Ruteng, Ekorantt.com – Pemerintah Kabupaten Manggarai mulai mengambil langkah konkret dalam menghadapi krisis iklim dengan menyusun rencana aksi adaptasi berbasis daerah.
Melalui Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bapperida) serta Dinas Lingkungan Hidup, Pemkab membentuk Sekretariat Bersama Pembangunan Berketahanan Iklim (Sekber PBI) yang berpusat di Ruteng dan mencakup tiga kabupaten di wilayah Manggarai Raya (Manggarai, Manggarai Barat, dan Manggarai Timur).
“Kami telah melaksanakan beberapa inisiatif seperti sekolah lapang iklim, penyusunan kalender tanam, serta penghijauan. Untuk tahun 2025, aksi konkret akan ditentukan melalui rapat koordinasi pada 4 Juni mendatang,” kata Jabatan Fungsional Perencana Bapperida Manggarai, Kiki Artina, pada Jumat, 30 Mei 2025.
Program prioritas yang akan digarap mencakup pengelolaan sampah, ketahanan pangan, dan penghijauan.
Saat ini, Pemkab Manggarai tengah mengintegrasikan aksi adaptasi perubahan iklim ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), sesuai dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 2025 yang menekankan bahwa kebijakan iklim harus menjadi bagian dari perencanaan pembangunan daerah.
Kiki berharap, dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan dampak perubahan iklim, perilaku sehari-hari pun dapat berubah, seperti tidak membuang sampah sembarangan, tidak menebang hutan secara ilegal, dan mampu mengelola limbah peternakan secara berkelanjutan.
“Selain itu, kami berharap CSO dapat terus berkomitmen bersama pemerintah dalam mendorong aksi nyata masyarakat untuk mengurangi dampak perubahan iklim,” tambahnya.
Sementara itu, Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup pada Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Manggarai, Adrianus Husen, menyampaikan bahwa pihaknya telah melaksanakan program Kampung Iklim sebagai tindak lanjut dari hasil dialog kebijakan di Kupang.
Program Kampung Iklim bertujuan meningkatkan keterlibatan masyarakat dan pemangku kepentingan dalam memperkuat kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim.
Adrianus menjelaskan, program ini disusun secara terpadu dalam kerangka kebijakan pembangunan daerah hingga tingkat desa.
“Saat ini kami tengah menjalin kerja sama dengan LSM Ayo Indonesia dan telah melakukan sosialisasi di empat desa, yakni Desa Tal, Desa Wewo, Desa Bangka Lelak, dan Desa Rai,” katanya.
Project Coordinator Yayasan Ayo Indonesia, Eni Setyowati, menekankan pentingnya peran kabupaten sebagai penghubung antara komunitas dan pemerintah agar program adaptasi dan mitigasi perubahan iklim bisa berjalan efektif dan adil.
“Melalui kerja sama dengan dinas terkait dan Sekber, kami telah menjalankan sejumlah inisiatif seperti sekolah lapang iklim dan kalender tanam sebagai panduan cuaca bagi petani. Program Kampung Iklim juga melibatkan komunitas anak muda lokal Momang Lino untuk menjadi penggerak perubahan,” kata Eni.
Sebelumnya, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) bekerja sama dengan Voices for Just Climate Action (VCA) Indonesia menggelar Dialog Kebijakan Adaptasi Perubahan Iklim pada 19–20 Mei 2025.
Kegiatan ini secara resmi dibuka oleh Gubernur NTT, Melkiades Laka Lena, dan bertujuan membangun sinergi antara organisasi masyarakat sipil (CSO) dengan pemerintah kabupaten dan provinsi dalam merancang aksi iklim yang berkeadilan.
Mengusung tema “Mendorong Kebijakan Adaptasi Perubahan Iklim yang Berkeadilan di Provinsi Nusa Tenggara Timur”, dialog ini membahas secara mendalam analisis risiko dan dampak perubahan iklim di wilayah NTT.
Forum ini mengidentifikasi bahwa sektor pertanian, kehutanan, perikanan, serta pengelolaan sampah dan limbah merupakan sektor yang paling rentan terdampak.
Beberapa pendekatan adaptasi perubahan iklim yang dibahas meliputi rekayasa teknik di area terbangun, penggunaan teknologi ramah lingkungan, penyusunan kebijakan dan peraturan, serta perubahan pola perilaku dan pendekatan berbasis ekonomi.
Proyek-proyek prioritas yang akan dilaksanakan antara lain penyusunan Peraturan Daerah tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Pulau Sumba, konservasi laut berbasis kearifan lokal, serta pengadaan mesin pengolah dan pencacah sampah plastik.