Lewoleba, Ekorantt.com – Margaretha Eta duduk di ruang depan rumahnya. Perempuan berusia 80-an tahun itu menyambut rombongan tamu yang datang siang itu dengan sepiring nasi di tangan kanannya.
“Saya baru satu bulan makan leye. Sebelumnya makan nasi dari beras seperti biasa,” kata Margaretha sambil merekah senyum kepada Ekora NTT yang mengunjungi rumahnya di Desa Hoelea II, Kecamatan Omesuri, Kabupaten Lembata, Sabtu, 21 Desember 2024.
Di dalam piring yang digenggam Margaretha, olahan pangan lokal seperti nasi itu terlihat biasa-biasa saja. Warnanya putih kecoklatan. Teksturnya lembek.
Makanan khas itu bukanlah nasi berbahan dasar padi atau jagung. Nasi dalam piring Margaretha berbahan dasar “leye”, sebutan masyarakat etnis Kedang untuk pangan lokal bernama jelai atau jali-jali.
Margaretha merupakan satu dari empat perempuan lain yang wajib mengonsumsi leye karena menikahi anak sulung dari tiga suku besar di wilayah itu.
Dia menikah dengan anak sulung dari Suku Leuhoe Tubar. Margaretha melanjutkan tradisi ini dari Veronika Dai, perempuan pengonsumsi leye yang sudah meninggal dunia.
“Ini tradisi,” katanya.
Perempuan renta itu mengonsumsi leye sebagai pengganti sumber karbohidrat lain seperti beras atau jagung. Menurutnya, nasi leye berasa tawar di lidah. Oleh sebab itu, Margaretha terbiasa mencampur nasi leye dengan susu.
“Rasanya tidak sama dengan kacang,” ucapnya sambil melempar senyum.
Jika Margaretha baru satu bulan wajib makan leye, lain hal dengan Kristina Lolon, perempuan sepuh berusia 80 tahun.
Kristina menikah dengan anak sulung dari Suku Leuhoe Tubar, namun dia menjalankan tradisi itu mewakili tiga suku besar. Dia sudah makan leye sebagai pengganti karbohidrat selama 22 tahun.
Nasi leye di piring makan Kristina biasa dicampur dengan sayur dan ikan. Segelas arak juga kerap menemaninya melahap leye.
“Harus dengan arak biar ada rasa,” kata Kristina dalam bahasa Kedang yang diterjemahkan oleh anak perempuannya bernama Yohana Ina.
Anaknya dengan setia menyiapkan leye di meja makan untuk dikonsumsi ibunya setiap hari. Sepiring nasi leye sudah cukup membuat Kristina merasa kenyang lebih lama.
Tradisi Nenek Moyang
Pengetahuan lokal memakan leye di wilayah Kedang dikenal dengan istilah puting watar ka leye yang berarti pantang jagung makan leye. Tradisi ini datang dari legenda yang diceritakan turun-temurun.
Alkisah, pada zaman dahulu hiduplah seorang anak bernama Au Beni. Saban hari dia bekerja menyadap tuak. Di dekat pohon tuak, tumbuh sebatang pohon jagung yang sudah berbunga.
Setiap hari, Au Beni membelai rambut buah jagung tersebut dan berujar dengan bahasa Kedang: Jika jagung itu perempuan, maka ia akan mengawini perempuan tersebut.
Pada suatu hari, saat sedang memasak tuak, Au Beni terkejut melihat jagung tersebut telah berubah wujud menjadi sesosok perempuan. Ia lantas mengambil selembar sarung lalu menutupi tubuh perempuan itu. Au Beni dan si perempuan jelmaan jagung itu kemudian menikah. Mereka memiliki anak bernama Oreng Au.
Oreng Au mempunyai anak lagi bernama Beni Oreng, Au Oreng, dan Buya Oreng. Tiga orang anak inilah yang akhirnya menjadi leluhur suku Leuhoe yang membentuk tiga suku besar yakni Leuhoe Tubar, Leuhoe Take, dan Leuhoe Payong.
Setelah beberapa waktu, Au Beni dan keluarga memilih untuk hijrah ke kampung yang baru. Tiba-tiba, ada kejadian alam yang menyebabkan kampung tersebut menjadi gelap gulita. Au Beni pun membuat busur dan anak panah dari batang leye.
