Borong, Ekorantt.com — Perubahan iklim bukan lagi ancaman masa depan, melainkan kenyataan yang semakin nyata dirasakan dampaknya hari ini.
Krisis iklim tak hanya menekan lingkungan secara global, tetapi juga menuntut keterlibatan aktif dari generasi muda yang paling terdampak sekaligus paling berpengaruh dalam perubahan.
“Anak muda adalah kelompok yang akan hidup paling lama di masa depan, sehingga merekalah yang akan merasakan dampak jangka panjang dari krisis iklim,” kata Yovita Capsariani Pagu, local champion dari Koalisi Pangan BAIK, dalam kegiatan “Pengenalan Pangan Lokal Sorgum” di Aula Paroki Santu Gregorius Borong, Keuskupan Ruteng, Nusa Tenggara Timur, Senin, 9 Juni 2025.
Kegiatan tersebut dihadiri oleh puluhan orang muda Katolik yang tergabung dalam paroki setempat.
Dalam paparannya, Yovita menyoroti dampak perubahan iklim yang sudah dirasakan sekarang, mulai dari peningkatan suhu global, bencana alam yang lebih intens, krisis air bersih, hingga penurunan hasil pertanian.
Namun di balik kerentanan itu, ia melihat potensi besar anak muda sebagai agen perubahan.
“Mereka lebih adaptif terhadap perubahan, lebih cepat memahami isu lingkungan, dan mampu mengadopsi gaya hidup berkelanjutan,” ujarnya.
Contoh konkret dari gaya hidup tersebut, lanjut Yovita, mencakup penggunaan transportasi umum, pengurangan penggunaan plastik, hingga memilih produk lokal seperti sorgum.
Ia menekankan peran penting media sosial sebagai alat kampanye lingkungan.
“Anak muda sangat akrab dengan platform digital seperti Facebook, Instagram, TikTok, X, dan YouTube. Mereka bisa memanfaatkannya untuk menyebarkan informasi ilmiah dan kampanye kesadaran lingkungan secara luas melalui konten kreatif seperti video edukatif, infografik, hingga podcast,” tambahnya.
Ketua Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) Keuskupan Ruteng, RD. Marsel Zosimus Erot, yang turut menjadi pembicara, menggarisbawahi keterkaitan antara kerusakan lingkungan dan cara pandang manusia terhadap alam.
“Krisis ekologi berdampak serius terhadap kelangsungan bumi dan kehidupan manusia. Ketidakteraturan alam seperti kekeringan, banjir, longsor, gelombang panas, dan krisis pangan adalah bukti nyatanya,” ujarnya.
Pastor Zosimus menilai akar dari krisis ekologis ini adalah cara pandang antroposentris yang melihat alam hanya sebagai objek eksploitasi demi kepentingan manusia.
“Gaya hidup konsumtif dan hedonis menjadi penyumbang utama, yang diperparah oleh sistem ekonomi kapitalis yang hanya mengejar keuntungan tanpa memperhitungkan kerusakan yang ditimbulkan terhadap lingkungan,” katanya.
Sementara itu, Lian Labut, seorang petani hortikultura, membagikan pengalamannya dalam mengembangkan pertanian berkelanjutan di tengah keterbatasan ekonomi keluarga.
“Saya terdorong membuktikan diri bahwa pertanian bisa menjadi jalan keluar,” kata Lian.
Ia memulai langkahnya dengan mengelola lahan keluarga seluas 1.750 meter persegi menggunakan sistem pertanian organik. “Hasilnya mulai terlihat dan mendapat dukungan dari masyarakat sekitar,” ujarnya.
Acara ini diselenggarakan oleh Yayasan Ayo Indonesia bekerja sama dengan Yayasan KEHATI dan Komisi PSE Keuskupan Ruteng.