Kopdes Merah Putih: Koersifisme Negara yang Khianati Semangat Koperasi

Bung Hatta pernah mengingatkan: "Koperasi adalah usaha bersama untuk memperbaiki nasib penghidupan ekonomi berdasarkan tolong-menolong. Semangat tolong-menolong itulah yang harus menjadi jiwa koperasi."

Oleh: Suroto*

Pada 21 Juli 2025, Presiden Prabowo Subianto meresmikan program Koperasi Desa Merah Putih (Kopdes Merah Putih) sebagai tindak lanjut dari Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2025. Peresmian ini menjadi tonggak bahwa lebih dari 80 ribu badan hukum koperasi desa akan segera mulai beroperasi.

Namun, di balik kemeriahan peresmian ini, terselip sebuah kegelisahan mendalam: negara sedang mereproduksi kembali pola koersif pembentukan koperasi yang secara historis justru menjadi sebab kegagalannya sendiri.

Model Kopdes Merah Putih dibangun melalui pendekatan top-down. Negara, lewat 18 kementerian, pemerintah daerah hingga desa, serta BUMN, dikerahkan untuk menyukseskan pendirian koperasi ini dalam waktu tiga bulan. Mekanisme pembentukan koperasi dilakukan melalui Musyawarah Desa Khusus (Musdesus), bukan atas inisiatif warga secara organik.

Lebih ironis lagi, prosesnya tak bebas dari tekanan. Beberapa kepala desa mengaku menghadapi ancaman penundaan alokasi dana desa bila target pendirian tak tercapai. Sementara di sisi lain, janji dukungan modal, kredit dari bank BUMN, serta “paket bisnis” dari pemerintah menjadi iming-iming yang membuat pembentukan koperasi lebih tampak sebagai proyek birokratis ketimbang inisiatif rakyat.

Pemerintah memang membantah pendekatan koersif ini. Namun fakta di lapangan berbicara lain. Target waktu pendirian, sumber pendanaan yang sepenuhnya dikendalikan dari atas, hingga konten bisnis yang seragam menunjukkan bahwa inisiatif ini bukanlah buah dari kebutuhan warga desa, melainkan dari kehendak negara yang dipaksakan.

Pengalaman Indonesia mengajarkan bahwa koperasi yang dibangun secara koersif akan tumbuh menjadi koperasi palsu. Kita telah melihat bagaimana Koperasi Unit Desa (KUD) di era 1970-an gagal setelah subsidi dan fasilitasnya  dihentikan. Koperasi pertanian yang menjamur di awal reformasi karena iming-iming Kredit Usaha Tani (KUT), juga bernasib serupa.

Mereka hidup bukan dari semangat anggota, tapi dari kucuran dana pemerintah yang tak pernah memupuk daya hidup sejati koperasi: solidaritas, keswadayaan, dan pendidikan.

Koperasi, sejatinya, adalah organisasi ekonomi yang demokratis dan otonom. Ia lahir dari rahim rakyat, bukan rahim negara. Ia dibentuk bukan karena tekanan dari atas, tapi karena kebutuhan dari bawah.

Ironisnya, di saat Indonesia kembali menghidupkan pola koperasi koersif ala Orde Baru, dunia justru sedang merayakan Tahun Koperasi Internasional 2025 (IYC 2025). Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menobatkan tahun ini sebagai momentum global penguatan koperasi sebagai kekuatan ekonomi rakyat yang mandiri. International Cooperative Alliance (ICA) mencatat, kini ada 1,3 miliar anggota koperasi di seluruh dunia. Dari 300 koperasi terbesar dunia, total omzet mereka mencapai Rp37.000 triliun (Euricse, 2024).

Contoh keberhasilan koperasi di dunia begitu banyak. Zennoh, koperasi pertanian Jepang, memiliki aset enam kali lipat dari Honda. Mondragon, koperasi pekerja di Spanyol, berhasil mengelola bisnisnya secara demokratis oleh 80 ribu pekerja, dengan rasio gaji tertinggi dan terendah yang hanya terpaut enam kali lipat. Credit Agricole, koperasi perbankan di Prancis, menjadi bank paling solid yang dimiliki jutaan nasabahnya. Di Amerika Serikat, koperasi listrik NRECA melayani hampir seluruh negara bagian. Bahkan NTUC FairPrice di Singapura menjelma menjadi raksasa ritel milik konsumen.

Dan Malaysia? Negara tetangga kita itu setidaknya menyumbang satu koperasi kelas dunia. Sementara kita—negara keempat terbesar di dunia dari segi populasi—tak mampu menyumbang satu pun koperasi yang masuk kategori kelas dunia.

Pelajaran sejati koperasi bukan datang dari birokrasi, melainkan dari sejarah gerakan. Rochdale Pioneers, koperasi modern pertama di Inggris yang dibentuk oleh 28 buruh tekstil, tumbuh karena mereka ingin menjawab kebutuhan hidup sehari-hari, bukan karena diinstruksikan pemerintah. Nilai-nilai koperasi seperti keanggotaan sukarela dan terbuka, partisipasi ekonomi anggota, otonomi dan kemandirian, pendidikan, serta kerja sama antar-koperasi menjadi fondasi abadi yang membawa koperasi pada keberhasilan.

Di Indonesia sendiri, kita sebenarnya punya contoh keberhasilan koperasi yang otentik: Gerakan Koperasi Kredit Indonesia (GKKI). Didirikan secara swadaya dan terus dikembangkan secara konsisten lewat pendidikan anggota, GKKI kini beranggotakan 4,6 juta orang dan memiliki aset sebesar Rp48 triliun. Salah satu tokoh awalnya adalah Margono Djojohadikusumo—kakek Presiden Prabowo sendiri.

Ironi ini patut menjadi refleksi: mengapa Presiden Prabowo tidak belajar dari keberhasilan keluarganya sendiri, dan malah meniru pola kegagalan masa lalu?

Koperasi bukan hanya entitas ekonomi, tetapi juga bagian dari strategi konstitusional untuk mewujudkan demokrasi ekonomi, sebagaimana diamanatkan Pasal 33 UUD 1945.

Bung Hatta pernah mengingatkan: “Koperasi adalah usaha bersama untuk memperbaiki nasib penghidupan ekonomi berdasarkan tolong-menolong. Semangat tolong-menolong itulah yang harus menjadi jiwa koperasi.”

Jika koperasi dibentuk tanpa jiwa itu, hanya sebagai kendaraan politik atau proyek anggaran, maka ia tidak akan pernah menjadi kekuatan rakyat yang sejati. Ia akan tumbuh sebagai zombie ekonomi—hidup karena dipompa dari luar, tapi mati dari dalam.

Pemerintah harus berhenti memanipulasi koperasi sebagai alat kontrol dari atas. Yang dibutuhkan bukan koperasi bentukan negara, tapi ruang dan waktu bagi rakyat untuk membentuk koperasi mereka sendiri—dengan nilai-nilai, kebutuhan, dan semangat mereka sendiri. Bukan dalam waktu tiga bulan. Tapi melalui proses tumbuh yang penuh kesadaran, pendidikan, dan partisipasi.

Jika tidak, maka Koperasi Desa Merah Putih hanya akan menjadi artefak koersifisme negara yang dipoles sebagai simbol kerakyatan. Dan sejarah akan kembali mencatatnya sebagai kegagalan.

*Suroto adalah Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES)

spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA