Ancaman Diabetes dan Gaya Hidup Modern

Angka tersebut memang masih lebih rendah dibanding provinsi lain di Indonesia, namun pola kenaikannya tidak bisa diabaikan, terutama bila dikaitkan dengan perubahan gaya hidup masyarakat yang makin modern.

Oleh: dr. Gita Kharisma Dewi*

Data menunjukkan bahwa Nusa Tenggara Timur tidak lagi “bebas” dari penyakit kencing manis. Studi Sao Da (2023) mencatat jumlah kasus diabetes mellitus di NTT mencapai 74.867 kasus pada 2018, turun menjadi 30.557 kasus pada 2019, dan kembali naik menjadi 33.695 kasus pada 2024.

Angka tersebut memang masih lebih rendah dibanding provinsi lain di Indonesia, namun pola kenaikannya tidak bisa diabaikan, terutama bila dikaitkan dengan perubahan gaya hidup masyarakat yang makin modern.

Contoh nyata terlihat di Kabupaten Ende. Dari Profil Kesehatan Ende tahun 2019, diabetes masih menjadi penyakit degeneratif prioritas dengan 1.098 kasus, dan kasus terbanyak ada di wilayah kerja Puskesmas Roga (98,01 persen), sedangkan paling rendah di Puskesmas Ngalupolo (11,63 persen). Setahun kemudian, 2020, jumlahnya melonjak menjadi 2.045 kasus, dengan angka tertinggi di wilayah Puskesmas Kota Ende.

Melihat tren seperti ini, wajar bila para ahli kesehatan menegaskan bahwa perubahan gaya hidup harus menjadi fokus — karena diabetes bukan penyakit yang muncul tiba-tiba, dan bila dibiarkan ia akan mengambil “bayaran” yang sangat mahal.

Apa Itu Diabetes Mellitus?

Diabetes melitus atau yang biasa disebut sebagai penyakit kencing manis merupakan penyakit metabolik yang ditandai dengan meningkatnya kadar gula (glukosa) dalam darah melebihi batas normal. Kondisi ini terjadi ketika tubuh tidak mampu memproduksi cukup insulin atau ketika sel-sel tubuh tidak lagi merespons insulin dengan baik.

Menurut Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni, 2024), diabetes dapat didiagnosis apabila kadar glukosa darah puasa mencapai ≥126 mg/dL setelah berpuasa minimal delapan jam, atau kadar glukosa darah dua jam setelah tes toleransi glukosa oral (TTGO) dengan beban 75 gram glukosa mencapai ≥200 mg/dL.

Selain itu, kadar glukosa darah sewaktu ≥200 mg/dL yang disertai gejala klasik seperti sering buang air kecil, mudah haus, dan cepat lapar juga menjadi tanda kuat adanya diabetes. Pemeriksaan kadar HbA1c ≥6,5% dengan metode terstandarisasi pun dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis penyakit ini.

Mengapa Diabetes Muncul?

Diabetes tidak muncul secara tiba-tiba, tetapi merupakan hasil dari kombinasi berbagai faktor yang saling terkait — mulai dari genetik, pola makan, hingga gaya hidup modern. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa konsumsi makanan tinggi gula dan karbohidrat sederhana, kebiasaan kurang bergerak, serta kelebihan berat badan merupakan pemicu utama diabetes tipe 2, jenis yang paling sering dijumpai. Lemak berlebih terutama di area perut dapat mengganggu kerja insulin sehingga kadar gula darah sulit terkendali, sementara faktor keturunan turut meningkatkan risikonya pada seseorang yang memiliki riwayat keluarga diabetes.

Saat ini di NTT telah terjadi perubahan kebiasaan makan  yang semakin mempercepat munculnya faktor risiko tersebut. Jika dulu masyarakat terbiasa mengonsumsi jagung titi, ubi-ubian, daun kelor, ikan laut segar, dan hidup aktif melalui bertani, melaut, atau berjalan kaki, kini makanan cepat saji dan minuman manis yang “viral” di media sosial lebih sering dipilih karena mudah dan menggoda.

Pesanan dapat datang hanya dengan satu sentuhan ponsel, disertai pola hidup sedentari — duduk lama, kurang bergerak, begadang menonton drama atau berselancar di media sosial — sehingga tercipta “paket lengkap” pemicu obesitas, gangguan insulin, lalu berujung diabetes.

