Maumere, Ekorantt.com – Elemen mahasiswa menilai DPR telah membangkang terhadap konstitusi lewat upaya revisi Undang-undang Pilkada sehari setelah keputusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Elemen mahasiswa yang tergabung dalam Cipayung Plus Sikka itu lantas mengecam sikap DPR lebih manut pada dinasti Jokowi ketimbang berdiri bersama rakyat yang memilihnya sekaligus konstitusi sebagai acuan bernegara.
Saat turun demo di jalan dan beraudiensi dengan anggota DPRD Sikka pada Jumat, 23 Agustus 2024, mereka menyerukan agar wakil rakyat tidak boleh merevisi Undang-undang Pilkada.
“Putusan yang telah ditetapkan oleh MK bersifat final dan mengikat. Artinya tidak boleh ada revisi atau apa pun itu yang menghalangi ditetapkannya putusan itu,” kata Ketua PMKRI Cabang Maumere, Kornelius Wuli.
Kornelius mengatakan, putusan MK menjadi “angin segar bagi demokrasi elektoral di Indonesia”. Dan bila DPR merevisi UU Pilkada maka lembaga ini “mengencingi, meludahi, dan mencederai” cita-cita pembentukan MK sebagai penguat dasar-dasar konstitusional.
Sebagai lembaga penyusun regulasi dan pengawas kekuasaan, demikian pertanyaan Cipayung Plus Sikka, DPR ternyata semakin terjebak dalam nafsu kekuasaan yang justru mengamputasi hukum dan kewarasan publik.
“DPR RI juga kini seakan menjadi kaki tangan elite dan rezim otokratis untuk melanggengkan otokrasi legalisme. Harapan publik atau rakyat bahwa DPR menjadi wakilnya yang amanah, jujur, dan teladan, justru sebaliknya menjegal konstitusi.”
Dua Putusan MK yang Terancam Dianulir
Mahkamah Konstitusi mengumumkan dua putusan penting pada 20 Agustus 2024 lalu. Putusan pertama yakni putusan nomor 60/PUU-XXII/2024 yang berkaitan dengan ambang batas pencalonan kepala daerah.
MK mengumumkan bahwa ambang batas pencalonan kepala daerah tidak lagi 20 persen melainkan turun menjadi 7,5 persen jumlah suara untuk partai politik atau gabungan partai politik yang mengusulkan calon kepala daerah.
Putusan kedua yakni putusan nomor 70/PUU-XXII/2024, berkaitan dengan syarat usia calon kepala daerah. MK mengumumkan batas usia minimal calon gubernur 30 tahun dan batas usia minimal calon bupati atau wali kota 25 saat ditetapkan calon oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Berselang satu hari, Badan Legislasi (Baleg) DPR sepakat untuk merevisi Undang-undang Pilkada menganulir dua putusan MK, kecuali ambang batas yang hanya berlaku bagi partai yang tak memiliki kursi di DPRD.
Dalam rancangan Undang-undang Pilkada, Baleg bersikeras mempertahankan ambang batas 20 persen bagi partai dan gabungan partai yang memiliki kursi di DPRD atau 25 persen akumulasi suara sah bagi partai yang memiliki kursi di DPRD untuk mengusulkan calon kepala daerah.
Baleg juga menentukan batas usia minimal calon gubernur 30 tahun dan batas usia minimal calon bupati atau wali kota 25 saat pelantikan.
Tindakan Baleg inilah yang menurut Kornelius sebagai “sikap yang inkonstitusional” dari wakil rakyat.
Hal senada disampaikan oleh Ketua BEM IFTK Ledalero, Thomas V. K. Saputra. Thomas mengatakan, tindakan DPR RI merevisi UU Pilkada dengan menganulir putusan semata-mata untuk “melayani kepentingan kekuasaan dan oligarki.”
Menurutnya, DPR sebagai lembaga legislatif harus mampu menjalankan fungsi check and balance sehingga benar-benar bekerja untuk kepentingan seluruh rakyat, bukan untuk kepentingan kekuasaan.
Batal Disahkan
Beruntung revisi UU Pilkada batal disahkan karena tidak terpenuhinya kuorum dalam rapat paripurna di parlemen pada Kamis, 22 Agustus 2024.
Batalnya pengesahan Undang-undang kontroversial itu buntut dari kecaman publik, didukung gelombang aksi demonstrasi mahasiswa dan sejumlah elemen masyarakat sipil di berbagai daerah di Indonesia.
Mereka menuntut pembatalan pengesahan rancangan Undang-undang Pilkada karena bertentangan dengan konstitusi dan sarat dengan kepentingan untuk melanggengkan dinasti kekuasaan.
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Sufmi Dasco Ahmad saat itu memastikan bahwa tidak ada lagi rapat paripurna untuk mengesahkan undang-undang kontroversial itu.
Beberapa hari belakangan, sejumlah partai politik buka suara. Mereka berbalik arah dan tak mendukung pengesahan RUU Pilkada.
Partai Demokrat, misalnya, sepakat pada pembatalan pengesahan RUU Pilkada setelah mendengarkan dan mendalami aspirasi dari berbagai elemen masyarakat dan mahasiswa.
“Kami mendorong agar KPU RI dapat segera menyusun Peraturan KPU yang sejalan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi,” demikian pernyataan resmi Partai Demokrat yang dilansir sejumlah media pada Sabtu, 24 Agustus 2024.
Tetap Kawal
Kendati pengesahannya dibatalkan, Cipayung Plus Sikka tetap berkomitmen untuk mengawal putusan MK. Mereka khawatir ada upaya lain untuk meloloskan pengesahan RUU Pilkada.
Kepada wakil rakyat di Sikka, mereka menegaskan bahwa aspirasi yang mereka suarakan adalah “aspirasi seluruh rakyat” dan mesti dikawal secara bersama-sama.
“Kami meminta meminta DPR untuk patuh dan taat kepada konstitusi,” tuntut mereka.
Wakil Ketua DPRD Sikka Yosef Karmianto Eri sepakat dengan tuntutan dan aspirasi dari Cipayung Plus Sikka.
Karmianto bilang, pihaknya juga ikut dalam perjuangan mahasiswa dengan sepakat untuk mengirim surat ke DPR RI.
“Kita akan kirimkan surat itu, dan berkoordinasi dengan DPR RI melalui fraksi masing-masing,” tegasnya.
Menanggapi itu, Cipayung Plus mengapresiasi DPRD Sikka karena telah mengambil langkah yang tepat.
“DPRD Sikka sudah ambil sikap dan secara kelembagaan mereka menyatakan patuh kepada putusan MK dan menyatakan menolak revisi UU Pilkada yang dikerjakan ugal-ugalan di Baleg DPR RI,” kata Smith Saputra.
“Tapi, itu bukan berarti perjuangan kita telah selesai. Kami akan terus mengawal persoalan ini dan memastikan bahwa aspirasi kita memang benar-benar dijalankan,” pungkasnya.
Penulis: Risto Jomang