Busur dan anak panah itu digunakan untuk memanah awan tebal hitam yang menggantung di langit, penyebab kampung menjadi gelap gulita.
Sebelum awan tersebut diurai dengan anak panah, mereka membuat perjanjian untuk hanya mengonsumsi leye sebagai makanan utama.
Tidak boleh makan jagung. Setelah membuat perjanjian, anak panah dilepaskan ke langit, dan seketika awan gelap itu lenyap. Sejak saat itu, kebiasaan mengonsumsi leye di dalam ketiga suku itu dimulai: Pantang makan jagung, makan leye (puting watar ka leye).
“Leye ini bukan hanya cerita saja, tapi dari leluhur,” kata Kepala Suku Leuhoe Tubar, Fransiskus Peu Leuhoe.
Dahulu, tradisi puting watar ka leye, menurut Fransiskus, biasa dikonsumsi oleh semua kalangan, baik laki-laki maupun perempuan. Namun, produksi leye saat itu sangat sedikit, sehingga tidak bisa lagi dikonsumsi oleh banyak orang.
Aturan baru pun dibuat sekitar 50 tahun lalu. Hanya anak perempuan yang menikahi laki-laki sulung suku tersebut saja yang wajib memakan leye. Alasannya, dalam pembagian peran dulu, perempuan yang bertugas menyiapkan makanan di dalam keluarga atau rumah tangga.
Kini dalam suku Leuhoe tersebut tersisa tiga perempuan tua yang menjadi penjaga tradisi wajib makan leye. Mereka adalah Margaretha Eta dari suku Leuhoe Tubar, Jana Barang dari suku Leuhoe Take, serta Kristina Lolon yang mewakili tiga suku besar.
Dari suku Leuhoe Payong, perempuan yang menjalankan tradisi itu bernama Hamida Waheng, tetapi dia telah meninggal dunia dan belum ada ritual yang dilakukan untuk perempuan yang menggantikannya.
Sebelum menjalankan tradisi ini, perempuan yang hendak makan leye itu harus mengikuti ritual topun. Ritual ini ditandai dengan pelumuran pinang dan sirih yang sudah dikunyah oleh dukun ke dahi, pundak, lutut, paha, dan kaki dari perempuan penerus tradisi leye. Setelah melewati ritual topun, si perempuan mulai menjalankan kewajiban makan leye tersebut.
Fransiskus mengatakan leye boleh dimakan dengan lauk-pauk lainnya, karena fungsinya hanya sebagai pengganti sumber karbohidrat.
Namun, ada pantangan leye tidak boleh dimakan dengan telur ayam, daging kambing, sayur kelor, serta daun jeruk yang dicampur dengan daging babi. Selain itu, perempuan yang makan leye juga harus berada dalam posisi duduk saat minum air dan menyisir rambut.
“Leye ini merupakan makanan khas dari nenek moyang, sehingga tidak ada penolakan saat semua pihak mau makan leye,” kata Fransiskus menegaskan.
Pemerhati budaya yang bergerak pada isu pangan dan kearifan lokal, Bernadete Langobelen mengatakan tradisi makan satu jenis pangan tertentu juga ada di beberapa wilayah lain di Lembata dan Flores Timur.
Ia menyadari bahwa tradisi pantang yang hanya boleh dilakukan oleh perempuan itu terlihat diskriminatif dan seringkali tidak memerhatikan kondisi perempuan.
Bernadete pun memberikan masukan agar adanya kajian ilmiah yang dipublikasikan secara luas tentang kandungan gizi dalam pangan lokal seperti leye.
Dengan demikian, informasi manfaat gizi itu dapat meyakinkan masyarakat bahwa leye juga bisa dimakan oleh semua pihak, tidak melulu hanya perempuan.
“Tidak ada yang salah dengan tujuan pelestarian budaya dan pangan lokal, tapi apakah bisa tetap dilestarikan dengan anak cucu lain juga bisa makan, kita uji juga kandungan gizi sehingga semua bisa makan,” ungkapnya.
Komitmen Bersama
Tradisi ini telah dijalankan ratusan tahun. Tantangan baru terus dihadapi seiring berubahnya zaman. Yohana Ina, anak dari Kristina Lolon, mengatakan kemarau panjang selama ini menyebabkan produksi leye berkurang.
Tahun lalu, produksi leye hanya mencapai 50 kilogram di kebunnya sendiri. Setengahnya habis dikonsumsi selama dua bulan. Padahal sebelumnya, hasil panen benih leye bisa mencapai 125 kilogram.
“Kami akhirnya beli dari luar, karena yang ditanam tidak mencukupi,” kata Kristina.
Pemerintah Desa Hoelea II pun menyadari bahwa melestarikan leye juga menjadi tanggung jawab desa. Untuk itu, pemerintah desa membagikan bibit ke masyarakat dan membentuk tiga kelompok tani yang fokus pada upaya budi daya leye.
Kepala Desa Hoelea II Yosep Payong mengatakan dua kelompok tani masih berfokus pada penanaman leye, sedangkan satu kelompok lain sudah bergerak hingga ke pengolahan produk turunan leye.
Ia menyebut total luas lahan yang dimiliki tiga kelompok untuk menanam leye hampir mencapai tiga hektare.
Selain mendukung proses penanaman leye, pemerintah desa juga membantu proses produksi untuk mengolah leye menjadi produk lain seperti kopi leye, sereal leye, dan kue leye.
“Pemerintah bantu pemasaran, kemarin karena kita ada teman dari Lembata mau ke Singapura, Austria, kita juga kirim ke sana,” ucapnya.
Kondisi iklim berpengaruh terhadap hasil panen. Padahal, permintaan produk turunan leye mulai banyak. Menyiasati hal tersebut, pemerintah desa mewajibkan masyarakat untuk menanam leye di halaman rumah.
Meski belum dalam bentuk peraturan desa, ia menyebut masyarakat mulai merasakan manfaatnya.
“Untuk sekarang belum ada peraturan desa terkait kewajiban menanam leye, tapi melihat kondisi hari kemarin bahwa kita membeli leye dari masyarakat itu dengan satu kilogram Rp10 ribu, masyarakat mulai sadar bahwa harga leye lebih mahal dari jagung, lalu kita juga terus bersosialisasi wajib menanam leye menyesuaikan dengan perbandingan harga di pasaran,” kata Yosep.
Keberadaan leye menurutnya tidak sebatas untuk menjaga tradisi atau melanjutkan warisan. Lebih dari itu, leye bisa menjadi komoditi pangan untuk membangun ekonomi masyarakat desa.
“Kami tetap komitmen leye menjadi kekhasan di desa ini, tetap fokus leye menjadi pangan lokal dan menjadi warisan budaya yang terus dijaga,” tandas Yosep.
Local Champion Koalisi Pangan Baik, Yohan Edangwala menjelaskan sebanyak 15 orang warga Desa Hoelea II tergabung dalam kelompok Leye Leuhoe dan aktif menanam serta mengolah leye menjadi produk turunan.
Mereka pun telah mendapatkan pelatihan untuk menyeleksi benih yang baik. Yohan menekankan pentingnya memengaruhi masyarakat agar mulai menanam leye terlebih dahulu.
“Paling tidak masyarakat tanam dulu. Kalau mereka tidak tanam, mau konsumsi bagaimana,” kata dia mengungkapkan.
Lebih lanjut ia menilai keberadaan leye sebagai pangan berkaitan erat dengan budaya. Oleh karena itu, orang muda yang tertarik pada isu pangan lokal khususnya leye, tentu saja secara langsung telah ikut menjaga budaya setempat.
“Tujuan kita itu masyarakat banyak yang tanam dan mulai konsumsi, intinya tanam saja dulu, sehingga adanya sebuah ketahanan pangan di desa,” ucapnya.
Pangan Inklusif
Yayasan Pengembangan Sosial Ekonomi Keuskupan Larantuka (Yaspensel) menaruh perhatian serius pada pengembangan leye di wilayah desa tersebut. Dari riset yang telah dilakukan, Yaspensel mendapatkan informasi bahwa masyarakat lain juga bisa mengonsumsi leye, tidak hanya para perempuan penjaga tradisi.
