Fantasi Sedarah dan Buramnya Literasi Seksualitas Kita di Dunia Digital

Yang dibutuhkan bukan polisi moral digital, tapi masyarakat yang melek media dan kritis terhadap cara tubuh dan seksualitas diperlakukan di ruang-ruang daring.

*Oleh: Rini Kartini

Belakangan, media sosial saya dipenuhi tangkapan layar dari grup Facebook bernama Fantasi Sedarah. Meski saya tidak pernah membukanya secara langsung – dan mungkin tidak akan pernah bisa membukanya karena telah diblokir, namun potongan isi grup yang beredar di Instagram cukup membuat saya merasa mual bercampur khawatir.

Begitu banyak orang dengan santai, berbagi imajinasi seksual yang menyimpang, menjijikkan, bahkan melibatkan anggota keluarga sendiri.

Awalnya, saya mengira grup ini hanyalah sebuah aksi iseng satu dua akun anonim. Namun ternyata grup ini telah diikuti oleh lebih dari 32 ribu akun sebelum diblokir. Jumlah yang tidak kecil untuk sesuatu yang jelas-jelas menyimpang, bahkan melanggar hukum.

Grup ini berisi konten narasi-narasi seksual menyimpang, termasuk inses dan eksploitasi tubuh perempuan dan anak, yang dipertukarkan secara bebas dalam format cerita, komentar, foto, dan interaksi antar anggota. 

Pertanyaannya, kok bisa platform seperti Facebook menampung konten ekstrem seperti ini tanpa terdeteksi lebih awal? Mengapa orang merasa nyaman mengekspresikan fantasi menyimpang di ruang publik digital?

Jawaban yang sederhana barangkali adalah: karena mereka bisa. Karena ada ruang. Karena ada anonimitas. Tapi saya percaya persoalannya lebih dalam dari itu. Mencerminkan dua hal yang krusial: lemahnya literasi digital kita dan kuatnya budaya tabu yang justru membiakkan ruang gelap di dunia maya.

Sebagai pemerhati media sosial, saya melihat fenomena ini bukan hanya sebagai bentuk penyimpangan moral atau pelanggaran hukum. Ini juga merupakan gejala dari cara masyarakat kita memahami tubuh, seksualitas, dan komunikasi di era digital yang dibentuk oleh struktur platform dan budaya komunikasi yang berkembang di dalamnya.

Budaya Seks yang Tertutup dan Lahirnya Voyeurisme Digital

Fenomena grup Facebook “Fantasi Sedarah” tak bisa dipisahkan dari budaya kita yang masih menempatkan seks sebagai sesuatu yang tabu. Di banyak keluarga dan institusi pendidikan, seksualitas tidak dibicarakan sebagai bagian dari pengetahuan yang sehat, melainkan sesuatu yang harus dijauhi, disembunyikan bahkan dianggap kotor.

Dalam konteks ini, rasa ingin tahu yang wajar tentang tubuh dan seks justru berkembang di ruang-ruang tersembunyi, tanpa kontrol, tanpa edukasi, dan tanpa etika. 

Nah, di sinilah perilaku voyeurisme tumbuh. Ketika masyarakat tidak diberikan ruang terbuka untuk memahami seksualitas secara sehat, sebagian orang mencari akses melalui cara diam-diam: mengintip, membaca cerita eksplisit, hingga bergabung dalam grup maya yang menawarkan sensasi “melihat yang dilarang”.

Voyeurisme menjadi bentuk pelampiasan represi seksual, dan sayangnya, yang paling sering menjadi objek adalah perempuan dan anak.

Voyeurisme digital semacam ini hanya satu langkah menuju praktik objektifikasi, yaitu saat tubuh orang lain diposisikan hanya sebagai objek kenikmatan seksual, tanpa identitas, dan tanpa agensi.

Dalam grup seperti “Fantasi Sedarah”, tubuh perempuan dan anak diimajinasikan, dibicarakan, dan dikonstruksi semata-mata sebagai sumber fantasi, bukan sebagai manusia. Di banyak kasus, bahkan tak sedikit konten yang menjurus pada eksploitasi, jika bukan bentuk awal dari komodifikasi seksual.

Kita mungkin sering berpikir bahwa menutup rapat pembicaraan soal seks akan menjauhkan masyarakat dari penyimpangan. Padahal, yang terjadi justru sebaliknya; seks yang dibungkam tidak pernah benar-benar hilang, ia hanya berpindah ke ruang-ruang gelap, tumbuh liar dan menyasar mereka yang paling rentan.

Facebook sebagai Ruang Komunikasi Anonim yang Tanpa Pengawasan Sosial

Media sosial seperti Facebook bukan hanya alat komunikasi. Ia juga sebagai ruang sosial, tempat orang berinteraksi, membentuk identitas dan menyuarakan fantasi.

