Oleh: Felia Tifani Cornelia Klau*
Bayangkan Anda masuk ke pasar untuk membeli kebutuhan harian. Tahun lalu, dengan Rp15.000, Anda bisa membawa pulang satu kilogram beras, satu butir telur, dan satu bungkus mi. Sementara hari ini, Anda hanya dapat membeli satu kikogram beras.
Uang belanja mingguan yang harusnya cukup dengan Rp100 ribu kini sudah tidak cukup lagi. Jumlah uangnya sama, tetapi nilai dari uang itu berkurang, inilah yang dinamakan inflasi.
Inflasi bukan sekadar statistik bulanan yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Inflasi merupakan cermin denyut nadi ekonomi sebuah wilayah. Secara umum, inflasi dapat diartikan sebagai kenaikan harga barang dan jasa secara terus menerus dalam jangka waktu tertentu.
Peningkatan inflasi yang tinggi akan mengakibatkan menurunnya nilai mata uang, sehingga dapat menyebabkan penurunan daya beli dan kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya, jika inflasi terlalu rendah juga akan menggerus gairah ekonomi di tingkat pelaku usaha di wilayah tersebut.
Oleh karena itu, inflasi harus dapat dikendalikan dengan baik, jika tidak maka dapat berdampak pada menurunnya kredibilitas pemerintah karena dinilai tidak mampu menjamin kestabilan ekonomi mikro.
John Maynard Keynes, ekonom besar asal Inggris pernah mengingatkan, “There is no subtler, no surer means of overturning the existing basis of society than to debauch the currency.”
Bila mata uang kehilangan nilainya secara terus-menerus, maka kepercayaan rakyat terhadap negara pun ikut memudar. Sehingga, tidak berlebihan apabila kita katakan bahwa keberhasilan pengendalian inflasi mampu mendukung ketahanan sosial serta kesehatan mental masyarakat
Sejarah dan Fungsi Inflasi dalam Tata Kehidupan Ekonomi
Untuk memahami pentingnya inflasi, kita perlu sedikit menengok sejarah. Konsep inflasi mulai diperhatikan secara sistematis saat Eropa mengalami lonjakan harga besar-besaran pada abad ke-16. Hal ini dikenal dengan istilah Price Revolution, yang dipicu oleh melimpahnya emas dari Dunia Baru.
Saat itu, orang-orang menyadari bahwa harga bukan sekadar angka, tetapi kekuatan yang bisa mengubah struktur sosial.
Di era modern, pengukuran inflasi makin penting seiring pertumbuhan ekonomi dan kompleksitas sistem upah. Amerika Serikat mulai menghitung Consumer Price Index (CPI) secara resmi pada tahun 1919 untuk mengukur daya beli buruh dan menyesuaikan upah minimum.
Indonesia sendiri mulai serius menghitung inflasi sejak era awal Orde Baru. Pada 1964, BPS mulai merilis angka inflasi untuk sejumlah kota besar.
Kini, sejak 2024, pengukuran inflasi dilakukan di 150 kota/kabupaten di Indonesia, mencakup 11 kelompok pengeluaran rumah tangga yang didasarkan pada referensi internasional, yaitu Classification of Individual Consumption According to Purpose (COICOP) 2018. Referensi ini berstandar internasional yang memungkinkan dilakukan perbandingan antarnegara.
Maumere: Ketika Inflasi Melampaui Angka Nasional
Pada awal Agustus yang lalu, BPS telah merilis angka inflasi Indonesia. Secara nasional, pada bulan Juli 2025 terjadi inflasi tahunan sebesar 2,37 persen. Angka tersebut menjadi nilai tertinggi inflasi di Indonesia sepanjang tahun 2025 (sejak Januari sampai dengan Juli).
Meskipun begitu, inflasi tersebut masih dipandang ‘aman’, karena berada dalam batas rentang target secara nasional yang telah ditetapkan oleh pemerintah, yakni berkisar antara 1,5 persen sampai dengan 2,5 persen setiap tahunnya.
Berbeda dengan angka nasional, kondisi inflasi di daerah pada bulan Juli 2025 lebih fluktuatif. Kabupaten Toli-toli mencatat angka inflasi terbesar diantara kabupaten lainnya, yakni sebesar 5,98. Sementara itu, Kabupaten Karimun memiliki angka inflasi terkecil, yaitu sebesar 0,40 persen. Lantas, bagaimana kondisi inflasi di Tana Nian Sikka?
Di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sendiri, terdapat lima kabupaten/kota yang menjadi lokus pengukuran inflasi. Termasuk salah satunya adalah Kota Maumere, Ibu Kota Kabupaten Sikka.
