Oleh : Albertus Muda
Jauh sebelum pengumuman dimulainya misa pembukaan penerimaan komuni pertama, banyak kursi dan bangku di gereja tampaknya lengang baik pada misa pertama maupun misa kedua setiap hari Minggu. Kursi-kursi itu tampak kosong. Mengapa? Karena memang tidak ditempati oleh sebagian umat. Mengapa tidak ditempati? Karena sebagian umat memilih tidak datang ke gereja. Hanya sedikit umat yang datang dengan niat tulus untuk merayakan misa. Kelompok ini menyatakan rasa syukur dengan makan dari meja sabda dan Ekaristi.
Pertanyaannya, kalau tidak datang, umatnya pada ke mana? Ya, mereka lebih memilih tinggal di rumah. Mereka lebih nyaman duduk di rumah ketimbang tergesa-gesa ke gereja apalagi berdesak-desakan mencari tempat untuk duduk di dalam gereja. Lebih dari itu, spiritualitas adalah kata yang asing bagi mereka. Ibadat atau misa di gereja yang merupakan sarana ampuh pengudusan diri dan saling menguduskan satu sama lain belum dipahami sebagian besar umat.
Menyebut kursi kosong setiap orang pasti mengasosiasikannya secara berbeda-beda. Orang bisa mengatakan, kursi kosong menandai kehilangan seorang yang dikasihi. Sebaliknya, kursi kosong bisa menandai hijrah atau pindahnya seseorang ke tempat lain sehingga secara fisik tidak hadir seperti biasanya. Namun, konteks kursi kosong yang saya maksud adalah umat yang dengan tahu dan mau memutuskan untuk tidak datang ke gereja. Konteks yang saya maksudkan di sini adalah dalam kesempatan perayaan ekaristi atau ibadat pada hari Minggu tanpa imam di gereja.
Kursi itu tidak ditempati karena sebagian umat memilih mengikuti kemauan mereka sendiri. Mereka memilih memisahkan diri dari persekutuan umat secara nyata bukan hanya di paroki tetapi lingkungan dan KBG pun tidak. Secara administratif umat yang bersangkutan ada. Akan tetapi, dalam hidup menggereja mereka memalingkan diri dari persekutuan umat beriman. Mungkin juga berpaling dari Allah yang mereka imani. Semoga yang terakhir ini jangan sampai terjadi. Sebab berpaling dan mengingkari Allah sama halnya membawa malapetaka atau penderitaan.
Kursi kosong bisa menandakan kekosongan batin seseorang. Sayangnya ketika orang mengalami kekosongan batin, mereka malah mencari jalan keluar yang salah yakni menjauhi Tuhan Allah. Sebagian umat lebih memilih bekerja sepekan dari Senin sampai Minggu sampai lupa kalau hari Minggu adalah hari Tuhan atau istirahat dari kerja berat yang biasa dilakukan pada hari-hari biasa. Sangat disayangkan karena semua hari kerap dilihatnya sama sehingga menjadi maniak bekerja dan lupa membangun persekutuan umat di KBG, lingkungan dan di paroki terutama merayakan Ekaristi bersama.
Barangkali umat beriman berpikir bahwa dengan memilih bekerja tanpa menghiraukan hari Minggu dapat menghilangkan kekosongan batinnya. Padahal kekosongan batin hanya bisa ditemui dalam keheningan di mana orang datang menimba kekuatan spiritual pada Yang Ilahi dalam Ekaristi yang adalah sumber, puncak, pusat kehidupan umat beriman Katolik. Namun, sebagian umat malah memilih menjauhkan diri dari keheningan dan ketenangan sehingga membuat mereka cenderung berpikir instan dan bertindak tidak terarah. Sesungguhnya masalah-masalah yang terjadi tanpa henti hingga saat ini disebabkan oleh ketidakpedulian manusia pada Allah sebagai Pencipta dan pengada segalanya.
Sangat mengejutkan ketika ada momen dimulainya misa pembukaan komuni pertama, sebagian dari umat yang selama ini tidak biasa datang ke gereja, seketika hadir dengan wajah baru yang ramah namun terkesan minder. Mereka seakan merasakan komentar yang tak tersampaikan dari orang-orang yang melihat kehadiran mereka. Mungkin itu perasaan personal yang timbul secara spontanitas di dalam hati mereka. Sebuah pertanyaan menggelitik rasa dapat diajukan. Mengapa baru sekarang tergerak untuk datang ke gereja? Apakah kehadiran saat ini hanya syarat administratif supaya sang anak dapat menerima komuni pertama? Atau mereka menempatkan diri sebagai anak yang hilang yang kembali karena telah insaf dan bertobat lalu memutuskan kembali ke pangkuan Allah yang maha pengampun dan berbelas kasih?
Apabila direnungkan, fenomena menjauhkan diri dari Allah dan persekutuan umat beriman merupakan sebuah pengalaman keterasingan. Maka ketika seseorang memutuskan untuk kembali sesungguhnya menjadi titik balik atau jalan pulang yang mestinya membuka ruang pertobatan dari pihak manusia.
Sedangkan dari pihak Allah tentunya telah tersedia pengampunan yang penuh kasih. Apakah sebagai sesama umat kita juga membuka hati mengampuni mereka? Ya, kita mesti melakukannya karena Allah telah lebih dahulu mengampuni kita.
Pengampunan yang diberikan mesti membuahkan rasa sesal dan pertobatan agar mendatangkan kedamaian. Sebab setiap manusia dipanggil untuk mencapai kedamaian rangkap empat yakni damai dengan diri sendiri, sesama, alam, dan Allah Sang Pencipta. Sebaliknya, jika seorang beriman memutuskan memalingkan diri dari Gereja dan Allah yang diimaninya maka secara tidak langsung membiarkan bahkan meninggalkan kursi imannya untuk waktu yang tak ditentukan. Tindakan yang demikian sesungguhnya berakibat fatal karena seorang beriman dapat saja kehilangan kursi. Kursi dimaksud adalah kursi keselamatan kekal.
Kehilangan Kursi
Keterlibatan umat beriman dalam kehidupan menggereja dapat diwujudkan melalui Tri Tugas Kristus yang diembannya sejak menerima sakramen permandian. Demikian juga Panca Tugas Gereja mestinya menjadikan umat beriman semakin familiar, bersaudara, guyub, dan militan dalam iman kekatolikannya.
Tugas sebagai imam, nabi dan raja yang diperankan umat Katolik merupakan wujud nyata keikutsertaannya dalam Tri Tugas Kristus. Partisipasi umat mestinya semakin nyata. Panca tugas Gereja yakni menguduskan/liturgia, mewartakan/kerygma, membangun persekutuan/koinonia, pelayanan/diakonia dan kesaksian/martyria mesti juga semakin nyata serta berdimensi sosial dan kemanusiaan.
Kehidupan setiap umat beriman Katolik mestinya sungguh beriman dan sungguh beragama. Jika tidak, umat Katolik bisa saja terjebak pada paham ateisme bahkan relativisme. Orang layaknya hidup tak bertuhan bahkan sebaliknya memandang beragama dan tidak beragama sebagai dua entitas yang sama. Beragama dan tidak beragama dipandang relatif. Padahal, ketika kita mengaku mengimani Allah di satu sisi, maka kita juga dituntut untuk mewujudkan iman kita kepada Allah dalam hidup menggereja di sisi yang lain.
Kita tidak bisa mengaku beriman tetapi tidak beragama. Sebaliknya mengaku beragama tetapi tidak mewujudkan iman secara nyata dalam hidup berkomunitas di KBG, lingkungan, dan paroki. Beriman dan beragama, tidak berada pada ranah netral. Keduanya mengandung konsekuensi yang mesti dihidupi dan dihayati secara bijak dan konsisten.
