Maumere, Ekorantt.com – Uskup Keuskupan Maumere, Mgr Ewaldus Martinus Sedu, Pr menegaskan hamba adalah seorang yang bersedia membantu atau menolong tuannya kapan saja dia dibutuhkan.
“Seorang hamba Tuhan adalah yang harus bersedia melayani Tuhan kapan dan di mana saja,” tegas Uskup Ewal pada Perayaan Ekaristi Pengikraran Kaul Kekal Sr. Maria Dorotea Wati Pio, O.Ss.S di Gereja Stasi St. Stefanus Martir Jalan Brai Maumere, Sabtu (21/01/2023).
Menurutnya, kepasrahan seorang hamba Tuhan adalah sikap iman yang dibutuhkan agar dapat menjadi saluran keselamatan.
Menyinggung motto Suster Dorotea “Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataanMu”, mantan Praeses Seminari Tinggi Ritapiret mengatakan suatu pengakuan akan kesediaannya untuk menjadi saluran keselamatan bagi dunia.
“Menjadi hamba Tuhan bukan saja bersedia untuk menjadi suster tetapi bersedia untuk menjadi suster yang menjadi saluran keselamatan bagi dunia. Jadilah suster yang dengan setia menghayati Firman Tuhan,” pesan Uskup Ewal.
Turut menghadiri perayaan Ekaristi yang dipimpinnya adalah 9 imam konselebrantes yang dimeriahkan koor dari St. Yohakim dan diiringi tarian dari grup tari SMA Negri 2 Maumere.
Mother Irish Lewis, delegasi pemimpin umum Ordo Santa Brigita dari Swedia ketika memberikan sambutan mengucapkan terima kasih kepada Uskup Maumere, biarawan/ti, keluarga dan umat yang telah menyukseskan perayaan kaul kekal tersebut.
“Saya harap Suster Dorotea tetap setia dan senang dengan panggilan. Meskipun badai menerpa kehidupanmu Yesus selalu menyertaimu,” ungkap suster asal India ini.
Sementara wakil keluarga, dr. Wera Damianus mengharapkan dengan peristiwa kaul kekal, kiranya muncul Dorotea kecil lainnya yang menyusul.
“Perjalanan panggilan suster ini masih panjang saya harapkan dukungan doa dari keluarga dan seluruh umat yang hadir,” pinta mantan wakil Bupati Sikka ini.
Kisah Panggilan
Dalam refleksi panggilannya, suster yang memiliki nama asli Diana Marsela Wati Pio mengatakan selama di bangku Sekolah Dasar, ia menghabiskan waktu bersama kakek dan nenek dari ibunya di Kefamenanu Timor Tengah Utara.
“Saat di bangku SD, saya sudah pandai membaca dan menulis karena kakek rajin membimbingnya belajar setiap hari. Saya sangat menyayangi mereka,” kenang tamatan SMA Negri 1 Insana TTU ini.
Anak pertama buah kasih Alfons Pio dan Maria Yasinta Naiaki ini menambahkan, sejak usia 13 tahun hingga 19 tahun Diana berada di asrama.
“Saat di SMA datang misionaris dari berbagai kongregasi sosialisasi tentang misi panggilan kehidupan membiara dan saya tertarik dengan Ordo Santa Brigita dari Swedia,” kenangnya.
Namun ketika ia mengutarakan niat hati untuk masuk biara kepada kakek dan neneknya, lanjut Suster Diana, hanya kakek yang setuju.
“Kakek sangat senang dan setuju karena menurut kakek suatu saat dirinya meninggal pasti ada yang mendoakan,” jelasnya.
Sementara nenek, katanya lagi, tidak setuju karena khawatir riwayat Diana kecil hingga dewasa sering sakit-sakitan.
“Karena saya merengek terus akhirnya nenek memberikan izin,” ungkap suster Dorotea disambut gelak tawa umat yang hadir.
Dengan terbata-bata, Suster Dorotea menuturkan beratnya kehidupan dan bagaimana dirinya pernah diusir dari sekolah karena belum melunasi keuangan sekolah.
“Kakek sayang sekali saya dan ia rela menjual kain sarung demi melunasi uang sekolah,” pungkasnya.