Nepal: Kegelisahan Generasi yang Menolak Dijinakkan

Nepal kini berdiri di persimpangan sejarah yang getir. Negeri yang pernah merayakan euforia transisi dari monarki menuju republik federal, justru kembali terseret dalam lingkaran krisis sosial politik.

Oleh: Edmondus Iswenyo Noang*

Atap dunia yang bernama Himalaya, begitu masyhur dan eksotik, memendam embusan angin badai seolah ingin menyembunyikan luka dari tepian lembah-lembahnya. Menjulang dalam keabadian, menjadi altar ketenangan, namun tidak dengan suara-suara anak muda yang bergulat dengan ketidakpastian. Nepal bergemuruh, tak kalah dahsyat dari ledakan apapun itu, menuntut kepedulian dari para elit bertelinga.

Nepal kini berdiri di persimpangan sejarah yang getir. Negeri yang pernah merayakan euforia transisi dari monarki menuju republik federal, justru kembali terseret dalam lingkaran krisis sosial politik.

Protes besar-besaran meledak setelah pemerintah memberlakukan larangan media sosial, sebuah kebijakan yang dianggap generasi muda sebagai simbol sensor dan represi. Dari jalanan Kathmandu hingga kota-kota kecil, ribuan suara muda menggema menuntut ruang kebebasan, akuntabilitas, dan keadilan.

Namun, gejolak ini bukan sekadar reaksi spontan atas satu kebijakan. Ia adalah akumulasi panjang dari kekecewaan publik: elite politik yang silih berganti tanpa membawa perbaikan, korupsi yang seolah menjadi budaya, serta ekonomi yang stagnan di tengah impitan kebutuhan rakyat. Ketika gedung parlemen dibakar dan hotel-hotel mewah diserang, pesan yang muncul jelas: jurang antara kekuasaan dan rakyat semakin dalam.

Musim Semi di Arab

Euforia pada 2010 bukan hanya tentang Piala Dunia di Afrika Selatan. Benua dengan peradaban dan kekayaan melimpah itu merekam jejak gelombang musim semi yang tidak biasa. Tibalah waktunya menyongsong harapan baru, meski berdarah-darah.

Dengan istilah yang disebut sebagai Arab Spring, ia meletus sejak akhir 2010 menjadi babak baru dalam sejarah politik global.

Di baliknya, anak muda tampil sebagai motor penggerak utama. Dari Tunisia hingga Mesir, generasi yang lelah hidup dalam bayang-bayang pengangguran, represi, dan korupsi turun ke jalan dengan keberanian yang mungkin belum pernah terjadi sebelumnya.

Mereka bukan hanya sekadar peserta, melainkan pencipta ritme perubahan. Alun-alun Tahrir di Kairo, seketika menjadi panggung pentas ribuan anak muda berbagi suara menuntut kebebasan, keadilan, dan masa depan yang lebih layak.

Peran media sosial tidak bisa dipisahkan dari denyut revolusi ini. Facebook, Twitter, hingga YouTube menjadi senjata baru, menggantikan senapan yang selama ini dimonopoli negara.

Melalui layar ponsel, seruan protes menyebar lintas kota dan lintas negara. Gambar represif aparat beredar cepat, membangkitkan solidaritas global sekaligus memperkuat tekad. Generasi muda yang fasih dengan teknologi memanfaatkan ruang digital sebagai arena mobilisasi, sekaligus sebagai perisai moral terhadap propaganda rezim.

Hosni Mubarak, Zine El Abidine Ben Ali, dan Muammar Gaddafi tumbang seketika. Mengenang Gaddafi, rekaman video pemukulannya tersebar luas di jagat maya. Meski beberapa rezim tumbang, jalan menuju demokrasi tidak selalu mulus. Di Libya dan Suriah, harapan berubah menjadi perang saudara. Mesir, mimpi demokrasi sempat singgah lalu kembali redup di bawah bayang otoritarianisme baru.

Arab Spring pada akhirnya memberi pelajaran penting bahwa keberanian anak muda dan kekuatan media sosial bisa membuka pintu perubahan, tetapi konsensus politik, kepemimpinan yang visioner, serta kesediaan merawat demokrasi tetap menjadi kunci agar api revolusi tidak padam sia-sia.

Cermin Retak Demokrasi Asia

Sejak 2021 hingga kini, politik Asia Selatan bergerak bagai gelombang yang tak pernah tenang. Dari Afghanistan hingga Nepal, rakyat menyaksikan bagaimana harapan dan krisis bergantian menandai hari-hari mereka. Kejatuhan Afghanistan ke tangan Taliban membuka babak baru penuh ketidakpastian. Sri Lanka hampir lumpuh akibat krisis ekonomi yang memaksa Presiden Gotabaya Rajapaksa melarikan diri. Pakistan pun diguncang mosi tak percaya yang menjatuhkan Imran Khan. Bangladesh dipenuhi suara mahasiswa yang menolak sistem usang hingga mengguncang kursi kekuasaan PM Sheikh Hasina.

