Kleden dan Madung, 2009: 29-49).
Setelah merefleksikan enam butir cita-cita mulia program S2 teologi STFK Ledelaro: (1) keunggulan akademik, (2) membaca realitas konteks, (3) dalam terang tradisi Kristen, (4) beriman, integral kritis, kreatif dan terbuka, (5) memajukan kebudayaan, dan (6) mampu berpastoral di lingkungan Gereja Lokal, John Prior menulis:
“Transformasi tuntas mengharuskan program studi yang lintas ilmu yang dapat dibatinkan/diintegrasikan ke dalam komunitas akademik. Bentuk-bentuk agama konvensional tidak lagi mampu membarui dunia dalam terang Sabda Ilahi. Krisis dunia teknokratik seyogyanya membawa kita, termasuk komunitas-komunitas akademik, kepada suatu metanoia radikal: renovasi, reformasi, transformasi terus-menerus. Untuk itu, kita membutuhkan iman yang kokoh—biar sekecil sebiji sesawi—untuk berani “cabut pohon” serta “geser gunung” dan mencampakkannya ke dasar laut.”
Ayo Bangun NTT
Beberapa waktu lalu (Minggu, 13/04/20215), Gubernur Melki Laka Lena berdiskusi dengan sejumlah dosen di Ledalero. Melki tahu persis ada hal yang bisa disumbangkan oleh komunitas akademik seperti Ledalero untuk NTT, khususnya dalam program utamanya melawan stunting dan kemiskinan ekstrem dengan melibatkan semua pihak.
Seperti sengaja direncanakan, setelah diskusi di Ledalero, Gubernur Melki, Wagub Jhoni Asadoma dan sejumlah bupati menggelar rapat koordinasi (rakor) dengan Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Mendiktisaintek) Prof. Brian Yulianto di Kupang, Rabu (16/04/2025).
Menteri Brian berharap, perguruan tinggi (PT) di NTT berperan aktif sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan wilayah. Perguruan tinggi tidak boleh hanya menjadi menara gading.
Kemendiktisaintek memperbolehkan mahasiwa membantu program pemerintah sebagai bagian dari kegiatan akademik. Sinergi kampus dan pemerintah perlu diperkuat.
Kini, Gubernur Melki memiliki banyak pilihan strategis untuk membangun kolaborasi dengan sejumlah pihak agar bisa membawa dampak kebijakan yang efektif.
Melki telah mencanangkan pembangunan berkonsep NTT-sentris: pluricentris-pluriformis. Tidak boleh ada lagi ego-sektoral, ego-institusi, ego-kedaerahan/kabupaten, dan ego-ego lain yang menghambat pembangunan.
Derap pembangunan akan digenjot pada berbagai episentrum dengan bentuk yang variatif. Sebuah kabupaten atau suatu institusi dipilih sebagai lokomotif utama yang mendorong dan menggerakan gerbong-gerbong lain.
Dalam konteks ini, kabupaten Sabu Raijua adalah lokomotif utama investasi garam industri. Sejumlah kabupaten di Sumba, Timor, dan Flores yang berpotensi memproduksi garam industri akan dilibatkan.
Begitu juga, IFTK Ledalero dalam kapasitasnya sebagai produsen ‘garam dunia’ perlu menjadi penggerak utama bagi PT-PT sejenis di NTT untuk menghasilkan pribadi-pribadi berintegritas.
Dengan cara berpikir yang sama, sejumlah universitas seperti Undana dan Unika di Kupang bisa dipilih dan ditugaskan untuk menjadi penggerak salah satu fokus riset teknis tertentu, seperti perkebunan, pariwisata, perikanan, wirausaha, dan lain-lain.
Kita kembali ke Ledalero. Hemat saya, IFTK Ledalero dan sejumlah lembaga pendidikan tinggi di bidang ilmu sosial dan humaniora lainnya di NTT bisa memainkan dua peran strategis lagi dalam konteks pembangunan di NTT.
Pertama, sebagai lawan debat akademik (sparring partner) bagi lembaga pendidikan tinggi lainnya di NTT. Filsafat sebagai olahraga keras untuk otak akan selalu menantang sejumlah ilmu lain di hadapan pertimbangan akal budi dan etika. Ini penting agar para sarjana dan diploma lulusan kampus-kampus di NTT mampu melihat sisi etis dan dampak moral dari ilmu yang diperoleh, terutama untuk ilmu-ilmu teknis yang berdampak langsung pada kehidupan manusia dan tatanan sosial.
Kedua, sebagai rekan yang kritis bagi pemerintah daerah (termasuk juga untuk agama dan masyarakat adat). Sebuah kebijakan publik atau sejumlah keputusan politik praktis pasti dilatarbelakangi oleh suatu pemikiran dan motivasi tertentu, bahkan intensi dan kepentingan tertentu. Filsafat sebagai ilmu kritis mampu menelanjangi bangunan pemikiran, motivasi, intensi dan kepentingan tersebut.