Peneliti Pangan dari Yaspensel, Ben Assan mengatakan pangan lokal leye masih bisa dijumpai saat ini karena para perempuan masih menjalankan tradisi itu. Namun, Ben menilai perlunya menjadikan leye sebagai pangan yang inklusif, tidak hanya dikonsumsi karena terikat dengan tradisi.
“Jangan sampai leye hanya menjadi pangan eksklusif untuk satu dua orang, padahal kandungan gizinya baik, lalu terbukti tumbuh baik di wilayah itu,” ucap Ben.
“Kalau mama-mama tidak bisa makan makanan yang lain, sementara bapa-bapa bisa konsumsi leye, kenapa leye tidak dijadikan sumber karbohidrat massal saja,” kata dia menambahkan.
Yaspensel pun mulai mendorong agar leye menjadi sumber karbohidrat yang inklusif. Ben memberikan tiga poin penting yang perlu menjadi perhatian baik pemerintah daerah, pemerintah desa, dan masyarakat.
Pertama, perlu upaya budidaya yang masif. Ia menyebut, budi daya leye yang kuat dan meluas tidak hanya berguna bagi perempuan yang memakan leye saja.
Namun, dengan banyaknya produksi, maka stok terpenuhi dan desa pun dapat terus mengembangkan olahan produk turunan dari leye.
“Leye harus ditanam oleh lebih banyak orang, dikonsumsi oleh banyak orang mulai dari kampung itu, lalu diperbanyak varian olahan supaya mendongkar daya tarik orang,” kata Ben.
Selanjutnya, perlu ada upaya mempermudah urusan pengolahan pasca-panen. Intervensi yang bisa dilakukan ialah teknologi pengolahan. Menurut Ben, kulit leye itu sangat keras dan perlu cara mudah untuk mengolahnya.
“Kalau orang tua dulu terbiasa menumbuknya, sekarang harus dipermudah,” ucap Ben.
Terakhir, peneliti Nimo Tafa Institute ini juga menilai perlunya gerakan bersama untuk pembiasaan konsumsi leye dalam produk olahan standar yakni nasi leye. Jadi, keberadaan leye di atas meja makan sejajar dengan nasi dari padi atau nasi dari jagung.
“Basisnya nasi leye atau bubur leye itu diperkuat dulu, sehingga di atas meja makan leye benar-benar inklusif, dimakan oleh semua di dalam rumah, adanya pengakuan untuk itu,” tambahnya.
Secara khusus Yaspensel telah mendukung upaya pengembangan leye yang dilakukan oleh anak-anak muda Desa Hoelea II, di antaranya pelatihan menyeleksi benih leye. Dalam pelatihan pada bulan November 2024, Ben menjelaskan cara mengidentifikasi jenis leye, cara menyeleksi benih, dan cara menyimpan benih yang baik.
Leye atau jali-jali/ jelai bernama Latin coix lacryma-jobi. Leye adalah tumbuhan jenis serealia yang menjadi sumber karbohidrat dan obat.
Yaspensel telah menemukan dua jenis benih leye di Desa Hoelea II, yakni satu benih berwarna putih kekuning-kuningan dan benih warna coklat kehitaman.
Dari riset yang dilakukan, leye adaptif dengan kondisi iklim di desa tersebut. Lalu leye pun memiliki daya tahan penyimpanan hingga dua tahun.
“Tidak ribet pola penyimpanan, karena leye punya kemampuan bertahan atau masa simpan lama, nah itu salah satu poin dari kedaulatan pangan,” dia menegaskan.
Tantangan untuk menggerakkan atau menghidupkan pangan lokal, Ben berpendapat, harus dimulai dari menarik kembali selera masyarakat untuk mengonsumsi pangan lokal dengan mengedepankan manfaat atau kandungan gizi dan nilai ekonomi lain. Jika ingin membuat varian baru untuk mendongkrak nilai jual, tentu harus ada budi daya yang masif.
Ben menilai perlunya peraturan desa yang lebih kuat hingga berujung pada kebijakan di tingkat kabupaten agar pangan lokal tidak sebatas “demam pangan lokal” pada saat kegiatan-kegiatan pemerintahan.
“Memang perlu gerakan massal untuk pembiasaan konsumsi pangan lokal ini,” pungkasnya.
Penulis: Fransiska Mariana Nuka