Maumere, Ekorantt.com – Menenun bukan sekadar kerajinan tangan. Bagi Rosalinda Timu, 53 tahun, menenun adalah warisan dan jalan hidup. Sejak masih remaja ia telah akrab dengan alat tenun milik orangtuanya.
“Saya sejak usia 14 sudah bisa menenun dan itu dengan sendirinya karena terbiasa melihat orang tua menenun setiap hari,” tutur Rosalinda kepada Ekora NTT di kediamannya di Hewokloang pada awal Oktober 2025 lalu.
Putus sekolah di kelas 2 sekolah menengah pertama tak membuat Rosalinda kehilangan arah. Ia terus belajar hingga mahir menenun.
Momen yang tak pernah ia lupa yakni saat orang tuanya memberi tantangan untuk menghasilkan satu lembar kain tenun. Ia menyanggupinya. Tak ada kendala. Ia menyelesaikan tantangan itu dalam waktu satu bulan.
“Awal saya tenun itu motif burung. Akhirnya dengan kemauan keras saya bisa tenun sampai sekarang,” kata Linda.
Rosalinda sudah menghasilkan berbagai jenis motif tenun ikat. Dari motif sederhana sampai ke motif yang paling rumit seperti utan welak.
Tenun di tangan Rosalinda tak hanya indah, tetapi penuh dengan makna kehidupan. Itu terlihat dari motif yang ia kerjakan. Sangat beragam.
Meski pewarna pabrik lebih praktis dan cepat, ia masih memakai pewarna alam. Daun nila untuk warna biru, warna merah dari akar mengkudu, warna kuning dari kunyit. Sedangkan warna hijau berasal dari daun reo, katuk, dan daun mangga.
Dari sisi pewarnaan, Rosalinda menuturkan, kualitas tenun dengan bahan alami dan bahan pabrik terasa sekali perbedaannya. Kain tenun dengan pewarna alami terasa lebih lembut dan awet.
Karya Rosalinda telah menjangkau berbagai kota besar seperti Jakarta, Bandung, Manado, hingga ke luar negeri. Ada juga yang dipesan oleh komunitas-komunitas lokal. Seorang warga Hongkong pernah datang untuk belajar menenun di tempatnya.
“Mandy yang dari Hong-Kong satu bulan dia belajar tenun, mulai dari ikat benang, pencelupan, sampai pada proses tenunnya. Dari situ, mereka dapat merasakan pengorbanan seorang penenun itu seperti apa,” kata Feri Rebing, 53 tahun, suami Rosalinda.
“Setiap tamu yang datang, kami cerita lepas, tidak terlalu kaku apalagi berpikir ini kami harus sembunyi itu tuh tidak. Kami terbuka sekali, makanya tamu yang datang pun nyaman,” tambah Rosalinda.
Rosalinda menuturkan, sang suami membantunya untuk memasarkan produk melalui media sosial. Selain promosi, Feri juga ikut membikin motif tenun ikat.
Mereka berdua merasakan bahwa tenun membantu dari segi ekonomi untuk membiayai pendidikan anak. Kendati begitu, pasangan suami istri ini tidak pernah mematok harga kepada pembeli.
“Kita juga mau cari tahu apresiasi mereka untuk karya tenun ikat itu seperti apa. Lumayan ada kalanya bapa terima itu sampai gugur air mata. Mereka memberikan penghargaan yang luar biasa,” kata Feri.
Para tamu yang datang ikut belajar, bagaimana pengorbanan seorang penenun. Mereka belajar totalitas dan kesabaran, kata Feri.
“Biasanya juga ada yang datang hanya bawa untuk pameran, jadi apa yang kita omong di sini akan mereka presentasikan di tamu-tamu mereka,” tambah Feri.
Tenun ikat karya Rosalinda sudah dipamerkan di berbagai tempat, di dalam negeri bahkan sampai dipamerkan di Belanda dan Hongkong. Pada Desember mendatang, ia diundang untuk mengikuti kegiatan budaya di Bali.
Rosalinda dan Feri berusaha tampil ada adanya lewat karya tenun yang mereka hasilkan. Keduanya berharap generasi muda bisa mencintai tenun ikat. Generasi bisa belajar menenun. Tak perlu ragu, menenun bisa menjadi sumber pendapatan keluarga.
“Tenun ikat ini mudah-mudahan bisa menginspirasi generasi muda supaya mereka tidak melepaskan budaya dan tradisi,” pungkas Rosalinda.
Jurnalis Warga: Novi Maranatha