Beriman dan beragama laksana dua sayap. Iman dan agama mesti menjadi kekuatan untuk membangun hidup yang semakin moderat bukan eksklusif atau ekstrem. Iman dan agama ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Meski demikian, iman menjadi yang paling utama karena yang menyelamatkan bukan agama melainkan iman. Iman dan agama dapat menerbangkan setiap orang beriman menuju tujuan yang paripurna yakni Allah. Olehnya, aturan-aturan agama seyogianya tidak membebani umat beriman untuk menghayati imannya. Akan tetapi, tidak membebani bukan berarti umat beriman memilih tidak terlibat dalam tugas-tugas keagamaan karena dianggap membebani. Gaya berpikir yang demikian mesti dijauhi.
Bayangkan seseorang yang sedang menunggu ojek atau angkot untuk mengantarnya menuju ke tempat tujuannya. Jika orang tersebut tidak mendapatkan jasa ojek atau angkot maka ia akan sangat gelisah karena waktu terus berjalan sedang tujuannya belum tercapai. Orang tersebut bisa kehilangan kursi karena tidak mendapatkan jasa ojek atau angkot pada waktu yang tepat. Demikian juga seorang penumpang kapal cepat atau pesawat. Ketika sang penumpang datang terlambat dan belum mengantongi tiket, maka sang penumpang bisa saja kehilangan kesempatan dan juga kursi yang akan memberangkatkannya ke tujuan yang hendak disinggahi.
Ilustrasi di atas, sangat relevan jika ditempatkan dalam konteks hidup beragama kita. Seorang yang mengaku beragama dengan penuh keyakinan mengatakan bahwa ia akan masuk surga atau pasti akan mendapatkan keselamatan. Padahal ia tidak pernah datang dalam hidup persekutuan iman, relasi personal dan sosialnya pun sangat jauh dari kehendak Allah. Orang tersebut bisa saja mengalami nasib yang sama seperti penumpang kapal cepat atau pesawat yang kehilangan kursi untuk berangkat menuju tujuan. Jika perjalanannya hanya untuk sekali kesempatan maka ia akan kehilangan kesempatan yang istimewa itu sebab ia tidak akan mengulanginya. Hanya ada penyesalan dan penyesalan.
Oleh karena itu, tidak perlu menunggu anak permandian, menerima Komuni Pertama atau Krisma bahkan hendak menikah baru sadar untuk datang ke Gereja. Akan tetapi lakukanlah setiap kesempatan dalam kehidupan agamamu dengan disiplin dan konsisten, niscaya akan mendatangkan berkat dan keselamatan bukan hanya di dunia tetapi juga di kehidupan yang akan datang. Jalankan doa bersama dalam keluarga, ikut ibadat KBG, doa Rosario, sharing Kitab Suci, dan misa di gereja serta kesempatan yang berwujud kegiatan kemanusiaan sebagai kesempatan yang terakhir. Artinya setiap momen positif yang hendak diikuti dihayati sebagai kesempatan yang pertama dan terakhir sehingga dari dalam hati tetap bertumbuh semangat untuk ikut terlibat. Jika tidak ditumbuhkan maka akan sia-sialah hidup kita.
Waspadalah agar kita tidak kehilangan kursi pada hari di mana kita dipaksa pergi oleh peristiwa hidup atau dijemput paksa oleh maut. Jangan sampai kita saling menyalahkan. Sebaiknya kita belajar dari kisah hidup orang kaya yang meminta Abraham agar menasihati saudara-saudaranya agar tidak mengalami penderitaan seperti yang dialaminya. Setiap perkataan yang dinubuatkan atau disampaikan mesti diambil nilai positifnya untuk mengantar kita pada pembaruan diri dan pertobatan agar kita dapat berbalik dan ikut ambil bagian dalam persekutuan umat beriman bukan karena ada maunya kita tetapi karena kita sedang berinvestasi untuk menyambut kehidupan yang akan datang yang baka dan lestari.
Mari kita kejar bersama hal-hal positif dan tetap saling menguatkan agar kursi-kursi kembali terisi dan jangan sampai ada yang kehilangan kursi kemudian.*
*Guru Pendidikan Agama Katolik SMA Negeri 2 Nubatukan-Lembata