Walhi NTT Nilai Uji Petik Geotermal Hanya Sandiwara

Walhi menilai uji petik tersebut tidak independen, sarat formalitas, dan hanya menjadi alat legitimasi proyek yang sarat konflik.

Kupang, Ekorantt.com Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Eksekutif Daerah Nusa Tenggara Timur (Walhi NTT) menuding pemerintah provinsi dan tim satuan tugas (Satgas) bentukan Gubernur Melkiades Laka Lena telah melakukan “kejahatan intelektual” dalam proses uji petik proyek panas bumi di Flores dan Lembata.

Walhi menilai uji petik tersebut tidak independen, sarat formalitas, dan hanya menjadi alat legitimasi proyek yang sarat konflik.

“Uji petik ini hanyalah sandiwara. Prosesnya abal-abal dan tidak mencerminkan semangat mendengar seluruh aspirasi masyarakat terdampak,” kata Staf Divisi Advokasi Walhi NTT, Gres Gracelia, dalam keterangan tertulis kepada Ekora NTT, Sabtu, 5 Juli 2025.

Pernyataan itu disampaikan menyusul pelaksanaan Rapat Koordinasi (Rakor) Penyampaian Laporan Tim Satgas Uji Petik yang digelar di Hotel Harper, Kota Kupang, Jumat, 4 Juli.

Dalam rakor tersebut, presentasi temuan lapangan yang seharusnya berdurasi 45 menit, menurut WALHI, hanya dipadatkan menjadi 5 menit oleh moderator, Pri Utami, Kepala Geothermal Research Center FT UGM, yang juga menjadi anggota tim Satgas.

“Bagaimana mungkin persoalan geothermal yang sudah menimbulkan konflik horizontal, semburan lumpur panas, dan kerusakan lingkungan hanya dibahas dalam lima menit? Ini ajaib,” kata Gres.

Temuan Lapangan yang Diabaikan

Gres menilai Satgas tidak bekerja secara obyektif. Dalam uji petik di titik-titik seperti Atadei (Lembata), Mataloko dan Nage (Ngada), Sokoria (Ende), Waesano (Manggarai Barat), dan Poco Leok (Manggarai), tim hanya menemui kelompok yang pro proyek. Masyarakat yang menolak dan terdampak langsung, menurut dia, diabaikan.

“Kami temukan, tim ini turun bersama pihak PLN, padahal seharusnya PLN adalah objek evaluasi. Jadi, independensi tim ini jelas tidak ada,” ujar Gres.

Di Nage dan Mataloko, Walhi mendokumentasikan semburan lumpur panas yang muncul di rumah warga. Beberapa rumah mengalami korosi atap berulang, anak-anak dan perempuan mengalami gangguan pernapasan dan penyakit kulit, dan beberapa keluarga kehilangan sumber ekonomi. Namun, dalam laporan Satgas, semua persoalan tersebut tidak masuk dalam catatan.

“Rekomendasi mereka bahkan membolehkan proyek dilanjutkan. Ini tidak hanya keliru, tapi berbahaya,” kata Gres.

Kritik Terhadap Akademisi

Walhi juga menyorot integritas sejumlah akademisi yang tergabung dalam tim uji petik. Mereka menuding para akademisi tersebut telah “menghianati ilmu pengetahuan” dan menjadi alat pembenaran proyek bermasalah.

“Kami nyatakan mosi tidak percaya kepada para akademisi dalam tim ini. Mereka telah melakukan kejahatan intelektual,” ujar Gres.

Nama-nama akademisi yang dikritik Walhi antara lain: Philiphi de Rozari, I Gusti Made Ngurah Budiana, Chris Oiladang, dan Petrus Kase dari Undana Kupang, Rafael Octavianus Byre dari Unflor Ende, serta Pri Utami dari UGM Yogyakarta.

Gres menyebut beberapa dari mereka sejak awal sudah menyatakan dukungan terhadap proyek geothermal tanpa memperhatikan kondisi sosial-ekologis di lapangan.

Dalam rakor tersebut, kata dia, Gubernur NTT Melkiades Laka Lena mengatakan pembentukan Satgas merupakan bentuk komitmen untuk memastikan aspirasi masyarakat terdengar secara berimbang.

“Kami ingin memastikan seluruh aspirasi menjadi informasi yang seimbang,” kata Melki, sebagaimana diungkapkan Gres.

Namun, ia menilai pernyataan tersebut hanya retorika. “Pernyataan Gubernur tidak tercermin dalam proses di lapangan. Yang terjadi justru sebaliknya. Tim hanya mendengarkan kelompok pro dan menyingkirkan suara-suara kritis,” tegas Gres.

Desakan Penutupan Proyek

Merespons situasi tersebut, Walhi menyatakan sikap tegas: pertama, menolak seluruh hasil uji petik Satgas yang dianggap tidak ilmiah dan penuh konflik kepentingan.

Kedua, mendesak Gubernur NTT untuk menghentikan seluruh proyek geotermal di Pulau Flores dan Lembata.

Ketiga, meminta pertanggungjawaban PLN atas kerusakan lingkungan, gangguan kesehatan, dan konflik sosial di daerah operasi.

Keempat, mengkritisi usulan relokasi warga terdampak sebagai solusi semu yang tidak menyelesaikan persoalan akar.

Kelima, menilai Satgas telah mengabaikan suara kelompok rentan — terutama perempuan, anak-anak, dan komunitas adat.

Keenam, menegaskan bahwa masa depan Flores dan Lembata tidak boleh ditentukan oleh tim yang diragukan integritas dan independensinya.

“Geotermal di Flores dan Lembata bukan solusi transisi energi jika prosesnya cacat, merusak, dan mengorbankan rakyat. Ini bentuk kolonialisme energi yang harus dihentikan,” pungkas Gres.

spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA