Oleh: Alfred Tuname*
“One child, one teacher, one pen and one book can change the world”, kata Malala Yousafzai. Malala sadar betul, pendidikan sangat penting untuk penghalusan budi manusia.
Pendidikan dapat mengubah wajah dunia yang penuh kekerasan. Peraih Nobel Perdamaian tahun 2014 itu pernah menjadi korban kekerasan Taliban pada 09 Oktober 2012. Ia ditembak di dalam bus, saat hendak ke sekolah. Saat itu ia baru berumur 15 tahun. Tetapi ia selamat, dan hingga kini terus memperjuangkan hak setiap anak untuk mendapatkan pendidikan.
Seperti Malala, kita pun sungguh yakin, pendidikan dapat mengubah wajah dunia. Syarat multaknya, ada murid; ada guru; ada perkakas belajar dan buku. Tanpa semua itu, pendidikan menjadi non sense. Guru pasti ada, kalau muridnya siap. Perkakas belajar dan buku pun menjadi pendukung proses pendidikan.
Akan menjadi aneh, kalau muridnya ada, gurunya tidak siap. Proses interaksi ilmu menjadi mampet. Ruang belajar menjadi pengap, sebab pertukaran oksigen pengetahuan tidak optimal. Maka itu hanya akan muncul mediocre teacher.
Mengutip William Arthur Ward (penulis dan penyair), “the mediocre teacher tells; the good teacher explains; the superior teacher demonstrates; the great teacher inspires”. Guru yang biasa-biasa saja (mediocre teacher) itu terlalu banyak berkata-kata, tetapi tidak menginpirasi para murid.
Nah, menjadi guru penggerak adalah menjadi great teacher. Guru penggerak harus menjadi inspirasi. Ia menjadi sosok “ing ngarsa sung tuladha”, bukan saja untuk para murid tetapi juga untuk para guru yang lain.
Oleh karena itu, guru penggerak mestinya menjadi pendidik yang beyond the limit. Dengan kualifikasinya, ia melampaui semua batasan yang dihadapi guru biasa.
Lantas, siapa yang bisa menakar kualifikasi guru penggerak? Setiap insan pendidikan bisa menakarnya. Neraca yang adil untuk itu adalah output dan outcome. Tentu dipahami, tahapan dan proses selektif dan profesional menjadikan guru bisa jadi guru penggerak. Itu tidak gampang, dan tidak semua guru bisa terpilih. Tetapi semua itu hanya akan berhenti sebagai ujian administratif guru dan tambahan title pada curriculum vitae, apabila output dan outcome-nya biasa-biasa saja.
Output itu dapat dilihat dari daya kreativitas baru dan inovasi mengajar dalam mendidik siswa. Berbagai “tools” digunakan untuk membentuk siswa menjadi pribadi unggul. Sementara outcome dapat dilihat dari tampilan kecerdasan dan kreativitas murid merespon dunia di luar sekolah. Kecakapan mental, intelektual dan kinestetik para siswa adalah “buah pikir dan buah tangan” dari the great teachers.
Mutu pendidikan ada pada output dan outcome proses belajar-mengajar di sekolah tersebut. Kalau Malala Yousafzai berjuang agar anak-anak (perempuan) Pakistan mendapatkan hak dan akses untuk bersekolah, perjuangan kita adalah agar anak-anak mendapatkan pendidikan bermutu.
Yang jelas, kuantifikasi persentase kelulusan siswa sekolah belum menjadi takaran sepadan mutu pendidikan. Problemnya masih klasik: kemampuan literasi, numeras, dan pembentukan karakter masih lemah.
Nah, skema perjuangan guru penggerak kita seharusnya berkutat pada persoalan tersebut. Dasar literasi adalah baca dan tulis; dasar numerasi adalah bilangan dan operasi hitung; dasar pembentukan karakter adalah moral dan nilai budaya. Sebelum sampai pada peserta didik, guru penggerak mesti sudah “bebas” dari persoalan-persoalan tersebut. Guru mesti menjadi guru bagi dirinya terlebih dahulu, baru untuk orang lain.
Di Manggarai Timur (Matim), pada kegiatan Lokakarya Program Pendidikan (14-17 Oktober 2022), para guru penggerak dan calon guru penggerak mencoba saling menjadi “guru” bagi sesamanya.
Di hotel Embun Pagi, suka-duka, motivasi dan inovasi dipertukarkan secara langsung. Tentu ada banyak perspektif kreatif muncul dalam lokakarya itu. Tujuannya adalah memunculkan banyak guru penggerak yang mampu mentransformasi pendidikan Matim.
