Oleh: Erlyn Lasar
Melbourne sedang ada di penghujung musim gugur. Langitnya terang dan cerah, tetapi angin yang bertiup begitu dingin, menusuk sampai ke tulang. Musim dingin memang sudah di depan pintu.
Saya duduk di sudut sebuah kelas yang diajar oleh Profesor K, pembimbing saya. Minggu ini, dia mengizinkan saya sit-in di kelas yang membekali para calon guru Kimia sebelum mereka mulai praktik mengajar di SD dan SMP seluruh Victoria.
Untuk cerita mengapa saya—dengan latar belakang pendidikan guru Bahasa Inggris—dibimbing oleh seorang profesor Sains di sini biarlah menjadi kisah untuk kesempatan lain.
Setelah 50 menit perkuliahan yang menakjubkan itu usai, mahasiswa satu per satu meninggalkan ruangan. Profesor K mendekati meja saya dan duduk di hadapan saya, tersenyum tanpa berkata-kata. Saya tahu beliau membaca ekspresi takjub di wajah saya.
Saya pun bertanya hati-hati, “Mengapa kelas Anda begitu aktif? Semua mahasiswa tampak mudah bertanya, bahkan tak segan menyampaikan protes. Dan mengapa Anda tidak marah ketika beberapa mahasiswa datang terlambat, bahkan setelah 20 menit perkuliahan dimulai?”
Saya sebenarnya juga ingin bertanya mengapa mahasiswa datang hanya dengan kaos, celana pendek, dan sandal jepit, padahal mereka calon guru, mahasiswa di fakultas pendidikan. Tapi saya sadar, itu bagian dari cross-cultural understanding yang perlu waktu dan kedalaman tersendiri untuk dicerna; mungkin di kesempatan lain.
Masih dengan senyum, Profesor K menjawab, “Entahlah. Pertanyaanmu sulit saya jawab, karena bertanya tidak pernah menjadi masalah di sini. Bahkan bagi saya, bertanya adalah sebuah hak. Kami dibiasakan untuk bertanya sejak mulai bisa berbicara. Dan tidak semua kelas saya seperti ini. Kamu akan belajar juga dari kelas yang pasif. Tentang mereka yang terlambat, mahasiswa di sini bahkan tidak diwajibkan hadir. Mereka bisa memilih untuk absen, asalkan tetap mengerjakan tugas.”
Jawaban itu terus terngiang bahkan setelah saya keluar dari ruangan.
Dalam diskursus pendidikan kontemporer, kebebasan kerap dipahami sebagai konsep normatif yang abstrak—seolah hanya milik idealisme ruang diskusi, bukan praktik sehari-hari di kelas. Namun jika merujuk pada pemikiran filsuf besar Immanuel Kant, kebebasan justru adalah keterampilan rasional yang dapat, dan memang harus, dikembangkan melalui pendidikan.
Kant tidak memandang kebebasan sebagai kebebasan absolut untuk bertindak sesuka hati. Sebaliknya, ia memaknai kebebasan sebagai kemampuan manusia untuk bertindak secara otonom—berdasarkan hukum moral yang ia berikan kepada dirinya sendiri (Kant, 1785/1996). Dengan kata lain, kebebasan bukanlah anugerah pasif yang melekat, melainkan hasil dari proses pembelajaran, pembiasaan, dan penguasaan diri yang rasional.
Dalam The Metaphysics of Morals, Kant menyatakan bahwa manusia perlu “didisiplinkan agar menjadi bebas”—sebuah paradoks yang mengandung pesan penting: bahwa kebebasan bukan kebebasan dari aturan, melainkan kemampuan untuk menentukan arah hidup dengan akal budi yang terlatih (Kant, 1797/1996).
Bagi saya, ketika masih duduk di bangku sekolah, mengambil keputusan kecil saja—seperti memilih topik tugas atau menyampaikan pendapat yang berbeda—bisa terasa menegangkan. Ada rasa khawatir akan salah, takut dinilai aneh, atau sekadar dianggap “tidak tahu diri.” Bukan karena guru saya galak, tetapi karena budaya kelas saat itu lebih menekankan kepatuhan dan keseragaman. Akibatnya, saya terbiasa menunggu instruksi, menyesuaikan diri, dan menghindari risiko—alih-alih belajar mengambil keputusan secara mandiri.
Bertolak dari pengalaman ini, saya mengasumsikan bahwa barangkali guru-guru kita dulu sempat keliru memahami pemikiran Kant tentang kebebasan dalam pendidikan. Sebab, jika kebebasan dimaknai hanya sebagai absennya paksaan, maka pendidikan justru abai pada hal yang paling penting: membekali peserta didik dengan keterampilan untuk berpikir dan bertindak secara otonom.
Padahal, menurut Kant, kebebasan sejati bukan muncul dari kebebasan eksternal, melainkan dari kemampuan internal untuk menentukan tindakan berdasarkan akal dan tanggung jawab moral (Kant, 1785/1996).
