Warga Poco Leok Ajukan Keberatan Administratif terhadap Bupati Manggarai atas Dugaan Intimidasi

Agustinus Tuju, 53 tahun, warga Poco Leok, menjadi pihak pemohon dalam pengajuan tersebut, didampingi oleh tim kuasa hukum dari Koalisi Advokasi Poco Leok.

Ruteng, Ekorantt.com – Koalisi Advokasi Poco Leok resmi mengajukan surat keberatan administratif kepada Bupati Manggarai, Herybertus G.L. Nabit, terkait dugaan pelanggaran asas-asas umum pemerintahan yang baik dalam penanganan aksi demonstrasi warga yang menolak proyek pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu Unit 5 dan 6.

Surat keberatan tersebut diserahkan langsung ke Bagian Umum Sekretariat Daerah Kabupaten Manggarai pada Kamis, 3 Juli 2025.

Agustinus Tuju, 53 tahun, warga Poco Leok, menjadi pihak pemohon dalam pengajuan tersebut, didampingi oleh tim kuasa hukum dari Koalisi Advokasi Poco Leok.

Menurut kuasa hukum warga, Jimmy Z. Ginting, keberatan administratif merupakan bentuk respons atas tindakan Bupati Hery Nabit yang diduga bersikap emosional dan mengintimidasi warga saat aksi damai di Kantor Bupati Manggarai pada 5 Juni 2025.

“Surat ini ditujukan agar Pak Bupati menyadari betul tugas dan kewajibannya sebagai kepala daerah, utamanya melindungi dan mensejahterakan seluruh warga, termasuk masyarakat adat Poco Leok,” ujarnya.

Pada 5 Juni 2025, bertepatan dengan peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia, warga Poco Leok menggelar demonstrasi di Ruteng.

Mereka menyuarakan penolakan terhadap Surat Keputusan Bupati Manggarai Nomor HK/417/2022 tentang penetapan lokasi proyek PLTP Ulumbu 5-6.

Warga menilai keputusan itu dibuat secara sepihak tanpa proses konsultasi publik yang adil dan partisipatif.

Namun, aksi damai tersebut berubah tegang saat Bupati Nabit keluar dari kantornya dan terlihat memarahi warga.

Ia bahkan disebut memimpin massa tandingan yang sempat melakukan tindakan represif, menyebabkan tiga kendaraan pengangkut massa aksi diamankan ke Polres Manggarai untuk menghindari eskalasi konflik.

“Klien kami merasa trauma. Pada saat kejadian, beliau (bupati) adalah pejabat publik, bukan pribadi biasa. Tindakan tersebut menimbulkan rasa takut yang dalam bagi warga,” kata Jimmy.

Langkah keberatan administratif yang diajukan warga mengacu pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, serta Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 mengenai penyelesaian sengketa tindakan pemerintahan.

“Ini adalah prosedur awal menuju proses peradilan di PTUN. Jika surat kami diabaikan, kami akan mengajukan banding administrasi kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri, dan bahkan dapat menggugat ke pengadilan,” ujar Yulianto B. Ngali Mara, kuasa hukum lainnya.

Yulianto juga menekankan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Bupati Nabit tidak hanya melanggar norma administrasi, tetapi berpotensi melanggar hukum pidana.

Hal ini disampaikan juga oleh kuasa hukum lain, Judianto Simanjutak, yang merujuk pada Pasal 18 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

“Dalam kacamata hukum pidana, tindakan kekerasan terhadap demonstran bisa dianggap sebagai pelanggaran pidana dengan ancaman hukuman satu tahun penjara,” kata Judianto.

Warga Tuntut Peninjauan Proyek PLTP Ulumbu

Penolakan masyarakat adat Poco Leok terhadap proyek PLTP Ulumbu Unit 5-6 bukan tanpa alasan.

Mereka menganggap proyek ini mengancam ruang hidup dan hak-hak adat mereka.

Selain itu, penetapan Pulau Flores sebagai wilayah pengembangan panas bumi oleh pemerintah pusat melalui Keputusan Menteri ESDM Nomor 2268 K/30/MEM/2017 juga dianggap tidak partisipatif.

Proyek pengembangan PLTP Ulumbu Unit 5 dan 6 merupakan bagian dari investasi energi bersih senilai sekitar 150 juta euro yang didanai oleh bank pembangunan Jerman, KfW, dan dilaksanakan oleh PT PLN Unit Induk Pembangunan Nusa Tenggara.

Proyek ini menargetkan tambahan daya sebesar 2×20 megawatt, jauh di atas kapasitas awal yang telah beroperasi sejak 2012 sebesar 10 MW.

Namun, warga Poco Leok meminta seluruh proses proyek, mulai dari sosialisasi hingga pengadaan lahan, dihentikan hingga ada jaminan penghormatan terhadap hak masyarakat adat.

“Demonstrasi adalah hak konstitusional. Jika disikapi dengan kekerasan, maka ini preseden buruk bagi demokrasi lokal. Kami harap ini jadi pelajaran penting bagi kepala daerah,” pungkas Jimmy.

spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA