Yosep Uskono*
Paskah bukan perayaan penuh bunga, bukan sekadar nyanyian “Haleluya” di altar megah, dan bukan momen tahunan untuk menyentuh perasaan sesaat.
Paskah adalah letupan sejarah perlawanan terhadap sistem yang menindas. Ia adalah deklarasi ilahi: bahwa cinta lebih kuat dari kuasa, dan keadilan harus menang atas ketidakpedulian.
Namun hari ini, di tengah krisis kemanusiaan, ekologis, dan moral, kita lantas bertanya: benarkah Gereja, baik pemimpin maupun umat masih memihak seperti Yesus? Ataukah kita sedang nyaman dalam kompromi?
Yesus dibunuh karena Ia berdiri bersama yang lemah dan menantang tatanan. Ia mengusir para pedagang dari Bait Allah, mengecam pemuka agama yang munafik, dan menolak tunduk pada kekuasaan yang korup.
Dalam terang itu, kita harus jujur bertanya lagi: apakah Gereja sekarang masih berani melawan kejahatan publik seperti korupsi, penghancuran alam, dan kekerasan atas kaum miskin? Ataukah Gereja sudah terlalu sibuk merawat kenyamanan liturgi, protokoler, dan relasi harmonis dengan penguasa?
Paskah hari ini berlangsung di tengah dunia yang sekarat. Tanah-tanah rakyat direbut atas nama pembangunan. Proyek-proyek tambang dan geotermal menghancurkan ruang hidup komunitas adat dan desa-desa kecil yang telah ratusan tahun hidup berdampingan dengan alam.
Sampah plastik menumpuk di lautan, kota dan kampung dicekik oleh limbah yang kita hasilkan sendiri. Pemimpin publik yang dipilih oleh rakyat justru menjadi aktor yang membiarkan penderitaan ini terus berlangsung.
Sementara itu, Gereja yang seharusnya menjadi suara kenabian sering memilih diam, atau lebih parah: hadir hanya sebagai “pemberi restu” dalam seremoni-seremoni politis.
Kebangkitan Kristus seharusnya menjadi api yang membakar ilusi religiusitas tanpa keberpihakan. Liturgi yang tidak menjelma menjadi solidaritas konkret hanyalah upacara kosong.
Gereja yang tidak berdiri bersama petani yang kehilangan tanah, pemulung yang hidup dari limbah, nelayan yang lautnya dicemari, dan warga yang berteriak menolak tambang, adalah Gereja yang melupakan Salib Kristus.
Para pemimpin Gereja baik imam, biarawan-biarawati, dan tokoh awam yang terlena dalam kenyamanan tembok institusi, harus digugat nuraninya: untuk siapa iman ini diperjuangkan? Untuk siapa Ekaristi dirayakan?
Iman yang tak menyentuh luka dunia hanyalah ritual kosong. Dan kita semua, umat Allah, tak bisa terus mencuci tangan seperti Pilatus. Dunia yang terluka memanggil kita, bukan sebagai penonton, tetapi sebagai saksi yang hadir, sebagai pelaku nyata dari harapan dan kebangkitan.
Demikian juga para pejabat publik, terutama yang mengaku beriman dan menerima kursi kehormatan dari suara rakyat harus disadarkan bahwa tanggung jawab mereka bukan hanya kepada konstituen, tapi juga kepada hati nurani kemanusiaan dan masa depan kehidupan.
Tidak ada makna kebangkitan bila mereka terus menutup mata terhadap kemiskinan, korupsi, dan kerusakan alam yang mereka biarkan atau justru fasilitasi.
Paskah adalah peristiwa pembongkaran. Batu penutup kubur telah digulingkan. Namun kita yang menjadi bagian Gereja dan bangsa ini, seringkali justru memilih untuk tetap tinggal dalam gelap kubur yang nyaman.
Kita takut akan terang yang menuntut keberanian moral. Kita lupa bahwa Tuhan yang bangkit itu bukan tinggal di altar, tetapi di tengah rakyat yang tertindas dan bumi yang dirusak.
Saatnya Gereja bangkit dari kematiannya sendiri, kematian karena kompromi, ketakutan, dan kemapanan. Saatnya umat Allah keluar dari egoisme individualistik dan menjadi tubuh Kristus yang nyata: berani, berpihak, dan berjuang.
Yesus tidak mati agar Gereja menjadi institusi yang ramah kekuasaan dan nyaman dalam liturgi. Ia mati dan bangkit agar dunia diubah. Jika kita yang adalah Gereja itu sendiri masih tetap setia tinggal di dalam ilusi kenyaman dan membiarkan Nurani kemanusiaan diinjak-injak, kita tentu belum benar-benar merayakan Paskah.
Sudah saatnya Gereja baik hierarki maupun umat meninggalkan zona nyaman dan hadir aktif di tengah penderitaan dunia. Kita harus lebih berani bicara lantang terhadap ketidakadilan sosial dan kerusakan ekologis, bahkan jika itu berarti berseberangan dengan kepentingan penguasa. Gereja tidak bisa lagi menjadi penonton apalagi berdiam diri.
Paskah menuntut partisipasi aktif dari setiap orang beriman: membentuk komunitas basis yang kritis, mendampingi petani dan warga yang memperjuangkan keadilan, mendukung gerakan penyelamatan lingkungan, serta membangun gaya hidup ekologis yang nyata di dalam keluarga dan komunitas.
Demikian pula, para pejabat publik juga dipanggil untuk memiliki tanggung jawab moral yang tulus bukan sekadar mencari simpati demi citra politik, tetapi benar-benar hadir bersama rakyat di tengah krisis, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dalam setiap kebijakan yang diambil.
Kebangkitan Kristus kehilangan maknanya jika kita tetap diam, apatis, dan tunduk pada sistem yang menindas manusia serta merusak bumi. Kini saatnya kita semua bangkit bukan hanya untuk percaya, tetapi juga untuk bertindak. “Iman tanpa perbuatan adalah mati.”
*Penulis adalah Alumnus IFTK Ledalero