*Oleh: Anselmus Dore Woho Atasoge
Flores, permata timur nusantara, bukan hanya lukisan alam yang menawan mata. Ia adalah jiwa yang hidup dalam bisikan angin, gemuruh ombak, dan bisik doa masyarakatnya. Di pulau ini, tanah dipeluk sebagai pusaka suci, gunung dijaga sebagai penjaga tak terlihat, dan laut dihormati sebagai penghubung dunia jasmani dan rohani.
Relasi masyarakat Flores dengan lingkungan bukan sekadar hubungan ekologis, tetapi sebuah perjanjian luhur antara manusia, leluhur, dan Sang Ilahi yang dirayakan dalam setiap ritual dan dipertahankan dalam nilai-nilai turun-temurun.
Namun dalam keheningan doa dan nyanyian adat yang mengalir dari generasi ke generasi, hadir sebuah gaung baru: eksplorasi energi panas bumi yang menjanjikan terang masa depan, namun berpotensi meredupkan cahaya spiritual dan keseimbangan sosial yang telah lama terjaga.
Kemajuan tak seharusnya menjadi ancaman, namun setiap langkahnya perlu berhati, menghormati ruang hidup masyarakat, dan mendengar suara tanah yang telah lama bicara lewat adat dan iman. Flores tidak sekadar butuh energi, ia butuh cinta yang sanggup membangun tanpa melukai.
Bagi masyarakat Flores, pembangunan bukan sekadar urusan teknis atau perhitungan ekonomi. Ia adalah soal makna, warisan, dan relasi yang sakral. Dalam pandangan sosiologi agama, setiap alat berat yang menggali bumi juga menggali jejak nilai yang telah diwariskan oleh leluhur dan dijaga melalui ritus adat serta ajaran rohani. Ketika proyek geotermal merambah kawasan yang diyakini sakral, masyarakat tak hanya melihatnya sebagai perubahan lanskap, tetapi sebagai ancaman terhadap tatanan hidup yang telah menyatu dengan alam dan spiritualitas mereka selama berabad-abad.
Ketegangan pun tumbuh, tidak semata karena potensi konflik lahan, tetapi karena benturan antara logika pembangunan dan kebijaksanaan lokal yang hidup dalam iman. Negara mungkin menawarkan energi dan pertumbuhan, namun masyarakat Flores menimbangnya dalam neraca yang lebih dalam: neraca nilai, martabat, dan keselarasan hidup, hic et nunc, kini dan nanti. Di sinilah suara spiritual menjadi nyaring, bukan untuk menolak kemajuan, melainkan untuk mengingatkan bahwa pembangunan yang melupakan jiwa masyarakat adalah pembangunan yang kehilangan arah.
Tanah di Flores bukan sekadar hamparan fisik yang diinjak kaki atau digarap alat berat. Ia adalah nadi kehidupan yang mengalir di tubuh budaya masyarakat. Tempat asal mula doa diucapkan, persembahan dipersembahkan, dan kenangan leluhur dijaga dengan penuh hormat. Di setiap jengkalnya, tersimpan kisah suci yang tidak terukur oleh instrumen pembangunan modern. Ia dipeluk dalam ritus, dipuji dalam nyanyian adat, dan diyakini sebagai ruang sakral tempat langit bersua bumi.
Ketika proyek geotermal menyentuh tanah ini, muncul bukan hanya kegelisahan teknis, melainkan pertanyaan mendalam tentang siapa kita dan untuk siapa pembangunan ini dilakukan.
Bagi masyarakat Flores, menjaga kesucian tanah berarti menjaga jati diri dan relasi spiritual yang telah menyatu sejak zaman nenek moyang. Di tengah ambisi menggali energi, suara mereka mengingatkan bahwa pembangunan sejati adalah yang sanggup menyalakan harapan tanpa memadamkan roh budaya yang telah lama menyala.
Dalam pergulatan antara pembangunan dan kelestarian jiwa masyarakat Flores, peran Gereja dan para pemuka agama-masyarakat muncul sebagai lentera yang menuntun arah. Mereka bukan sekadar saksi sejarah, melainkan penjaga nurani, yang bersuara ketika harmoni sosial dan spiritual mulai terguncang. Lewat kotbah, doa, dan pendampingan, mereka merangkai kata-kata menjadi tameng etis, mengingatkan bahwa kemajuan yang tak berpijak pada martabat manusia dan penghormatan terhadap alam bukanlah berkah, melainkan sebuah ketidakseimbangan yang menggerus akar kehidupan.
