Ruteng, Ekorantt.com – Polemik rencana pembangunan proyek gheothermal di Wae Sano, Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat (Mabar), Nusa Tenggara Timur (NTT) terus bergulir. Dua orang perwakilan masyarakat Wae Sano, menyambangi Istana Keuskupan Ruteng pada Rabu (16/6/2021) sore.
Keduanya bertemu pihak keuskupan untuk membawa surat terbuka dari warga Wae Sano sebagai respons terkait surat dari Uskup Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat kepada Presiden Jokowi perihal kelanjutan proyek panas bumi (geothermal) Wae Sano, pada 29 Mei 2021 lalu.
Dalam kesempatan itu, Vikjen Keuskupan Ruteng, Romo Alfons Segar menjelaskan, setiap program pembangunan yang direncanakan pemerintah, gereja tetap mengedepankan keselamatan dan kesejahteraan berkelanjutan bagi masyarakat setempat.
“Sehingga istilah kami masyarakat setempat tidak boleh obyek. Gereja akan menuntut hal itu sekalipun proyek itu dijalankan. Itu yang dikawali,” tegasnya.
Kendati demikian lanjut Romo Alfons, seandainya pemerintah dan investor hanya menyepakati itu pada awal, kemudian terjadi dampak negatif kepada masyarakat, maka sikap gereja tetap pada komitmen awal.
“Kalau sudah komitmen awal, apalagi sudah dituangkan dalam MoU, itu yang dijaga,” cetusnya.
Dikatakan, apa yang dilakukan pihak keuskupan dalam menangani proyek geothermal, tentu untuk melindungi umat dan masyaraka agar tidak menerima begitu saja proyek yang dibangun oleh pemerintah.
“Apakah proyek itu betul-betul menjawabi keselamatan, kesejahteraan masyarakat? Kalau nanti terbukti dalam kajian itu merugikan, itu jelas gereja dengan tegas akan mengatakan tidak,” tambahnya.
Sementara itu perwakilan warga, Rofinus Rabun mengatakan, pernyataan Romo Vikjen hampir tidak bisa dipercaya. “Kami hadir di sini membawa surat kritik. Kritikan kami terkait rekomendasi yang baru dibuat,” ujarnya.
Awalnya, kata Rofinus, pihak keuskupan bersama dengan masyarakat untuk menolak geothermal. Kemudian, pihak keuskupan membuat surat untuk membatalkan program ini berdasarkan permintaan masyarakat.
“Lalu di tengah perjalanan, keuskupan membuat rekomendasi untuk melanjutkan proyek ini. Sehingga kami membawa surat terbuka sekaligus mengkritik terhadap rekomendasi yang dibuat. Karena rekomendasi itu bukan berdasarkan hasil permintaan kami,” tegasnya.
Menurutnya, dalam rekomendasi itu, sepertinya pihak gereja memberikan lampu hijau terhadap pemerintah dan perusahaan untuk melanjutkan proyek ini. “Sementara kami masyarakat Wae Sano masih menolak kehadiran proyek geothermal ini,” tutupnya.
Untuk diketahui, nota kesepahaman (MoU) ditandatangani oleh Uskup Ruteng dan Dirjen EBTK Kementrian ESDM di Ruteng pada tanggal 2 Oktober 2020 lalu.
Dalam MoU itu, pemerintah pusat menandaskan beberapa hal. Pertama, geothermal adalah salah satu upaya Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dari sektor energi seperti yang tertera dalam Perjanjian Paris tahun 2015. Penurunan emisi ini sangat mendasar bagi keberlangsungan hidup planet bumi.
Kedua, secara nasional, proyek geothermal meningkatkan pasokan energi listrik dan ketahanan energi nasioal serta menjaga kestabilan fiskal negara. Lebih dari itu pemanfaatan energi panas bumi yang ramah lingkungan ini mengurangi ketergantungan Indonesia pada energi fosil yang polutif terhadap ekologi (misalnya: minyak bumi).
Ketiga, secara lokal, kebutuhan energi listrik di Flores, khususnya di Kabupaten Manggarai Barat terus meningkat sciring dengan pertumbuhan jumlah penduduk, peningkatan aktifitas ekonomi, pembangunan, pertumbuhan industri, khusunya pariwisata.
Sementara rasio elektrifikasi Manggarai Barat 93,189 (Agustus 2020) dan berada di bawah rata rata nasional. Masih banyak desa dan kampung terpencil yang belum mendapat pasokan energi listrik.
Keempat, kenyataannya energi listrik di Flores masih didominasi oleh pembangkit fosil yang menimbulkan emisi gas rumah kaca serta tergantung pada pasokan dari pulau lainnya. Padahal Pulau Flores kaya dengan potensi panas bumi (910 MWE). Proyek geothermal Wae Sano ini akan mendukung kemandirian energi di wilayah barat Flores, khususnya Manggarai Barat.
Dalam MoU itu juga, pemerintah pusat menjawab keresahan masyarakat Wae Sano yang disampaikan dalam surat Uskup Ruteng melalui komitmen untuk menjamin keamanan proyek, yakni keselamatan dan kesehatan warga serta ruang hidupnya.
Tak adanya relokasi (kecuali evakuasi sementara), kelestarian sosial lingkungan termasuk kelangsungan keanekaragaman hayati dan ekosistem sebagai penyangga kehidupan termasuk danau Sano Nggoang, keberlanjutan kehidupan sosial ekonomi, dan kelestarian kultural dan spiritual.
Sementara itu Gereja Katolik Keuskupan Ruteng berkomitmen untuk, menjadi gembala yang mengayomi semua pihak guna menemukan solusi komprehensif terhadap persoalan yang ada.
Memperjuangkan prinsip dan nilai dalam pembangunan holistik berkelanjutan yang mengutamakan martabat manusia dan kesejahteraan umum serta berbasis pada kearifan lokal dan ramah lingkungan. Membantu mengawasi proses sosial agar berjalan sesuai dengan prinsip dan etika sosial.
Membantu penyelesaian masalah panas bumi secara komprehensif, bermartabat dan berkeadilan sosial.
Adeputra Moses