Kupang, Ekorantt.com – Dugaan kasus keracunan makanan yang menimpa ratusan siswa SMP Negeri 8 Kupang masih menjadi perhatian publik. Hingga sekarang, belum ada kepastian penyebab insiden yang membuat para siswa harus dilarikan ke rumah sakit usai mengonsumsi Makanan Bergizi Gratis (MBG) tersebut.
“Untuk hasil dari pihak terkait baik itu Balai POM dan Dinas Kesehatan sampai hari ini belum ada,” kata Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Kupang, Dumuliahi Djami, Rabu, 23 Juli 2025.
Hal itu membuat Pemerintah Kota Kupang belum bisa mengambil langkah lebih lanjut. Namun, Djami menegaskan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap pengelolaan dapur MBG, khususnya dalam tiga aspek utama.
Pertama, menurutnya, jumlah makanan yang diproduksi perlu dikurangi. Saat ini, dapur MBG menyuplai antara 3.000 hingga 3.500 porsi makanan, yang dinilai terlalu banyak dan rawan menimbulkan masalah dalam proses pengolahan dan distribusi.
Kedua, aspek higienitas makanan menjadi perhatian utama. “Makanan harus higienis betul sampai ke tangan siswa,” tegas Djami.
Ketiga, waktu distribusi makanan juga perlu diperbaiki. Ia mengungkapkan adanya laporan bahwa makanan tiba di sekolah terlalu siang, sehingga meningkatkan risiko kerusakan makanan. Untuk mencegah kejadian serupa, ia menyarankan agar guru diberi kesempatan mencicipi makanan terlebih dahulu.
“Sebelum diedarkan guru bisa ambil secara acak dan makan duluan. Ini untuk mengetahui makanan ini ataukah sudah basi,” kata dia.
Djami juga menyebutkan, pihak sekolah telah meliburkan aktivitas belajar mengajar selama satu hari pasca-kejadian, dan proses belajar akan kembali normal pada Kamis, 24 Juli 2025. Hingga kini, masih ada 11 siswa yang menjalani perawatan di RSUD S.K. Lerik.

Sementara itu, Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Emanuel Melkiades Laka Lena mengatakan, tim dari Balai POM, Dinas Kesehatan Provinsi dan Kota Kupang sudah dibentuk untuk menyelidiki penyebab pasti kasus ini.
“Sesuai yang kita lihat, anak-anak SMPN 8 Kupang diduga mengalami keracunan makanan dari program MBG. Saat ini, tim dari Dinkes provinsi, Kota Kupang, dan BPOM sedang mempelajari dengan detail apa penyebab dan dampak dari peristiwa ini,” jelas Melki.
Ia menyatakan, Dinas Kesehatan Provinsi membantu Pemkot Kupang dalam proses surveilans epidemiologi, untuk menelusuri apakah benar makanan MBG merupakan sumber keracunan.
“Kalaupun benar, kita harus tahu konteksnya. Apakah masalahnya dari dapur, selama distribusi, atau faktor lain. Semua masih dugaan, dan belum bisa dipastikan sebelum hasil penelitian laboratorium keluar,” tegasnya.
Dari informasi yang diterima, sebagian besar siswa yang sempat dirawat di RSUD S.K. Lerik, RS Siloam, dan RS Mamami sudah dipulangkan karena kondisi membaik. Hanya sekitar 10 siswa yang masih dirawat.
Balai POM tengah meneliti sisa makanan dan muntahan para siswa. Hasil uji kimia diperkirakan akan keluar esok, 24 Juli 2025, sementara uji mikrobiologi membutuhkan waktu sekitar tujuh hari.
“Mudah-mudahan dari hasil uji kimia besok, kita sudah bisa mendapatkan gambaran awal tentang penyebabnya,” ujar Melki.
Ia mengimbau agar semua pihak, terutama penyedia makanan, guru, orang tua, dan siswa, tetap waspada dan mengutamakan keselamatan anak-anak.
DPRD Desak Pengelola MBG Diganti
Di sisi lain, Komisi IV DPRD Kota Kupang mendesak agar Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang bertanggung jawab atas makanan MBG di SMPN 8 Kupang segera diganti.
Wakil Ketua Komisi IV, Djemari Yoseph Dogon menilai kejadian ini sebagai bentuk kelalaian pengelola makanan.
“Kan sudah ada ahli gizi, seharusnya makanan ini sudah steril, halal, dan layak dikonsumsi saat didistribusikan ke sekolah,” ujarnya.
“Ini yang makan manusia, beruntung tidak ada korban jiwa. Menurut saya harus diganti pengelola MBG di SMP 8, kalau bisa bubar saja itu SPPG, karena tidak profesional,” tegasnya.
Ketua Komisi IV DPRD, Neda Ridla Lalay, juga menyampaikan pendapat serupa. Ia menyebutkan bahwa makanan yang dikonsumsi siswa diduga sudah tidak layak makan.
“Memang ada pengakuan dari anak-anak kalau sayurnya ini sudah asam dan aroma yang tidak baik, tapi namanya anak-anak pastinya mereka pikir makanan ini baik-baik saja,” katanya.
Neda meminta agar SPPG segera dievaluasi. “Kalau memang pengelola ini tidak layak, lebih baik diganti,” ujarnya.
Meski begitu, ia mengingatkan agar semua pihak tetap menunggu hasil pemeriksaan laboratorium untuk memastikan sumber keracunan sebelum mengambil keputusan akhir.
“Kita tunggu hasil uji lab, untuk kita menyimpulkan semua, apakah memang ada kelalaian pengelola atau seperti apa,” pungkasnya.