Dalam teori affordance media, platform digital menyediakan kemungkinan tindakan tertentu: anonimitas, kecepatan, jangkauan luas, dan konektivitas tanpa batas. Inilah yang memungkinkan kelompok-kelompok dengan minat ekstrem dan menyimpang merasa punya tempat dan komunitas.

Dalam konteks seperti Fantasi Sedarah, Facebook menyediakan medium yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi tanpa harus mempertanggungjawabkan identitas. Ini menciptakan kondisi ideal bagi munculnya apa yang disebut “disinhibitation effect” dalam komunitas digital, yakni kecenderungan orang untuk mengekspresikan hal-hal yang tidak akan mereka lakukan dalam komunikasi tatap muka.

Di sisi lain, Facebook dan platform lain jarang secara aktif mengawasi konten lokal secara spesifik, terutama dalam bahasa dan kode budaya tertentu. Pengawasan lebih banyak bersifat reaktif, no viral no action, baru bergerak jika viral dan ramai dilaporkan, bukan preventif.

Ruang Digital, Cermin Bias Seksualitas

Seksualitas dalam grup seperti ini tidak hanya hadir sebagai ekspresi individual. Ia dikonstruksi dan dikomodifikasi. Tubuh, terutama tubuh perempuan dan anak, ditampilkan sebagai objek yang bisa dibayangkan, dikendalikan, bahkan dieksploitasi secara simbolik.

Budaya patriarki yang kuat, dikombinasikan dengan komunikasi digital yang tidak beretika, memperkuat male gaze – cara pandang maskulin yang menjadikan perempuan sekadar objek visual dan fantasi. Di ruang digital, fantasi ini diperkuat oleh platform yang tidak memiliki etika kontekstual terhadap budaya lokal dan nilai-nilai kemanusiaan.

Fenomena ini menunjukkan bahwa media digital bukan ruang netral. Ia memfasilitasi bentuk-bentuk komunikasi yang tidak hanya mencerminkan realitas sosial, tetapi juga membentuk ulang cara kita memaknai seks dan kekuasaan.

Literasi Digital yang Terlalu Teknokratik

Respons publik dan pemerintah terhadap grup ini mayoritas berbentuk penutupan dan pemblokiran. Namun tindakan reaktif ini hanya akan memindahkan masalah, bukan menyelesaikannya.

Pendidikan literasi digital di Indonesia cenderung teknokratis – mengajarkan coding, keamanan digital, atau penggunaan aplikasi. Padahal, literasi media dan komunikasi seharusnya juga mengajarkan cara membaca, mengkritisi, dan menilai pesan yang kita temui dan produksi di ruang digital. Siapa yang bicara? Dari sisi kekuasaan apa? Kepada siapa pesan ini ditujukan? Apa dampaknya terhadap representasi tubuh, seks, dan gender?

Selama literasi komunikasi ini tidak diajarkan, pengguna media sosial akan terus menjadi konsumen pasif (atau produsen aktif) dari konten berbahaya tanpa pemahaman etis dan kritis.

Yang Rusak Bukan Cuma Grup, Tapi Cara Kita Berkomunikasi

“Fantasi Sedarah” adalah peristiwa yang berulang. Fenomena grup-grup menyimpang bukanlah hal baru di ruang digital Indonesia. Sejumlah grup Facebook terbukti memfasilitasi aktivitas ilegal dan eksploitasi seksual untuk prostitusi online dan aktivitas menyimpang lainnya.

Tahun 2017 silam, grup Facebook “Loly Candy 18+” menggegerkan dunia maya. Grup ini menyimpan dan mendistribusikan konten pornografi anak dengan lebih dari 7.000 anggota. Ironisnya, keberadaan grup-grup ini sering kali baru mendapatkan perhatian serius dari aparat penegak hukum setelah menjadi viral di media sosial. Padahal, pengawasan dan penindakan terhadap konten-konten berbahaya di ruang maya seharusnya menjadi tugas proaktif pemerintah dan platform digital, bukan sekadar reaksi terhadap tekanan publik.

Grup “Fantasi Sedarah” memang telah ditutup, tapi jika kita meninjau ulang bagaimana kita berkomunikasi di era digital – baik dari sisi kebijakan, desain platform, hingga pendidikan media – maka grup serupa akan terus bermunculan dalam bentuk yang lebih tersembunyi.

Masyarakat perlu diberdayakan bukan hanya  untuk bermain media sosial dengan aman, namun juga untuk memahami relasi kuasa, simbol, dan nilai yang terus dipertukarkan dalam komunikasi daring. Tubuh bukanlah ruang tanpa etika.

Yang dibutuhkan bukan polisi moral digital, tapi masyarakat yang melek media dan kritis terhadap cara tubuh dan seksualitas diperlakukan di ruang-ruang daring.

*Rini Kartini, seorang ibu dan pemerhati media sosial

spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA