Meneropong 150 Tahun SVD dan Investasi Pendidikan Sepanjang Hayat

Dari jejak sejarahnya, SVD sudah menjangkau sekat-sekat ruang dan waktu hingga mencapai 150 tahun. SVD telah menulis sejarah panjang dan menciptakan momen paling bersejarah

Oleh: Eto Kwuta*

Pada tahun 1950-an, Jorge Luis Borges, penyair Argentina, berusia 55 tahun dan mengalami kebutaan total. Dalam kebutaan, Tuhan menganugerahkan ia magnifica ironia (ironi dahsyat) melalui dua hal, yakni buku-buku dan malam hari.

Ia masih menulis buku dalam kebutaannya dan memakai kata la noche atau malam hari untuk melukiskan ‘buta’. Ia mengatakan, “Kebutaan adalah anugerah” sambil melahirkan simbol-simbol kuat dalam karya-karyanya. Lewat karya-karyanya, ia dikenal sebagai tokoh sastra terbesar abad ke-20.

Dari cerita singkat ini, mari melihat sosok pendiri Serikat Sabda Allah (SVD), Arnoldus Janssen (1837-1909). Awal mendirikan SVD pada 1875, Arnoldus Janssen pernah disebut gila, tapi oleh keyakinan kuat dan keteguhan imannya, ia mampu menginvestasikan sebuah kongregasi misi dalam Gereja Katolik Roma yang kini dikenal dengan Serikat Sabda Allah (SVD).

SVD sendiri bukan sekadar kongregasi misi, tapi sebuah rumah yang hidup hingga satu setengah abad ini. Tak berhenti di sini, perjalanan misi SVD melampau sekat ruang dan waktu ke depannya.

Jika melihat Jorge Luis Borges menggunakan la noche sebagai simbol menemukan cahaya dalam menulis karya sastra, maka Arnoldus Janssen menggunakan iman untuk merombak persepsi-persepsi minor tentang visi dan misi SVD yang melampaui batas-batas ketidakmungkinan.

“Uang ada di saku para penderma,” demikian kata Arnoldus Janssen ketika awal mula mendirikan rumah misi yang kini berpusat di Steyl, Belanda.

Ketika ia tutup usia pada 15 Januari 1909, ia meninggalkan karya misi dari Steyl yang terdiri dari tiga serikat misi itu, yakni SVD, SSpS, dan SSpS AP. Selama dasawarsa-dasawarsa berikut, walaupun menghadapi krisis serta kerugian besar akibat perang dunia dan dalam masa nasional sosialisme, kongregasi-kongregasi ini terus berkembang dan termasuk bilangan yang terbesar dari antara serikat-serikat misi di dalam tubuh Gereja.

Di atas kuburnya yang terletak di kapela bawah Rumah Misi St. Mikael, Steyl, Belanda, terpahat kata-kata yang menjelaskan siapa dirinya. Itu bertuliskan Pater, Dux, et Fundator. Artinya Bapa, Pemimpin, dan Pendiri. Ia sungguh menjadi bapa bagi banyak bangsa dan pemimpin bagi para misionarisnya.

Sepenggal Sejarah: Dari Steyl hingga Indonesia

Jejak-jejak sejarah panjang SVD berjalan dalam nuansa krisis. Sejak 1875 berdirinya, ada sebuah gerakan yang dinamakan gerakan sabda sebagai roh yang mendorong para imam, bruder, dan suster untuk mewartakan kabar gembira.

Sabda merupakan senjata pertama, sementara mulut dan akal sehat manusia dipakai untuk mewartakan kebenaran. Ilmu teologi dibawakan lewat pewartaan sabda. Di sini, peran para misionaris dilihat sangat penting.

Pada 8 September 1875, Seminari Misi St. Michael, Steyl, Belanda didirikan dengan dukungan dari beberapa uskup dan banyak orang baik. Dilanjutkan pada 1879, setelah tiga tahun SVD berdiri, dua misionaris pertama dikirim ke Tiongkok. Salah satunya adalah Santo Joseph Freinademetz.

Pada 1889, didirikan lagi Kongregasi Suster Misionaris Hamba Roh Kudus untuk remaja putri, yang kini dikenal dengan SSpS. Mereka juga disebut misionaris biru karena mengenakan pakaian kebiaraan berwarna biru.

Pada 1892, untuk pertama kalinya para misionaris SVD diutus ke Togo, yang menjadi tempat misi pertama di tanah Afrika. Waktu bersejarah lainnya ialah pada 1896, Arnoldus Janssen memilih beberapa suster untuk membentuk kongregasi kontemplatif yang dikenal sebagai “Hamba Roh Kudus Adorasi Abadi” (SSpS AP).

