Dari Mendengar ke Menindak: Oras Kula Babong Harus Punya Laporan Publik

Oleh: Rini Kartini

Oras Kula Babong, dalam bahasa lokal berarti saatnya diskusi atau omong-omong, adalah progam baru Pemerintah Kabupaten Sikka yang membuka ruang dialog langsung antara warga dengan Bupati dan Wakil Bupati.

Program yang rencananya akan digelar setiap Senin, Rabu, dan Jumat pukul 10.00-11.00 WITA ini  merupakan inisiatif yang patut diapresiasi.

Di tengah keraguan publik terhadap efektivitas kepemimpinan di Kabupaten Sikka – termasuk kurangnya sinergi antara bupati dan wakil bupati – program Oras Kula Babong bisa menjadi titik balik.

Jika dikelola dengan sungguh-sungguh dan akuntabel, ini bisa menjadi ruang pemulihan kepercayaan, bukan sekedar ritual dengar-pendapat.

Di tengah antusiasme menyambut pelaksanaan program ini, opini ini saya tulis sebagai kerangka awal bagi publik dan pemeritah untuk membaca ulang makna ruang dialog bernama Oras Kula Babong.

Ruang seperti ini sebaiknya tidak hanya menjadi panggung untuk “curhat”, melainkan menjadi mekanisme partisipasi kritis dan konstruktif yang memperkuat relasi antara warga dan negara.

Warga perlu memahami bahwa suaranya  penting, tapi pemerintah juga perlu menyadari bahwa mendengar saja tidak cukup.

Harus ada sistem untuk mencatat, menindaklanjuti dan melaporkan kembali.

Bukan Program Baru, Tapi Harus Lebih Bermakna

Program seperti ini bukanlah hal baru di Sikka. Penjabat Bupati sebelumnya, Adrianus Firminus Parera, pernah meluncurkan program serupa bernama Jam Masyarakat, yang dibuka setiap hari kerja.

Bupati Roby pun pernah mempunyai program Jam Mendengar dengan tujuan yang sama, mendengar “curhatan” warga.

Kini, Oras Kula Babong adalah peluang bagi pemerintah saat ini untuk memperkuat warisan itu – dan menjadikannya bukan hanya ruang dengar, tapi juga ruang kerja yang berkelanjutan dan terdokumentasi.

Secara nasional, program serupa dijalankan melalui “Lapor Mas Wapres”, ruang pengaduan digital yang diluncurkan oleh Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.

Melalui platfrom ini, masyarakat dapat menyampaikan keluhan secara langsung ke pemerintah pusat dan mengikut proses tindak lanjutnya.

Di banyak daerah lain juga ada bentuk dialog seperti “Pojok Aduan Warga”. “Jumat Curhat”, atau “Ngobrol Barenag Wali Kota”.

Pojok Aduan Warga (PAW) di Kupang, resmi diluncurkan pada 11 Juni 2025 lalu oleh Wali Kota Christian Widodo, menjadi tempat warga untuk menyampaikan masalah jalan, ketersediaan lampu, hingga masalah puskesmas.

Tiap aspirasi yang masuk langsung dicatat dan diteruskan ke dinas terkait dalam rentang waktu yang  diumumkan.

Jumat Curhat adalah contoh lain dari kegiatan serupa yang dilaksanakan oleh kepolisian di berbagai daerah seperti Malang (Polres Malang) dan Riau (Polres Rupat) yang berhasil meningkatkan kepercayaan public terhadap dialog rutin dengan masyarakat.

Ngobrol Mbois Ilakes atau NGOMBE, merupakan salah satu gebrakan Pemerintah Kota Malang awal tahun 2024 lalu yang menempatkan masyarakat Kota Malang tak sekedar sebagai objek tetapi juga subjek pembangunan dan mendorong Pemkot Malang memiliki wadah sebagai ruang partisipasi dan diskusi bersama untuk kemajuan kota.

Masing-masing program di atas menunjukkan bahwa upaya membangun partisipasi warga dari akar rumput dapat dimulai melalui forum-forum sederhana, terbuka, dan bersahabat.

Semua itu menunjukkan satu hal penting: dialog hanya akan berdampak ketika suara warga  tidak berhenti di catatan, tetapi ditindaklanjuti secara nyata.

Maka dari itu penting untuk memastikan apakah sistem pelaporan dan tindak lanjut itu benar-benar tersedia dan dapat diakses oleh publik.