Ironisnya, kebiasaan makan tradisional yang bergizi dan diwariskan turun-temurun mulai tersisih oleh makanan cepat saji yang hanya populer di layar gawai. Jika tren ini dibiarkan, NTT yang selama ini relatif lebih aman dibanding wilayah lain dapat dengan cepat menyusul provinsi lain dalam angka penyakit kronis.

Dampak Diabetes

Menurut Konsensus Perkeni 2024, diabetes bukan sekadar masalah “gula darah tinggi”. Bila tidak dikendalikan, diabetes dapat merusak banyak organ penting di dalam tubuh. Kadar gula yang terus tinggi dalam jangka panjang (hiperglikemia kronis) dapat merusak pembuluh darah besar maupun pembuluh darah kecil.

Kerusakan pada pembuluh darah kecil bisa menyebabkan retinopati diabetik (kerusakan saraf mata) yang lama-kelamaan dapat membuat penglihatan kabur hingga berujung kebutaan; kerusakan pada ginjal yang dapat berakhir dengan gagal ginjal; serta kerusakan saraf tepi (neuropati) yang menyebabkan kaki mudah luka, sulit sembuh, dan dalam kasus berat bisa berujung amputasi.

Sedangkan kerusakan pada pembuluh darah besar meningkatkan risiko penyakit jantung koroner, stroke, dan gangguan pembuluh darah perifer — inilah sebab utama kematian pada banyak penderita diabetes.

Perkeni 2024 juga menekankan bahwa dampak diabetes bukan hanya pada organ tubuh, tetapi juga pada kualitas hidup sehari-hari. Penderita sering cepat lelah, mudah haus, rentan infeksi, dan menjadi terbatas dalam aktivitas. Luka kecil pun bisa berubah menjadi infeksi berat jika tidak dirawat dengan benar. Selain tekanan fisik, pengeluaran biaya pengobatan dan beban emosional membuat diabetes menjadi penyakit jangka panjang yang memengaruhi bukan hanya pasien, tetapi juga keluarga dan sistem kesehatan di masyarakat.

Langkah Pencegahan yang Realistis

Di tengah kemudahan hidup modern — dari makanan antar daring hingga hiburan tanpa batas di ponsel — menjaga kesehatan memang menjadi tantangan baru bagi masyarakat NTT. Namun, pencegahan diabetes tetap bisa dilakukan dengan langkah sederhana yang dekat dengan kehidupan sehari-hari.

Pertama, mulai dari pilihan makan. Kurangi frekuensi minuman manis, kue basah kemasan, dan makanan cepat saji yang kini mudah dipesan lewat aplikasi. Tidak perlu makanan mahal atau diet rumit — kembali ke pangan lokal NTT justru jauh lebih sehat: jagung titi, ubi-ubian, daun kelor, ikan laut, sayur-sayuran rumahan, serta sambal lu’at yang tidak tinggi gula. Ganti “camilan viral” dengan buah lokal seperti pepaya, pisang, atau jeruk.

Kedua, biasakan tubuh tetap aktif. Aktivitas fisik tidak harus dalam bentuk olahraga di pusat kebugaran. Jalan kaki ke pasar, berkebun, membantu pekerjaan rumah, memikul hasil kebun, atau rutin berjalan pagi mengelilingi kampung sudah cukup membantu menjaga metabolisme tubuh. Kurangi duduk terlalu lama terutama saat menonton drama atau bermain ponsel pada malam hari.

Ketiga, jaga ritme tidur dan stres. Hindari begadang hanya demi menamatkan serial atau berselancar di media sosial hingga lewat tengah malam. Tidur cukup membantu tubuh mengatur hormon insulin secara alami. Redakan stres dengan cara yang sederhana namun umum dilakukan di NTT: berkumpul dengan keluarga, beribadah, mendengar musik, atau sekadar mengambil waktu diam sejenak.

Terakhir, lakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala di puskesmas — terutama bagi yang memiliki riwayat keluarga diabetes, tekanan darah tinggi, atau berat badan berlebih. Deteksi dini sering kali membuat komplikasi besar dapat dicegah jauh sebelum terjadi.

Dengan langkah-langkah realistis tersebut, masyarakat NTT dapat tetap mengikuti perkembangan zaman tanpa kehilangan kendali atas kesehatan. Teknologi dan makanan baru bukan musuh — yang menentukan adalah cara kita menyikapinya. Mencegah jauh lebih murah dan lebih ringan dibanding mengobati. Kesehatan hari ini adalah modal hidup esok hari.

*Penulis adalah dokter di RSUD Wangaya, Denpasar-Bali

TERKINI
BACA JUGA
spot_img
spot_img