Tetapi tidak ada tempat yang gambarnya lebih tajam daripada Nepal. Suara Gen Z yang mendapat stigma generasi instan justru membahana menuntut bukan hanya penghapusan larangan media sosial, melainkan reformasi struktural yang lebih dalam.

Pada 8 September 2025, larangan terhadap 26 platform media sosial mulai dari Facebook, Instagram, YouTube, hingga X menjadi percikan api, menyulut amarah generasi muda. Bagi mereka, keputusan itu bukan sekadar regulasi digital, melainkan simbol sensor, represi, dan jarak kian lebar antara rakyat dan elite.

Gelombang protes pun meluber ke jalan-jalan Kathmandu, Pokhara, Itahari, hingga Damak. Gedung parlemen dikepung, hotel mewah dan rumah pejabat dijadikan sasaran, sementara udara dipenuhi gas air mata dan dentuman peluru. Simbol-simbol kekuasaan yang selama ini berdiri kokoh mendadak goyah di hadapan keberanian anak-anak muda yang menolak diam.

Korban berjatuhan: sedikitnya 19 nyawa melayang, ratusan luka-luka, bahkan laporan resmi mencatat hingga 30 orang tewas dan lebih dari 1.000 cedera. Banyak di antaranya masih berbaring di rumah sakit, dengan luka tembak di kepala dan dada, luka yang menjadi saksi bisu ketidakpekaan kekuasaan.

Akhirnya, pemerintah mencabut larangan media sosial, tetapi luka yang ditinggalkan terlalu dalam untuk dihapus dengan satu keputusan. Di balik tragedi ini, Gen Z Nepal memperlihatkan satu pesan sederhana namun kuat: demokrasi bukan sekadar teks di konstitusi, melainkan napas yang harus dijaga.

Himalaya boleh berdiri abadi, tetapi negeri di kakinya kini ditantang untuk memilih: bertahan dalam lingkar represi, atau menapaki jalan reformasi sejati yang berani mendengar suara rakyat muda.

Menerjemahkan Buzan & Waever

Regional Security Complex (RSC) ala Barry Buzan dan Ole Wæver sejatinya adalah cara membaca gejolak dunia bukan hanya lewat peta geografis, melainkan melalui denyut ketegangan politik dan keamanan yang merambat secara regional. Kawasan bukan sekadar batas negara. Ia menjadi wadah kolektivitas rasa takut, ancaman, dan kepentingan membentuk ciri khas reginal tersebut.

Arab Spring dan krisis politik Asia Selatan menjadi bukti bahwa kolektivitas itu nyata adanya, meski secara bilateral hubungannya bisa saja berbeda. Lebih mendekati kolektivitas ancaman daripada kedekatan geografis semata.

Membantah Buzan & Waever

Asia Tenggara, kawasan antitesis membantah pemikiran Buzan & Waever. Kedekatan ancaman ternyata tidak berlaku ketika Myanmar yang memicu perang saudara, arus pengungsi, dan tragedi kemanusiaan tidak mendorong respons kolektif kawasan.

ASEAN hanya melahirkan konsensus tanpa gigi, minim implementasi. Sudah punya janji yang namanya prinsip non-intervensi. Begitu pula dengan dinamika Thailand, Filipina, atau Malaysia, gejolak politik yang mengguncang kursi kekuasaan tak pernah menjalar menjadi krisis regional. Bahkan isu sebesar Laut Cina Selatan pun lebih banyak diwarnai oleh rivalitas AS dan Tiongkok daripada kedekatan ancaman negara-negara ASEAN itu sendiri.

“Refleksi tipis-tipis”

Jarak tipis di balik alasan krisis politik Arab Spring, Nepal, dan Indonesia berakar dari ketidakpuasan rakyat terhadap elite karena berjarak dari realitas kehidupan rakyatnya. Korupsi, flexing, pembatasan akses media sosial, menjadi tumpukan bara yang siap untuk dibakar dan menyala. Kesamaan lainnya adalah peran orang muda, mulai dari jalanan Kairo, Kathmandu, hingga Jakarta, generasi muda tampil sebagai motor perubahan.

Media sosial didukung kuatnya literasi digital Gen Y (milenial) dan Gen Z kini menjadi senjata baru dalam menggalang solidaritas lintas batas. Namun, ketiganya juga memperlihatkan satu risiko: perubahan cepat tanpa kesiapan institusi sering berakhir pada kekacauan, ketidakstabilan, atau lahirnya elite baru yang tak jauh berbeda dari yang lama.

Lalu, apa yang harus dilakukan? Jawabannya bukan menutup ruang demokrasi, melainkan memperkuatnya. Pemerintah perlu membangun dialog yang nyata dengan generasi muda, menjawab tuntutan, menata kembali institusi, hindari sekuritisasi, dan memastikan keadilan ekonomi hadir dalam kehidupan sehari-hari.

Sejarah menunjukkan, ketika suara rakyat terus dibungkam, perubahan akan mencari jalannya sendiri dan biasanya lewat jalan yang jauh lebih mahal.

*Penulis adalah pengamat hubungan internasional, alumnus Universitas Indonesia

TERKINI
BACA JUGA
spot_img
spot_img