Di sini, gerakan awal SVD bertumbuh seperti sebuah perahu yang dihantam gelombang dahsyat. Perjalanan misi mewartakan sabda semakin meluas setelah Arnoldus Janssen meninggal pada 8 Januari 1909. Saat Arnoldus Janssen meninggal, kongregasi-kongregasinya mempunyai anggota sekitar 600 bruder kaul kekal, 430 imam, dan 800 suster termasuk para postulan dan novis.

Pada tanggal 5 Oktober 2003 ia digelarkan santo oleh Paus Yohanes Paulus II. Sampai pada 2023, ada sekitar 8.670-an misionaris dari tiga kongregasi misi yang ia dirikan dan mereka bekerja di hampir seluruh belahan dunia, termasuk Indonesia.

Jika dihitung dengan jumlah pada tahun 2024 dan 2025, diperkirakan 10.000-an misionaris di dalamnya termasuk imam, bruder, suster, frater, dan postulan.

Diketahui, SVD masuk ke Indonesia pada 1913. Ada beberapa misionaris SVD yang sangat berjasa di antaranya P. Petrus Noyen yang datang dari Cina, P. Arnoldus Verstraelen dari Togo, dan P. Fransiskus de Lange dari Amerika Serikat. Ketiganya warga negara Belanda.

Ada juga dua orang Jerman datang bergabung dengan mereka, kemudian menyusul seorang bruder Jerman dan dua orang bruder Belanda, salah seorang dari keduanya itu datang dari Papua Nugini.

Dalam perkembangan selanjutnya, dengan kearifan yang tinggi dan pandangan yang visioner, Mgr. Petrus Noyen, Prefek Apostolik Kepulauan Sunda Kecil memilih Ende sebagai pusat misi. Ia memindahkan kedudukannya dan juga pusat misi dari Timor ke Ndona-Ende, Flores. 

Dari sini, Mgr. Noyen mengendalikan  seluruh kegiatan misi SVD di Indonesia hingga meninggal pada 1921 ketika sedang mengikuti Kapitel Jenderal di Steyl. Beliau digantikan oleh Mgr. Verstraelen yang mampu memperluas wilyah misi  lebih jauh lagi dengan bantuan tenaga-tenaga misionaris baru.

Ia meninggal dunia akibat kecelakaan mobil sesudah bertugas sepuluh tahun sebagai Vikaris Apostolik. Sebagai penggantinya, diangkat P. Hendrikus Leven, SVD yang memimpin wilayah misi dari tahun 1933 sampai 1951, ketika Flores menjadi tiga Keuskupan (Bdk. Fritz Meko, 2012).

Patut dicatat, dari Lahurus dan Atapupu, Pulau Timor, Mgr. Petrus Noyen, SVD bersama Pater Verstraelen, SVD dan seorang bruder bernama Lusianus Molken, SVD juga meletakkan dasar yang kuat melalui pendekatan misi antropologis dan kultural.

Mereka membantu masyarakat Timor menumbuhkan “rasa cinta dan memiliki” karakter iman Katolik yang diwartakan. Dari Timor, perjalanan karya misi menembus hingga ke Pulau Flores yang berpusat di Mataloko, Bajawa.

SVD mendirikan Seminari St. Yohanes Berkhmans Todabelu Mataloko pada tahun 1926, Seminari St. Dominikus Hokeng tahun 1950, SMAK Syuradikara pada 1953, Seminari Pius XII Kisol tahun 1955, dan sejak 1935 pendidikan filsafat dan teologi sudah dimulai.

Pada 20 Mei 1937, STFK Ledalero (sekarang IFTK Ledalero) dinyatakan resmi berdiri atas surat dari Tahta Suci Vatikan. Tidak lupa pula, SMK Swasta Katolik Syuradikara, Sekolah Kejuruan yang sudah memasuki usia 12 tahun sejak berdiri pada 10 April 2013.

Jika dilihat dari jejak sejarah singkat ini, SVD menempatkan pendidikan sebagai fondasi pertama. Para misionaris mengetahui hal yang mesti dibangun pertama adalah sumber daya manusianya. Maka, dari dorongan kekuatan sabda dan terang Roh Kudus itu, warga lokal diberdayakan untuk mendapat pendidikan yang layak. Ini bukan sekadar doa Arnoldus Janssen, tapi soal komitmen yang tertanam sepanjang hidupnya.

