Oleh: Suroto*
Di tengah derasnya arus kompetisi ekonomi yang kian keras, ada suara-suara yang menganggap nilai-nilai koperasi hanya mitos belaka. Ia dilihat sebagai sekadar peninggalan romantisme masa lalu yang dipertahankan karena alasan emosional, bukan karena relevansi praktis.
Sebagai badan usaha, koperasi dinilai akan lebih “lincah” jika meninggalkan beban ideologinya dan menyesuaikan diri sepenuhnya dengan logika pasar.
Pandangan ini tak jarang datang dari mereka yang mengukur segala hal hanya dari seberapa besar keuntungan yang dicapai. Ideologi koperasi lalu dipersepsikan sebagai utopia atau angan-angan indah yang menghalangi daya saing.
Bahkan, ada pula yang memandangnya sebagai dogma yang membelenggu, membuat koperasi seolah hidup dalam mimpi, terjebak dalam narasi ideal tanpa kaki di bumi.
Ideologi koperasi tampak rapuh bukan karena ia cacat sejak lahir, tetapi karena ia dikhianati oleh koperasi palsu yang berlabel saja, oleh pemimpin yang mengabaikan nilai, dan oleh lemahnya pemahaman akan hakikat koperasi itu sendiri. Seperti bendera yang kotor, yang kotornya bukan salah benderanya, melainkan karena ia diacungkan oleh tangan yang kotor.
Padahal, dalam sejarah gerakan koperasi dunia, ideologi adalah perekat yang menyatukan anggota dan menjadi sumber api perjuangan. Ia memberi arah, membentuk tujuan, dan menumbuhkan daya tahan menghadapi tantangan. Tanpa ideologi, koperasi akan kehilangan makna eksistensialnya, menjadi sekadar badan usaha yang kebetulan berbentuk koperasi, tapi kehilangan roh yang membuatnya berbeda dari perusahaan biasa.
Sejarah gerakan koperasi dunia memberi pelajaran yang tak terbantahkan. Para Perintis Rochdale di Inggris, tahun 1844, bukanlah pebisnis bermodal besar. Mereka adalah buruh tenun miskin yang muak dengan eksploitasi korporasi kapitalis. Modal mereka kecil, tetapi ideologi mereka besar: kejujuran dalam timbangan, harga wajar, pendidikan anggota, dan keuntungan dibagi sesuai transaksi, bukan modal.
Jika mereka hanya berpikir praktis, mereka akan memilih bekerja pada majikan baru yang mungkin membayar sedikit lebih baik. Tetapi mereka memilih jalan yang lebih sulit: membangun lembaga sendiri dengan prinsip yang mereka percaya.
Hasilnya? Prinsip Rochdale menjadi fondasi gerakan koperasi dunia hingga kini. Begitu pula koperasi kredit di Jerman yang dipelopori Friedrich Raiffeisen, semuanya lahir dari ideologi solidaritas, bukan dari logika untung-rugi semata.
Inilah mengapa ideologi koperasi tak boleh diperlakukan sebagai dokumen mati atau sekadar slogan di dinding. Ia harus terus dikaji, diperbincangkan, dan diuji relevansi sosialnya. Hanya dengan cara itu, ideologi bisa menjadi sumber inspirasi untuk inovasi, bukan hambatan bagi perubahan.
Salah satu kekhasan ideologi koperasi adalah kemampuannya memadukan yang imanen dan transenden. Yang imanen adalah persoalan sehari-hari: permodalan, layanan usaha, distribusi manfaat, dan penguatan anggota secara ekonomi. Hal transenden adalah visi kemanusiaan, cita-cita kebersamaan, dan penghargaan terhadap nilai-nilai keadilan, persamaan, serta kemerdekaan sejati.
Memisahkan keduanya adalah kesalahan konseptual. Mereka yang menempatkan koperasi hanya sebagai instrumen ekonomi semata, sambil mengabaikan nilai kemanusiaan dan keadilan yang terkandung di dalamnya, sesungguhnya sedang menggerus maknanya. Sebaliknya, menjadikan koperasi semata ruang idealisme tanpa menggarap aspek usaha yang kokoh, sama saja menjerumuskannya ke jurang ketidakberdayaan.
Kekuatan koperasi justru terletak pada kemampuannya menjaga keseimbangan ini. Ia bukan sekadar bisnis, tetapi bisnis yang berjiwa sosial. Ia bukan sekadar komunitas sosial, tetapi komunitas yang mampu menopang kesejahteraan nyata.
Hari ini, yang paling mengkhawatirkan bukan tekanan pasar, melainkan degradasi kepemimpinan ideologis. Pemimpin yang seharusnya menjadi teladan nilai, justru terjebak dalam pragmatisme murahan. Mereka lebih sibuk mengejar surplus jangka pendek daripada melayani dan memperkuat anggota.