Resonansi moral ini berpadu indah dengan gema ensiklik ‘Laudato Si’ karya Paus Fransiskus, seruan yang membelah kebisuan dunia dengan ajakan penuh kasih: “dengarkanlah jeritan bumi dan jeritan orang miskin.”
Di tengah suara mesin dan data proyek, suara Gereja hadir sebagai nyanyian kesadaran bahwa tanah yang digarap harus tetap menjadi tempat berpijak nilai, dan teknologi yang dirancang harus tetap menyisakan ruang untuk doa dan cinta terhadap ciptaan.
‘Laudato Si’ bukan hanya dokumen ajaran Gereja. Ia adalah nyala nurani global yang membelah keheningan bumi yang terluka.
Dalam setiap kalimatnya, Paus Fransiskus menyulam harapan bahwa alam semesta bukanlah ladang untuk ditaklukkan, melainkan rumah bersama yang mesti dipelihara dengan cinta. Seruan ini menolak keras eksploitasi yang lahir dari kerakusan ekonomi, dan mengingatkan bahwa ketika pohon tumbang, sungai mengering, dan tanah retak—yang paling menderita bukanlah mesin, melainkan manusia, terutama mereka yang hidup bersahaja dan bergantung pada rahmat alam.
Dalam konteks Flores, pesan ‘Laudato Si’ bergaung dalam batin masyarakat yang menyatu dengan alam. Ketika proyek geotermal mengetuk pintu pembangunan, pertanyaan yang mengemuka bukan sekadar soal angka dan prospek ekonomi, tetapi tentang keadilan ekologis: apakah pembangunan ini akan memberi cahaya tanpa memadamkan kehidupan? Apakah energi yang digali dari rahim bumi mampu menjaga keseimbangan antara kemajuan dan martabat komunitas? Flores menunggu jawaban yang tidak hanya logis, tetapi juga bijak dan berbelas kasih.
Keberlanjutan sejati tidak sekadar diukur dari energi yang dapat diperbarui, tetapi dari kemampuan kita menjaga keberlanjutan hati dan kebijaksanaan hidup masyarakat.
Di Flores, pembangunan mestinya tidak mereduksi manusia menjadi angka statistik, tetapi merayakan mereka sebagai penjaga nilai dan makna. Proyek geotermal jadinya bukanlah hanya tentang mengalirkan listrik, melainkan tentang mengalirkan rasa hormat, kesadaran, dan cinta kepada bumi yang telah lama menjadi rumah spiritual masyarakatnya.
Dalam terang nilai-nilai tersebut, dialog menjadi napas dari pembangunan yang beradab. Ketika para teknokrat membuka telinga, pemerintah menundukkan hati, dan tokoh adat bersama Gereja bergandengan tangan dengan masyarakat, maka keputusan yang lahir bukan hanya teknis, tetapi juga reflektif dan manusiawi. Flores tidak meminta untuk dilindungi karena lemah, tetapi karena ia kuat dalam kearifan, yang jika didengar, bisa menuntun dunia menuju pembangunan yang lebih bernurani.
Yang akan menentukan arah Flores bukanlah desingan teknologi atau gemuruh alat berat, melainkan gema suara masyarakatnya yang menjaga warisan makna dan nilai. Identitas mereka adalah akar yang tumbuh dalam tanah yang kini telah dan mungkin hendak digali lagi. Inilah sebuah akar yang tak bisa dicabut oleh kemajuan, bila dijaga dengan kesadaran dan keberanian untuk bersuara.
Ketika masyarakat menjadi mitra dalam setiap tahap pembangunan, maka perubahan bukanlah ancaman, melainkan peluang untuk memperkuat relasi antara masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Energi panas bumi yang keluar dari perut tanah hanya akan menjadi berkah bila tidak membakar kehangatan dari hati masyarakat. Cahaya sejati tak lahir dari kilowatt, tetapi dari nyala cinta terhadap tanah kelahiran, terhadap budaya yang mengalir dalam darah, dan terhadap keberadaan yang dihormati. Jika Flores bisa membangun tanpa menghapus, menggali tanpa melukai, maka masa depannya akan dituntun bukan hanya oleh kemajuan, tetapi juga oleh kebijaksanaan.
*Anselmus Dore Woho Atasoge, Staf Pengajar pada Sekolah Tinggi Pastoral Atma Reksa Ende