Ia pernah bilang, “Dengan kerendahan hati, kita hendaknya menghidupi komitmen yang telah kita buat dalam kaul-kaul kita. Kita menghormati kaul-kaul kita dengan bersatu hati dan pikiran bersama sama saudara kita”.

Investasi Pendidikan Sepanjang Hayat?

Dari jejak sejarahnya, SVD sudah menjangkau sekat-sekat ruang dan waktu hingga mencapai 150 tahun. SVD telah menulis sejarah panjang dan menciptakan momen paling bersejarah.

Hemat Penulis, salah satu yang termasuk momen paling bersejarah itu adalah investasi pendidikan. Jika menoleh ke belakang, investasi pendidikan yang dibangun oleh SVD semuanya bertahan dari waktu ke waktu.

Dapat dilihat, banyak sekolah yang didirikan SVD masih menemukan cintanya di tengah masyarakat. Ini adalah bukti bahwa SVD merintis pendidikan di Pulau Flores, NTT dan di mana saja SVD berkarya.

Muncul pertanyaan, apakah investasi pendidikan ini sepanjang hayat? Dengan kata lain, apakah sekolah-sekolah yang didirikan SVD bisa bertahan di tengah kepungan sekolah-sekolah unggul lainnya? Bagaimana sekolah-sekolah SVD kemarin, hari ini, dan esok? Apa yang mesti dibuat tepat pada usia 150 tahun SVD berkarya?

Sebagai jawaban, Penulis memberikan poin-poin autokritik untuk menggerakkan benih-benih sabda yang ditanam dalam sekolah-sekolah misi di Flores dan secara lebih luas di Nusa Tenggara Timur; bahkan Indonesia.

Pertama, masyarakat NTT mengamini, SVD telah menginvestasikan pendidikan sepanjang hayat. Mungkinkah? Kita mesti berani mengatakan, kendalanya adalah jika tidak berubah, maka sekolah-sekolah unggul bisa punah. Maka, perlu upaya menerapkan kekhasan SVD sebagai upaya menganimasi semua orang secara berkelanjutan.

Dalam buku School Branding, Strategi di Era Disruptif, kita telah mengetahui bahwa situasi dan tren pendidikan telah berubah; kompetisi antar-sekolah pun semakin berubah, maka brand untuk saat ini sangat diperlukan dan penting, karena berdasarkan brand itulah masyarakat (konsumen) mengidentifikasikan dirinya (Fathul Mujib dan Tutik Saptiningsih, 5:2021).

Pada hemat Penulis, fakta yang terjadi adalah sekolah-sekolah yang sebelumnya biasa saja, kini menunjukkan brand mereka secara konsisten. Kita tak mengingkari sekolah disebut “berbisnis” untuk membangun kemandirian ekonomi dan pemberdayaan ad intra dan ad ekstra.

Setidaknya, sekolah-sekolah SVD atau sekolah lainnya di NTT perlu membangun school branding untuk bertahan dalam era disruptif serta memilih pemimpin yang berani keluar dari zona nyaman. Pemimpin yang visioner dan “memberontak” untuk tujuan yang baik.

Kedua, dalam sebuah diskusi bertajuk Smile Touch menyongsong 150 tahun SVD di Aula Santo Yosef Onekore, Kecamatan Ende Tengah, Sabtu, 09 Agustus 2025; Uskup Paulus Budi Kleden, SVD, Uskup Agung Ende, meguraikan tentang sekolah-sekolah misi sebaiknya memperhatikan tiga hal penting, yakni suasana atau iklim sekolah, kurikulum, dan manusianya.

Ia menguraikan, sekolah mesti memperhatikan suasana pendidikan yang ramah supaya memungkinkan warga sekolah berproses di dalamnya. Di lain sisi, kurikulum harus menjamin isi di dalam sekolah tersebut dan dikemas secara terbarukan untuk kebutuhan internal sekolah.

Salah satu hal yang disentil adalah terkait kesenian dan budaya atau soal mata pelajaran musik sebagai fondasi budaya di dalam tubuh sekolah-sekolah misi.

Persoalan tentang manusia pun tidak kalah penting. Sekolah melihat siswa, guru, tenaga kependidikan, pegawai, karyawan-karyawati sebagai mitra yang saling bekerja sama, tolong-menolong, mendorong, dan tidak menjatuhkan satu sama lain. Sekolah memperhatikan kesejahteraan semua komponen di dalamnya, tanpa terkecuali.