Secara tahunan pada Juli 2025, Kota Maumere mencatat angka inflasi sebesar 4,02 persen. Angka ini bukan hanya melampaui batas atas inflasi nasional, tetapi juga lebih tinggi dari rata-rata inflasi Provinsi NTT yang mengalami inflasi 3,03 persen. Tingginya angka inflasi ini juga menempatkan Kota Maumere termasuk dalam 15 kabupaten/kota dengan angka inflasi tertinggi secara nasional.
Tingginya angka inflasi di Maumere kali ini, bukanlah hal yang baru. Apabila kita menilik catatan historis inflasi yang terjadi di Maumere sepanjang tahun 2025, maka dapat terlihat jelas bahwa Maumere selalu memiliki angka inflasi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan angka provinsi maupun nasional.
Kondisi ini dapat kita lihat pada jejak data sebelumnya. Pada Juni 2025, inflasi tahunan di Maumere tercatat sebesar 3,44 persen, jauh di atas angka Provinsi NTT (1,72 persen) dan nasional (1,87 persen).
Sebulan sebelumnya, Mei 2025, Maumere kembali mencatat 2,01 persen, sedangkan provinsi dan nasional masih nyaman dikisaran 1,6 persen.
Begitu pula April 2025, di mana inflasi Maumere mencapai 2,35 persen, sementara provinsi hanya 1,77 persen dan nasional 1,95 persen.
Puncaknya terjadi pada bulan Maret 2025, dimana inflasi Maumere menyentuh angka 4,25 persen, sangat jauh di atas rerata provinsi (1,86 persen) maupun nasional (1,03 persen). Bahkan pada periode tersebut, Maumere masuk ke dalam lima kota dengan inflasi tinggi di Indonesia.
Perlu ditekankan bahwa kondisi ini bukanlah sekadar perbedaan angka. Namun memberikan arti bahwa masyarakat di Maumere mengalami kenaikan harga yang lebih cepat, lebih tinggi, serta lebih berdampak pada pengeluaran harian mereka.
Ketahanan harga di Maumere sedang goyah. Setiap lonjakan harga bukan hanya berdampak pada inflasi statistik tetapi langsung menyentuh daya beli masyarakat, kesejahteraan keluarga, hingga potensi kecemasan sosial yang meluas.
Pemicu terjadinya inflasi di Kota Maumere
Menurut pengukuran BPS, Kelompok pengeluaran makanan, minuman, dan tembakau menjadi penyumbang terbesar terjadinya inflasi di Kota Maumere.
Penyebab utama terjadinya peningkatan harga secara umum di kota ini bukanlah hal yang rumit, yaitu faktor musiman dan ketergantungan pasokan dari luar daerah yang sebenarnya sudah dapat terbaca dari pola umum yang terjadi setiap tahun.
Pertama, faktor musiman akibat cuaca atau hari raya. Komoditas pemicu inflasi di Kota Maumere yang sering muncul sampai Juli 2025 ini adalah beberapa komoditas ikan segar. Sebagai daerah pesisir, ikan menjadi komoditas yang banyak dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat di Kota Maumere. Akan tetapi, komoditas ini sangat dipengaruhi oleh cuaca.
Ketika Maumere dilanda cuaca ekstrim, seperti pada musim angin yang menyebabkan gelombang laut tinggi, nelayan pun enggan melaut karena faktor keselamatan. Tentu saja hal ini akan menyebabkan pasokan ikan segar di pasar menurun tajam.
Di saat yang sama, konsumsi masyarakat akan ikan segar tetap tinggi. Hal inilah yang mendorong terjadinya lonjakan harga ikan ditingkat konsumen.
Selain ikan segar, beberapa komoditas hortikultura pun mengalami hal yang sama. Contoh nyata yang terjadi di bulan Juli adalah harga tomat. Ketika musim panen tiba maka harga akan sangat murah sampai petani menangis tidak mendapat keuntungan.
Namun begitu musim panen berlalu, harga tomat melonjak sangat tinggi bahkan bisa mencapai harga Rp25 ribu per kilogram karena pasokan yang terbatas.
Budaya pesta yang kental di kehidupan sosial masyarakat Maumere juga turut menyumbang pada terjadinya inflasi di kota Maumere. Ketika ada “musim pesta” selain hari raya keagamaan seperti pesta pernikahan, pesta sambut baru, terjadi lonjakan permintaan terhadap beberapa komoditas yang terjadi serentak. Lonjakan permintaan ini ketika tidak terpenuhi maka hukum ekonomi pun berlaku: harga melonjak.
Kedua, faktor ketergantungan pada pasokan dari luar. Salah satu komoditas yang penting bagi kelangsungan hidup masyarakat Maumere adalah beras. Kalau tidak makan nasi artinya belum makan. Namun sayangnya, ketersediaan pasokan beras lokal Maumere tidak mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat.