Sebagai contoh, para mahasiswa filsafat/teologi dan lulusannya bisa menggunakan ilmunya untuk memantau dan mengevaluasi—dengan segala perkakas keilmuan seperti yang telah disebutkan Bastian di atas—realisasi investasi yang akan masuk ke NTT.
Ada investasi garam industri. Ada rencana investasi tambak udang di Sumba senilai Rp8 triliun. Ada investasi pada program makan bergizi gratis (MBG) yang mencapai nilai sekitar Rp9 triliun. Serta, sejumlah rencana investasi lainnya.
“Seorang pembelajar teologi (juga filsafat) perlu memegang koran (baca:media massa) di tangan kiri dan kitab suci di tangan kanannya,” pesan Karl Barth.
Semua ini mungkin untuk menjadikan NTT sebagai produsen garam industri dan ‘garam dunia’. Kemungkinan itu harus diraih, karena ini sejenis investasi berorientasi jangka panjang.
Gubernur Melki dan pemerintah provinsi (Pemprov) NTT perlu memastikan suatu kehendak politik (political will) yang baik. Salah satunya adalah mengindahkan rekomendasi Franky Budi Hardiman untuk memasukan dua mata pelajaran, Logika dan Etika, pada SMA dan SMK se-NTT. Dalam hal ini, IFTK Ledalero melalui program S2 filsafat dituntut menghasilkan sejumlah pengajar (masters) yang berkualitas untuk Logika dan Etika.
Pemprov NTT dan pemerintah kabupaten (Pemkab) se-NTT perlu secara rutin mengirimkan seorang aparatur sipil negara (ASN) belajar filsafat pada program S2 di Ledalero. Ini penting untuk memastikan ada ASN yang bisa membantu merumuskan kebijakan secara komprehensif dan kritis.
Kerinduan Menteri PPN/Bappenas Rachmat Pambudy untuk melihat kembali orang-orang NTT seperti Profesor Johannes, Frans Seda, Adrianus Mooy, Dami N. Toda, Gerson Poyk, Ben Mboi, Daniel Dhakidae dan Ignas Kleden serta kenangan Kepala BP Taskin Budiman Sudjatmiko terhadap teman diskusi, Pater Marthin Bhisu SVD, saat belajar teologi pembebasan di Paraguay telah menginformasikan kepada kita bahwa mereka semua orang NTT yang telah disebutkan itu adalah orang-orang yang tidak hanya memahami ilmunya, tetapi juga memiliki kemampuan untuk mengevaluasi ilmu dan keterampilannya dengan pisau bedah filsafat, etika dan teologi. Sesuatu yang mereka pelajari dari kantong-kantong pendidikan misi dan zending di NTT zaman dulu.
Sampai di sini ada pertanyaan muncul, bukankah perut yang lapar tidak bisa menggerakkan otak dan nalar untuk berpikir? Makan dulu baru berfilsafat, primum manducare deinde philosophari!
Sekali-kali tidak. Pemikir yang intens merefleksikan tema hubungan filsafat dan teknologi, Martin Heidegger (1889-1976) yakin, “Ketika hujan dingin mulai turun di pondok si petani miskin yang kelaparan, itulah saat yang tepat untuk berfilsafat.”
Kemiskinan, apalagi dalam banyak kasus berarti kemiskinan struktural, tidak boleh menghambat kita untuk berpikir mendalam tentang solusi-solusi bagi daerah yang kita cintai NTT.
Bahkan kalaupun semua media massa kita telah dibajak (ingat pesan teolog Karl Barth di atas) untuk keperluan kapitalistik, kita perlu ingat salah satu pesan teolog dari ‘mazhab’ Ledalero yang kemudian menjadi uskup agung Ende Mgr Paul Budi Kleden, “teolog yang baik tidak hanya memegang koran dan alkitab, tetapi menemukan realitas secara langsung dengan kehadiran dan kepenuhan diri”
Keistimewaan kebebasan berpikir ini sejalan dengan pesan Paus Fransiskus saat membawakan sambutan pada perayaan 600 tahun Universitas Katolik Leuven di Belgia, “Lembaga pendidikan (katolik) harus menjadi ragi, garam dan terang untuk menghidupkan tradisi yang hidup dan terbuka pada tanda-tanda zaman dan perspektif-perspektif baru”
Akhirnya, saya berpikir dan merasa, kita mempunyai harapan yang sangat besar untuk menjadikan NTT sebagai produsen garam, baik itu program investasi garam industri yang akan segera digarap, maupun kemampuan kita menghasilkan ‘garam-garam dunia’ yang mampu memberi rasa kepada kemanusiaan di mana saja kita berada dan berkarya.
Ayo Bangun NTT!
*Penulis adalah Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (PP ISKA)