Pemimpin yang ideologis tidak tergoda jalan pintas. Ia menolak tawaran yang mungkin menguntungkan secara finansial, tetapi merusak nilai dan merugikan anggota di masa depan. Ia tahu, setiap rupiah keuntungan yang lahir dari pengkhianatan pada prinsip adalah racun yang mematikan dari dalam. Bahkan, dalam sejumlah kasus, kita menyaksikan perilaku korupsi, penyelewengan dana, dan penyimpangan yang menggerogoti kepercayaan anggota dan perusakan sendi organisasi.
Fenomena ini mempercepat erosi internal. Ketika kepemimpinan kehilangan pijakan pada nilai, koperasi mudah tergelincir menjadi entitas yang tak ubahnya perusahaan swasta berlabel koperasi. Padahal, kepemimpinan ideologis adalah benteng terakhir yang menjaga koperasi dari arus penyimpangan.
Pemimpin koperasi sejatinya bertugas membentuk manusia yang multidimensional dan bukan hanya manusia yang pandai mencari untung, tetapi juga manusia yang memiliki kesadaran sosial, komitmen pelayanan, dan integritas moral. Inilah yang membedakan kepemimpinan koperasi dari kepemimpinan bisnis biasa.
Kepercayaan adalah modal terbesar koperasi. Ia dibangun bukan hanya lewat kinerja finansial, tetapi juga lewat konsistensi memegang teguh prinsip. Kepemimpinan ideologis menjaga agar kepercayaan itu tetap utuh, sekaligus memastikan lembaga koperasi berkelanjutan. Tanpa kepercayaan, anggota akan mundur, dan tanpa anggota, koperasi hanya menjadi papan nama kosong.
Kepemimpinan seperti ini menuntut keberanian mengambil keputusan yang tidak selalu populer, tetapi benar secara prinsip. Misalnya, menolak investasi yang berpotensi menguntungkan secara finansial tetapi mengorbankan nilai kebersamaan atau menempatkan anggota dalam posisi rentan.
Ironisnya, sebagian orang menuduh ideologi menghambat inovasi, padahal yang terjadi justru sebaliknya. Ideologi yang hidup memberi kerangka bagi inovasi yang terarah. Ia mencegah inovasi yang merusak tujuan bersama, dan mendorong inovasi yang memperkuat manfaat bagi anggota.
Koperasi yang setia pada ideologinya justru lebih mampu beradaptasi, karena ia memiliki kompas moral yang jelas. Di tengah perubahan teknologi, misalnya, ideologi membantu koperasi menentukan penggunaan teknologi untuk memperkuat partisipasi anggota, bukan menggantikannya dengan hubungan transaksional ekonomistik semata.
Perdebatan tentang posisi ideologi dalam koperasi sesungguhnya adalah perdebatan tentang masa depan gerakan ini. Apakah koperasi akan menjadi sekadar pemain di pasar, bersaing dengan logika kapitalisme murni, atau ia tetap menjadi alternatif yang menawarkan jalan ekonomi berbasis keadilan dan kebersamaan?
Jawaban saya jelas: koperasi hanya akan punya masa depan jika memandang ideologi bukan sebagai beban, melainkan sebagai kekuatan. Ideologi adalah energi yang membedakan koperasi dari sekadar perusahaan. Ia adalah alasan keberadaan, penentu arah, dan sumber keberanian untuk bertindak berbeda. Untuk motif, cara dan tujuan yang berseberangan dengan korporat kapitalis.
Memang benar, ideologi tidak boleh membutakan mata terhadap realitas. Tetapi realitas pun harus dibaca dengan mata ideologi, agar langkah koperasi tidak kehilangan tujuan. Mengelola koperasi tanpa ideologi ibarat mengemudikan kapal tanpa kompas. Mungkin bergerak cepat, tetapi entah ke mana arahnya.
Maka, tugas kita bukan menyingkirkan ideologi, tetapi memurnikannya dari penyimpangan, memeliharanya lewat pendidikan berkelanjutan, dan mewujudkannya dalam praktik usaha yang relevan dengan zaman. Di tangan kepemimpinan yang berintegritas, ideologi bukanlah beban yang memperlambat langkah, melainkan mesin yang menggerakkan koperasi menuju keberhasilan yang sejati. Sebuah keberhasilan yang bukan hanya menguntungkan segelintir, tetapi membahagiakan bersama.
Sejarah telah membuktikan: dari Rochdale, Raiffeisen, hingga koperasi sukses di Finlandia dan Jepang, ideologi bukanlah beban. Ia adalah bahan bakar yang membuat koperasi bertahan melewati krisis, melintasi zaman, dan tetap memihak pada anggotanya. Dan itu, adalah kemenangan yang tidak akan pernah dibeli oleh logika pasar mana pun.
*Penulis adalah Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES), CEO Induk Koperasi Usaha Rakyat (INKUR), Direktur Cooperative Research Center(CRC) Institut Teknologi Keling Kumang