Tentu saja, Lokakarya Program Pendidikan Guru Penggerak itu baik. Kehadiran dan saling tatap di antara sesama guru memastikan stimulus untuk berkompetisi. Bahwa ada semacam niat untuk mengatakan “sekolah kami harus menjadi lebih unggul”. Jika niat itu muncul, maka Lokakarya itu berhasil. Dorongan untuk menjadi lebih unggul atau need for achievement (istilah David C. McCelland) itu harus menjadi bekal psikologi sehabis aktivitas diskursif lokakarya.
Di ujung Lokakarya itu, ada unjuk karya. Namanya, “Festival Panen Raya”. Terjemahan hermeneutiknya, dunia pendidikan memanen sebanyak 75 guru sebagai calon guru penggerak. Jumlah ini cukup signifikan untuk mendorong capaian tumbuh-kembang murid yang holistik, aktif, dan proaktif. Lalu, sebagai festival, ada “buah rasa, buah pikir dan buah tangan” yang dipamerkan.
Di aula hotel, terdapat blok-blok pameran yang menampilkan berbagai karya. Ada foto kegiatan; ada video kegiatan; ada olahan pangan lokal; ada hasil kerajinan tangan; ada buletin sekolah; ada baliho struktur organisasi sekolah; ada diktat diari mingguan; ada lukisan, et cetera. Semuanya menarik. Sebagai konsep festival, para calon guru penggerak tampil cantik dan cakep dengan dandanan khas budaya Manggarai. Itu menambah semerbak lorong-lorong pameran.
Catatannya, festival itu cenderung sebagai pameran handricraft. Itu pun tidak ada inovasi unik, sebab hanya meniru handicraft yang sudah ada di masyarakat. Misalnya, nyaris semua hasil kerajinan tangan diramu dari bahan kayu. Akan lebih inovatif apabila ada kreasi kerajinan tangan yang diolah dari sampah plastik. Literasi ekologis akan lebih terasa dari konsep “reuse-recycle” tersebut.
Selain itu, buah literasi baca-tulis berupa buku, nyaris tidak ada. Padahal buku mestinya menjadi tawaran utama guru penggerak. Di situ, masing-masing insan pendidikan bisa memeriksa literasi dasar dan ide baik pendidikan dari sang guru.
Kalau momentum festival bisa menjadi ajang pertukaran buku karya masing-masing guru, maka ruang pendidikan kita penuh dengan ide dan kreasi inovatif. Setidaknya, tulisan lebih abadi dibanding ucapan.
Sayangnya, nyaris tak ada buku karya guru di festival itu. Kita tak bisa memanen ide di sana, selain melihat tumpukan artefak handcraft yang mudah retak. Kalau pun ada, itu hanya diktat curhat mingguan guru yang dijilid tak banyak (dan mungkin karena pakai metode penulisan diari, pilihan diksi dan tata bahasanya masih tumpang-tindih; tata bahasanya tak ada dalam standar EYD, dan anak-cucu-cicit kalimat penuh satu alinea).
Uniknya lagi, cindera mata yang disediakan BGP Provinsi NTT (promotor lokakarya) bukan berisi buku bacaan, tetapi payung, pena dan buku tulis dalam tas jinjing. Untunglah bukan sendok makan-garpu, piring dan payung dalam isi tas jinjing itu.
Kalau sudah begitu, apa kabar literasi, numerasi dan penguatan karakter pendidikan kita? Harapannya, pola dan proses pembentukan guru inspiratif itu terus berbenah dan menjadi lebih baik. Pemerintah dan masyarakat pasti selalu mendukung guru.
Sebab, guru inspiratif senantiasa menciptakan kembali masyarakat yang sejahtera, berdaya dan berbudaya, kelak. Kemendikbud Nadiem Makarim bilang, syarat jadi kepala sekolah adalah pernah jadi guru penggerak. Di Matim, dalam testimoninya, Bupati Agas Andreas, SH., M.Hum juga mendukung tekad pak Menteri Nadiem itu.
Semoga, dalam waktu tak lama, guru penggerak kita bisa dianggkat menjadi kepala sekolah. Kalau ada kepala sekolah inspiratif, ekosistem pendidikan akan menjadi semakin bergeliat. Perubahan itu biasanya bermula dari kepala! Akhirnya, salut buat guru penggerak di Matim.
*Esais