Oleh: Yosep Uskono*
Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), melalui Gubernur, Emanuel Melkiades Laka Lena menyatakan komitmennya untuk terus mendorong pengembangan energi panas bumi (geotermal) di sejumlah titik di Pulau Flores (Swarantt.net, 2025). Atas nama transisi energi dan pembangunan berkelanjutan, proyek-proyek ini dipoles sebagai langkah strategis menuju masa depan Flores yang lebih cerah dan gemilang.
Namun di balik narasi penuh semangat ini, muncul pertanyaan mendesak: benarkah ini akan demikian di Flores? Masa depan cerah untuk siapa—untuk rakyat setempat, atau justru untuk investor dan segelintir elite yang berdiri jauh dari dampaknya.
Belum terlalu lama, pihak Gereja di sejumlah keuskupan yang bernaung di Provinsi Gerejawi Ende, Flores bersama masyarakat adat setempat menyuarakan penolakan terhadap geotermal (Suaraflores. 2025, Gardaflores. 2025, Mongabay. 2025). Penolakan ini tidak datang dari ruang kosong.
Ia lahir dari pengalaman konkret masyarakat adat, komunitas religius, dan kelompok masyarakat sipil yang selama ini menjadi penjaga ruang hidup dan budaya di Flores. Mereka tidak menolak pembangunan secara membabi buta.
Yang ditolak adalah bentuk pembangunan yang eksploitatif—yang mengabaikan suara lokal, merusak tanah leluhur, mengancam “air pemali”, dan mengabaikan keberlanjutan ekologis. Pembangunan semacam itu bukanlah kemajuan, melainkan luka yang ditanam atas nama kemajuan.
Dalam konteks ini, pembangunan energi geotermal di Flores justru memperlihatkan paradoks mendasar. Di satu sisi, geotermal dibungkus dengan narasi “hijau” dan “ramah lingkungan”. Namun di sisi lain, geotermal kerap dilakukan tanpa partisipasi bermakna dari masyarakat lokal, minim transparansi, dan cenderung mengabaikan kajian dampak sosial dan budaya secara menyeluruh.
Dampaknya jelas: konflik horizontal, trauma ekologis, dan keretakan relasi sosial yang selama ini menjadi penyangga kehidupan masyarakat Flores.
Karl Marx pernah menyebut ideologi sebagai “candu” yang membius masyarakat dengan janji palsu. Janji kesejahteraan dari proyek-proyek geotermal di Flores tampaknya mengandung candu yang sama—manis dalam narasi, pahit dalam kenyataan. Pembangunan yang seharusnya menjadi jalan pembebasan kini menjelma menjadi wajah baru penindasan.
Tanah dirampas atas nama negara, air suci (air pemali) dikeringkan atas nama investasi, dan budaya disingkirkan demi efisiensi ekonomi. Ironisnya, masyarakat yang telah berakar selama puluhan generasi di tanah leluhurnya justru dipaksa angkat kaki demi energi yang—jika pun jadi—belum tentu mereka bisa sejahtera. Yang untung dan nyaman tentu para investor sedangkan masyarakat setempat pasti merasa terasing di tanahnya sendiri.
Lebih jauh, antropolog pembangunan, Arturo Escobar mengingatkan bahwa banyak proyek pembangunan modern seringkali memaksakan model luar tanpa memahami konteks lokal. Akibatnya, alih-alih memaksa untuk memberdayakan, tetapi upaya pembangunan itu justru melemahkan masyarakat lokal.
Escobar mendorong pendekatan pembangunan alternatif yang berpihak pada pengetahuan lokal, kosmologi masyarakat adat, dan cara hidup yang sudah dijalankan masyarakat dan terbukti berkelanjutan selama berabad-abad.
Flores sesungguhnya bukan tanah yang anti-kemajuan. Namun kemajuan versi siapa yang ditawarkan? Masyarakat lokal tentu mendambakan kehidupan yang lebih baik. Tapi mereka juga tahu bahwa kemajuan tidak identik dengan industrialisasi masif atau eksploitasi sumber daya alam.
Bagi mereka, kemajuan berarti hidup damai bersama alam, bertani di tanah leluhur, memanen hasil laut dengan bijak, dan menjaga keharmonisan sosial dan spiritual yang diwariskan para leluhur. Dengan kata lain, kemajuan versi masyarakat Flores adalah kehidupan yang bermartabat dan berkelanjutan.
Dalam situasi seperti ini, posisi pemerintah daerah menjadi sangat penting. Pemerintah memiliki mandat konstitusional untuk melindungi rakyat dan memastikan bahwa pembangunan benar-benar berpihak pada rakyat. Sayangnya, yang kita saksikan justru sebaliknya. Pemerintah daerah terlihat begitu antusias mendukung proyek geotermal, padahal di saat yang sama aksi penolakan masyarakat terhadap geotermal semakin meluas dan menguat.
Sikap ini sungguh ironis. Dalam sistem demokrasi, kekuasaan berasal dari rakyat. Maka, setiap kebijakan pembangunan semestinya mencerminkan aspirasi dan kebutuhan rakyat, bukan semata-mata kepentingan pasar atau investor. Ketika suara rakyat diabaikan, ketika keberatan para tokoh adat dan Gereja dipinggirkan, dan ketika ruang dialog digantikan dengan intimidasi atau pembungkaman, maka yang sedang terjadi bukanlah pembangunan, melainkan bentuk lain dari kekerasan struktural.
Pemerintah daerah tidak seharusnya hanya bertindak sebagai pihak yang memfasilitasi kepentingan investasi atau menjadi juru bicara narasi pembangunan versi investor atau pemerintah pusat. Sebaliknya, mereka (pemerintah daerah) memiliki tanggung jawab moral dan politis untuk melindungi ruang hidup rakyat—tanah, air, budaya, dan ekosistem yang menjadi sumber kehidupan masyarakat.
Pemerintah daerah juga harus mampu menjembatani antara modernitas (misalnya, transisi energi) dengan nilai-nilai lokal masyarakat Flores, agar pembangunan tidak meminggirkan kearifan lokal, melainkan berjalan secara berkeadilan dan berkelanjutan. Jika rakyat menolak, pemerintah harus tetap berpihak pada suara rakyat.
Kini saatnya pemerintah daerah berpikir ulang: apakah kita sedang membangun masa depan Flores, atau justru sedang membongkar fondasi kehidupan masyarakatnya? Apakah kita sedang menciptakan kemajuan, atau sedang menciptakan luka baru yang akan diwariskan kepada generasi mendatang?
Flores layak untuk maju, tetapi bukan dengan cara melukai atau menindasnya. Pembangunan yang sejati adalah pembangunan yang mendengarkan, yang memulihkan, dan yang menumbuhkan kehidupan.
Karena itu, sudah waktunya pembangunan geotermal yang dipaksakan ini dikaji ulang secara serius. Rakyat Flores bukan obyek proyek, melainkan subyek sejarah. Mereka berhak menentukan masa depannya sendiri—dengan cara yang berkeadilan, bermartabat dan ekologis.
*Penulis adalah alumnus IFTK Ledalero