Hal ini mengharuskan Maumere bergantung pada pasokan beras dari daerah lain. Ketika produksi terganggu di daerah produsen atau distribusi pangan terhambat akibat cuaca atau transportasi, maka harga beras akan cenderung naik. Ketergantungan pasokan dari luar menjadikan Maumere rentan terhadap fluktuasi harga secara nasional dan global.
Inflasi dan Daya Beli: Dua Sisi Mata Uang yang Sama
Inflasi yang tinggi secara langsung mempengaruhi kemampuan daya beli masyarakat. Pendapatan yang tetap, namun harga kebutuhan pokok melonjak, akan membuat kualitas hidup menurun. Masyarakat harus memilih: apakah mengurangi jumlah makan, menunda beli kebutuhan anak, atau berutang untuk menutup pengeluaran yang kian melebar? Inilah yang disebut cost of living crisis—krisis biaya hidup.
Jika ini berlangsung terus-menerus, maka bukan hanya konsumsi yang turun, tapi juga menurunkan produktivitas, tingkat kesehatan, pendidikan anak, dan bahkan ketahanan keluarga. Di sinilah letak urgensi mengendalikan inflasi. Ini bukan hanya soal menjaga stabilitas makroekonomi, tetapi juga tentang memastikan masyarakat bisa hidup layak.
Peran Strategis Pemerintah
Pengendalian inflasi di daerah bukan tugas eksklusif pemerintah pusat. Justru pemerintah daerah punya peran vital karena berada paling dekat dengan sumber masalah dan kebutuhan masyarakat.
Melalui Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) yang telah dibentuk, pemerintah daerah dapat mengendalikan inflasi melalui berbagai kebijakan diantaranya: Pertama, menjaga kelancaran pasokan dan distribusi barang. Ini berarti memperbaiki infrastruktur jalan, pelabuhan, transportasi lokal agar pasokan barang tidak terganggu. Dengan melakukan efisiensi jalur distribusi maka akan menjaga harga lebih stabil.
Kedua, mengaktifkan kerja sama antarwilayah sebagai antisipasi jika terjadi kekurangan pasokan komoditas. Dengan kerjasama ini maka daerah surplus bisa menyuplai daerah defisit. Kolaborasi ini penting untuk menciptakan ekosistem harga yang stabil dan saling menopang.
Ketiga, intervensi pasar yang cepat dan tepat sasaran. Intervensi pasar bisa berupa operasi pasar ataupun pasar murah. Langkah ini seharusnya dilakukan bukan saat harga sudah tinggi, tetapi jauh sebelum ada lonjakan harga.
Bagaimanapun, langkah pencegahan lebih murah daripada pengobatan.
Keempat, mendorong produksi lokal, terutama komoditas pangan pokok. Inilah kunci kemandirian pangan.
Pemerintah harus memfasilitasi petani dan nelayan lokal dengan insentif, pelatihan, dan akses pasar agar produksi lokal dapat meningkat dan terjaga distribusinya.
Selain itu, perlu kepekaan dari pemerintah untuk mengantisipasi terjadinya lonjakan permintaan yang terjadi serentak. Pemerintah harus mulai memperhitungkan agenda sosial-budaya dalam proyeksi inflasi, bukan hanya berdasar kalender nasional atau data pasar konvensional.
Belajar dari Pengalaman, Bergerak ke Depan
Pola inflasi yang terjadi secara musiman ini bukan merupakan hal baru. Setiap tahun, pola ini hampir selalu terjadi berulang. Ini harusnya menjadi alarm untuk lebih serius menyiapkan sistem pertahanan terhadap inflasi pangan yang terjadi musiman.
TPID perlu segera melakukan langkah nyata dilapangan. Tidak cukup hanya jadi forum rapat bulanan tetapi menjadi motor penggerak nyata di lapangan—berkoordinasi, mengambil keputusan cepat, dan menindaklanjuti data dengan kebijakan konkret. Data inflasi bukan hanya angka yang dibaca tiap awal bulan, tapi sinyal untuk bergerak.
Harga yang Terkendali
Bayangkan bila suatu hari masyarakat di Maumere bisa belanja tanpa khawatir harga akan melonjak minggu depan. Bayangkan anak-anak bisa makan makanan bergizi tanpa beban tambahan bagi orang tuanya.
Semua ini dimulai dari satu hal: kestabilan harga. Sudah saatnya pemerintah daerah tidak hanya menjadi konsumen data inflasi, tapi menjadi game changer dalam menjaga daya beli masyarakat.
Ketika harga stabil, harapan hidup jadi lebih baik. Ketika daya beli terjaga, maka roda ekonomi lokal pun akan terus berputar, dari pasar tradisional sampai ke warung kopi di sudut kota.
*Penulis adalah staf pada Kantor Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Sikka