Kupang, Ekorantt.com – Warga Poco Leok, Kabupaten Manggarai, Agustinus Tuju, 53 tahun, resmi menggugat Bupati Manggarai Herybertus G. L. Nabit ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Kupang. Gugatan diajukan atas dugaan intimidasi, ancaman, dan tindakan kekerasan terhadap dirinya serta komunitas Masyarakat Adat Poco Leok.
Perkara ini telah teregister dengan Nomor: 26/G/TF/2025/PTUN.KPG dan didaftarkan secara daring melalui sistem Electronic Court (e-Court) pada 3 September 2025. Berdasarkan pengumuman resmi e-Court, gugatan itu dinyatakan lolos tahap administrasi (dismissal) dan akan dilanjutkan ke proses persidangan.
“Kami telah mendapatkan respons dari PTUN di Kupang bahwa gugatan kami telah terdaftar dan lolos dismissal,” kata Judianto Simanjuntak, salah satu kuasa hukum dari Koalisi Advokasi Poco Leok, dalam keterangan pers yang diterima Ekora NTT pada Kamis, 4 September 2025.
Judianto menyatakan, ini merupakan langkah penting bagi kliennya dalam upaya memperoleh keadilan, tidak hanya secara formal, tetapi juga secara substansial, terkait dugaan pelanggaran hak asasi manusia terhadap Agustinus dan komunitas adat di Poco Leok.
Dugaan pelanggaran terjadi saat masyarakat Poco Leok menggelar aksi damai memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia pada 5 Juni 2025. Bupati Nabit dituduh melakukan intimidasi, pengancaman, hingga kekerasan terhadap peserta aksi.
“Akibat tindakan bupati, melahirkan trauma psikologis bagi warga,” ujar Judianto.
“Apa yang dilakukan oleh bupati, di hari kerja dan jam kerja, tidak patut diperlihatkan oleh seorang pemimpin daerah kepada rakyatnya,” jelasnya.
Menurutnya, tindakan tersebut melanggar hak konstitusional warga negara yang telah dijamin dalam UUD 1945, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, serta berbagai instrumen hukum nasional dan internasional lainnya.
“Menurut analisis hukum kami, telah melanggar Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AUPB), khususnya asas kepastian hukum,” terangnya.
Muhammad Jamil, kuasa hukum lainnya, menegaskan, langkah gugatan yang ditempuh kliennya merupakan bagian dari mekanisme koreksi dalam sistem hukum Indonesia dan harus dihormati oleh semua pihak, termasuk pihak tergugat dan para pendukungnya.
“Tergugat dan kelompok pendukungnya wajib untuk menghormati langkah klien kami. Caranya, dengan tidak melakukan intimidasi lanjutan ke depan baik di dalam proses gugatan dan atau seterusnya. Penting kami sampaikan mengingat sejarah kekerasan yang sering diterima oleh klien kami dan atau komunitas di Poco Leok,” jelasnya.
Gugatan ini diajukan setelah melalui berbagai tahapan sesuai prosedur formal, seperti keberatan administratif kepada Bupati Nabit, serta banding administratif ke Presiden Republik Indonesia sebagai atasan pejabat yang digugat. Proses ini mengacu pada UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, UU PTUN, serta Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2019.
“Karena tergugat menyanggah adanya onrechmatige overheidsdaad atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan, maka untuk mendapat kepastian hukum, gugatan ini harus ditempuh,” ujar Jamil.
“Proses selanjutnya atas pendaftaran gugatan ini adalah panggilan sidang dari PTUN Kupang,” tambahnya.
Poco Leok merupakan wilayah adat yang menjadi target proyek perluasan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu di Kecamatan Satar Mese, Kabupaten Manggarai. Proyek ini direncanakan untuk menambah kapasitas produksi listrik sebesar 2×20 megawatt, melampaui kapasitas awal 10 MW yang telah beroperasi sejak 2012.
Namun demikian, proyek ini ditentang oleh sebagian masyarakat adat setempat karena dinilai mengancam tanah leluhur, kelestarian lingkungan, dan keberlanjutan hidup generasi mendatang.