Ketiga, menghidupkan empat matra khas SVD seperti kitab suci (menerima dan mewartakan Sabda Allah), komunikasi (mengkomunikasikan kasih Allah), animasi misi (menganimasi dan melibatkan orang dalam misi), dan JPIC (Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan untuk memajukan martabat manusia dan lingkungan).

Keempat matra khas ini harus diberdayakan di dalam sekolah-sekolah milik SVD secara bersamaan. Sebagai contoh, SMAK Syuradikara Ende, sekolah misi yang didirikan SVD pada 1953, telah mem-branding dirinya dengan identitas SVD ini.

Dalam konteks kitab suci, ada kegiatan doa, baca, dan mendengar Sabda Allah. Dalam hubungan dengan komunikasi, ada usaha membangun brand sekolah di tengah masyarakat lewat media sosial; dalam kaitan dengan animasi misi, sekolah menganimasi orang banyak lewat kolaborasi lintas generasi; dan terkait JPIC, SVD mesti turun gunung mengoptimalkan gerakan menjaga keutuhan alam ciptaan secara berkelanjutan.

Keempat, sekolah-sekolah SVD kemarin, hari ini, dan esok masih perlu dievaluasi secara berkala. Hari ini, seminari-seminari dikelola oleh keuskupan-keuskupan. Ini adalah siklus tertinggi dari perjalanan estafet kepemimpinan yang berlanjut. SVD memberi sebagian kepunyaannya untuk dipimpin oleh Gereja lokal sebagai tanggung jawab bersama.

Ini bukan tanpa alasan, karena SVD memahami cara kerja kaum futuris; di mana mereka menangkap sisi dinamis dari masyarakat modern, mempelajari masa depan, menangkap peluang, dan menemukan identitasnya secara global.

Namun, apakah aliran yang didirikan Filippo Marinetti pada tahun 1909, waktu di mana Arnoldus Janssen meninggal ini, bisa mengubah watak orang Flores, NTT, bahkan Indonesia pada umumnya? Jawabannya pasti bisa.

Sekarang, hasilnya sudah menjadi nyata. SVD terus mengencangkan yayasan persekolahannya dan mengevaluasi diri waktu demi waktu. Dengan kata lain, SVD mesti terus berubah, bergerak, fokus, dan berinovasi menerobos batas ketidakmungkinan.

Kelima, SVD harus membuat gebrakan seperti Arnoldus Janssen. Watak atau otaknya SVD ada dalam diri bapa pendirinya dan kerja tangan atau tukang eksekusi ada dalam misionaris sulung Yosef Freinadametz.

Maka, diperlukan revitalisasi nilai-nilai yang sudah kedaluwarsa dengan nilai-nilai terkini. SVD harus berani beradaptasi dan menggunakan media komunikasi sebagai sumber pewartaan sabda yang menjangkau semua orang.

Tentu, para imam, bruder, dan suster dalam tiga kongregasi misi, harus saling mendukung satu sama lain. Membangun kerja sama dengan pemerintah, lembaga-lembaga sosial, termasuk bekerja sama lintas provinsi-provinsi di mana SVD berkarya.

Penutup

Dalam usia SVD ke-150 tahun, Penulis mengapresiasi karya misi SVD telah tumbuh bagai bunga-bunga yang terus mekar di seluruh belahan dunia.

Namun, diperlukan sebuah tindakan atau gerakan sabda yang menjadi nyata. Sabda yang tidak asal bunyi di atas mimbar, tapi sabda yang turun gunung menemukan dirinya dan ikut menderita.

Hemat Penulis, SVD mesti menghidupkan empat matra kahsnya sebagai kekuatan di dalam tubuh sekolah-sekolah misi yang dibangunnya; melihat persoalan minor di dalam tubuh sekolah dan menyesuaikan dengan arus zaman; misalnya membangun school branding yang membantu masyarakat luas untuk selalu jatuh cinta.

Tak hanya itu, SVD mesti memperhatikan soal suasana, kurikulum, dan manusianya secara holistik serta berani mengevaluasi diri untuk tidak takut terjebak dalam era disruptif.

Di akhir kata, SVD perlu memilih pemimpin yang visioner dan revolusioner serta mampu memimpin tanpa pandang bulu dan bertanggung jawab atas tugas yang diberikan. Jadi, semoga SVD tetap jaya. Selamat merayakan 150 tahun SVD berkarya di dunia. Ad Multos Annos.*

*Penulis adalah alumnus IFTK Ledalero, Tinggal di Ende.

TERKINI
BACA JUGA
spot_img
spot_img