Ruang Partisipasi Tanpa Tindak Lanjut Akan Kehilangan Makna

Dalam teori komunikasi pembangunan, ruang partisipasi seperti ini mencerminkan komunikasi dua arah horizontal – dimana pemimpin tidak hanya menyampaikan informasi, tapi juga mendengar dan berdialog.

Gagasan ini sejalan dengan teori komunikasi partisipatif yang dikembangkan oleh Paulo Freire (1970), yang menekankan pentingnya dialog yang setara antara warga dan pemegang kekuasaan.

Jan Servaes (1999) juga menambahkan bahwa komunikasi pembangunan efektif jika berbasis dialogic dan disertai sistem umpan balik (feedback loop) yang memungkinkan warga berkontribusi sebagai subjek, bukan objek perubahan semata. Tanpa itu, ruang dialog akan berubah menjadi seremoni belaka.

Bayangkan jika ada seorang ibu rumah tangga yang datang menyampaikan keluhan soal harga pangan yang naik, atau seorang guru yang mengeluhkan kekurangan fasilitas sekolah di kampung.

Jika mereka sudah datang, bicara, bahkan berharap, lalu tidak ada tindak lanjut yang terlihat atau dilaporkan, kepercayaan mereka bisa runtuh. Dan itu jauh lebih sulit diperbaiki dibanding programnya.

Saatnya Oras Kula Babong Hadirkan Laporan Publik

Saya mengusulkan agar Pemerintah Kabupaten Sikka menyusun Laporan Publik Bulanan Oras Kula Babong, isinya mencakup rekap isu yang paling banyak disampaikan warga, data partisipan berdasarkan wilayah atau kategori sosial, aspirasi yang ditindaklanjuti dan status perkembangannya, kendala teknis yang ditemukan dalam pelaksanaan, rekomendasi atau perubahan kebijakan yang dirancang berbasis masukan warga.

Laporan semacam ini bisa disampaikan secara berkala melalui sosial media resmi pemkab, disiarkan lewat radio lokal (LPPL Suara Sikka), atau bahkan ditempel di papan pengumuman kecamatan dan desa.

Dengan demikain, warga dapat mengetahui bahwa suara mereka tidak menguap, tetapi didengar, dicatat, dan ditindaklanjuti.

Jangan Lupakan Dokumentasi Digital dan Arsip Terbuka

Sebagai pegiat literasi digital, saya melihat peluang menjadikan Oras Kula Babong sebagai bagian dari transformasi digital komunikasi publik lokal.

Dokumentasi berupa video, audio, dan transkrip dapat menjadi arsip sosial daerah, yang dapat ditinjau oleh warga dan digunakan dalam penyusunan kebijakan berikutnya.

Jika dibuat dalam format siaran langsung (live streaming), program ini tidak hanya menjadi forum lokal, tetapi juga bisa menjadi jembatan komunikasi digital antara pemerintah dan warga – termasuk  mereka yang ada di luar daerah.

Contohnya, saat pawai pembangunan dalam rangka memperingati HUT RI ke-79 di Kabupaten Belitung Timur, disiarkan langsung melalui saluran YouTube Diskominfo, sehingga masyarakat di luar pulau – bahkan di Amerika Serikat dan Belanda – ikutan menyaksikan dan merayakan secara virtual.

Pengalaman ini menunjukkan dua hal penting: pertama, warga diaspora Sikka memiliki hak untuk terlibat dalam dialog pembangunan kampunynya, dan kedua, live streaming memperkuat transparansi dan keterbukaan pemerintahan.

Dengan fitur komentar langsung atau chat, warga bisa mengirimkan pertanyaan, masukan, atau bahkan kritik yang real time, bukan hanya menyimak.

Ini sekaligus membangun arsip digital yang dapat dipatau, dianalisis, dan dijadikan bahan evaluasi oleh semua pihak, sehingga Oras Kula Babong benar-benar menjadi ruang publik digital yang berekam dan bermakna.

Dari Simbol ke Sistem

Oras Kula Babong adalah symbol kepemimpinan yang mau mendengar. Tapi simbol harus dilanjutkan dengan sistem – sistem pencatatan, sistem pelaporan, dan sistem tindak lanjut.

Hanya dengan itulah ruang dialog bisa menjadi bagian dari pemerintahan yang akuntabel dan partisipastif.

Kalau pemerintah Kabupaten Sikka serius membangun kepercayaan publik, maka dari mendengar, mereka harus mulai menindak. Dari bicara, mereka harus mulai bekerja bersama. ***

*Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Nusa Nipa dan Pegiat Literasi Digital

spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA