Mbay, Ekorantt.com – Film pendek “KODO, Kami Belum Merdeka” garapan ZAVANA Production yang tayang di Youtube 10 Agustus 2019 lalu berbicara tentang kehidupan seorang gadis Sekolah Dasar bernama Kodo – diperankan Pedro Gonsales Kodo – dalam ruang lingkup kesehariannya di sebuah kampung (adat) kecil di wilayah Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur.
Berbagai macam realitas, terutama lewat percakapan-percakapan lokal, coba ditampilkan dalam film ini. Antara Kodo dan ibunya -diperankan Flavina Lero-, bersama teman-teman sebaya juga Kodo sebagai seorang anak kampung yang sekaligus yatim yang sekaligus hidup serba keterbatasan.
Adegan awal project gerak visual yang diproduseri Ockhand Tage dengan penulis skenario Haris Meo Ligo ini menampilkan rutinitas Kodo sebelum berangkat sekolah. Mengangkat jeriken air, membasuh diri, dan yang terutama, mendengarkan nasihat ibunya. Apalagi Kodo juga membantu sang ibu berjualan pisang goreng di sekolah.
Lanjutan suguhan ini kemudian menyasari kenyataan suasana kampung, terutama rumah Kodo. Kita lihat ada salah satu anggota keluarga yang bertandang ke rumah, bertukar cakap dengan ibu Kodo dan sampaikan pesan untuk hadir dalam pesta sambut baru atau terima komuni suci pertama.
Ada pula Kodo ditampilkan bermain dengan teman-temannya dan membicarakan salah satu cita-citanya, yakni menjadi atlet bulu tangkis. Perbincangan-perbincangan khas anak kecil itu terselipi dengan aktivitas menadah air dan memikul jeriken.
Selebihnya adalah tawaran realitas intim antara Kodo dan ibunya. Yang di dalamnya tersaji pembicaraan-pembicaraan soal “hidup yang belum merdeka”; tempat tinggal yang gelap, tak punya listrik dan sumber air yang jauh.
“Kalau begitu, apakah engkau sudah mengerti tentang kemerdekaan?” demikianlah jawaban serentak pertanyaan yang dilontarkan ibu Kodo, merespons tanya anaknya perihal makna kemerdekaan itu sendiri.
Para penggarap film ini besar kemungkinan menaruh titik sentral pada kondisi sosial dua sosok tersebut. Dengan konteks kemerdekaan sebagai lingkar pembalutnya dan potongan-potongan aktivitas keseharian di kampung sebagai bumbu untuk menguatkan posisi.
Tentu saja mereka ingin memberikan pesan di situ. Baik bersifat sosial, kultural maupun sematan personal untuk menggugah cita rasa kemanusiaan pribadi yang menonton. Walaupun film sebagai seni visual tak serta merta dipaksakan untuk mewujudkan isu-isu umum tertentu tanpa proses pun konsep penggarapan yang matang.
Tapi, diangkatnya kenyataan sehari-hari di kampung ke dalam “KODO, Kami Belum Merdeka” merupakan sesuatu yang menarik. Apalagi ini merupakan film pendek, durasi waktunya 13.05 menit, yang pastinya butuh kesabaran untuk membikin montase yang tepat demi menghindari pelebaran kenyataan atau gagasan yang hendak disampaikan.
Maka dari itu, pantulan film ini tentu bisa macam-macam. Tergantung asumsi dasar, model juga nilai mana yang dipakai untuk mencermati itu. Namun, yang paling penting dan utama, “KODO, Kami Belum Merdeka” telah mampu membicarakan hal-hal yang biasa, yang mungkin sering kita jumpai, bahkan abaikan dalam hidup sehari-hari.
Dan di situlah letak kata kunci dari film ini.