Dan saya tahu, saya tidak sendirian. Banyak dari kita tumbuh dalam sistem pendidikan yang cenderung meredam inisiatif, membatasi ruang bertanya, dan membingkai “berbeda” sebagai masalah. Takut mengambil keputusan atau takut salah bukan sekadar fenomena sesaat; ia adalah fakta sosial yang tumbuh dalam ruang-ruang belajar yang lebih menghargai kepatuhan daripada keberanian berpikir, lebih mengutamakan jawaban benar ketimbang proses mencari tahu.
Belakangan, saya semakin menyadari bahwa keterampilan untuk menerapkan kebebasan secara bertanggung jawab justru menjadi bekal paling penting dalam kehidupan nyata di luar kelas. Dalam dunia kerja, relasi sosial, maupun dalam mengambil keputusan-keputusan moral sebagai individu dewasa, kita dihadapkan pada situasi-situasi yang tidak selalu punya satu jawaban benar. Di sanalah kemampuan untuk menimbang, memilih, dan bertindak secara etis menjadi krusial. Sayangnya, keterampilan semacam ini jarang secara eksplisit diajarkan di kelas.
Itulah sebabnya saya percaya, kelas seharusnya menjadi ruang aman bagi peserta didik untuk berlatih kebebasan—dalam arti yang Kant maksudkan: kebebasan yang bersumber dari akal, bukan dari keinginan sesaat. Kebebasan yang tidak destruktif, melainkan konstruktif. Dan tugas kita sebagai guru bukan sekadar mengizinkan mereka “bebas,” tetapi membimbing mereka menjadi bebas.
Maka pertanyaannya adalah: bagaimana guru dapat mengajarkan kebebasan di kelas, bukan sebagai konsep abstrak, tetapi sebagai keterampilan yang bisa diasah?
Pertama-tama, kebebasan sebagai keterampilan mensyaratkan adanya ruang bagi peserta didik untuk mengalami pengambilan keputusan secara otonom, disertai refleksi atas konsekuensinya. Dalam praktiknya, ini berarti guru tidak selalu menjadi pusat keputusan, melainkan membuka ruang bagi siswa untuk memilih—misalnya dalam proyek belajar, bentuk tugas, cara penyampaian pendapat, bahkan cara mereka menilai proses belajar mereka sendiri.
Kebebasan seperti ini bukan berarti tanpa batas. Justru, sebagaimana ditekankan oleh Gert Biesta (2017), peran pendidikan adalah untuk menginterupsi keinginan-keinginan impulsif siswa dan membimbing mereka menuju “kebebasan yang bertanggung jawab”—yakni kebebasan yang tidak merugikan orang lain dan mempertimbangkan nilai-nilai publik yang lebih luas. Di sinilah pentingnya keterampilan moral, bukan hanya kognitif.
Sebagai contoh, seorang guru bisa melatih siswa untuk berdiskusi dalam forum terbuka dengan aturan dasar: menghargai giliran bicara, menyampaikan ketidaksetujuan dengan alasan, dan mengevaluasi pendapat berdasarkan logika, bukan otoritas. Di balik kegiatan yang tampak sederhana ini, guru sedang menanamkan fondasi berpikir mandiri dan etis—dua unsur pokok kebebasan menurut Kant.
Lebih lanjut, Joel Westheimer dan Joseph Kahne (2004) membedakan antara tiga tipe warga negara yang dihasilkan oleh pendidikan: warga yang taat aturan (personally responsible), warga yang partisipatif (participatory), dan warga yang kritis (justice-oriented). Sayangnya, banyak praktik pendidikan hanya mencetak tipe pertama—anak-anak baik yang patuh. Padahal yang kita butuhkan dalam demokrasi adalah tipe ketiga: warga yang mampu menganalisis, mengkritisi, dan mengambil tindakan berdasarkan prinsip keadilan.
Kebebasan sebagai keterampilan hidup tidak lahir dari kepasrahan terhadap struktur, melainkan dari pembiasaan bertanya, berpikir, dan bertindak secara etis. Oleh karena itu, kelas bukan hanya ruang belajar, tetapi juga tempat latihan kebebasan. Guru yang memahami ini tidak akan alergi pada siswa yang kritis, tidak akan terganggu oleh siswa yang mengangkat tangan untuk mempertanyakan, atau datang dengan cara yang berbeda—selama semua itu terjadi dalam bingkai penghormatan terhadap sesama.
Mengajarkan kebebasan berarti menciptakan ekologi belajar di mana akal diberi ruang untuk tumbuh, bukan untuk ditekan. Seperti ditulis Meira Levinson (2012), pendidikan kewargaan dalam masyarakat demokratis tidak bisa hanya berisi hafalan nilai, melainkan harus memberi ruang pada pengalaman hidup yang kompleks dan plural. Ini adalah medan latihan yang riil, bukan simulasi ideal.
Saya percaya, semakin dini kebebasan diajarkan sebagai keterampilan, semakin kuat fondasi moral dan intelektual generasi kita. Seorang anak yang terbiasa memilih dan bertanggung jawab, akan lebih siap menghadapi dunia yang menuntut keputusan setiap hari—bukan karena takut hukuman, tetapi karena sadar bahwa ia bebas untuk memilih yang benar.
*Erlyn Lasar, mahasiswa di Melbourne.