Ruteng, Ekorantt.com – Suatu pagi, Rafa bangun pagi-pagi menyiapkan kayu bakar yang sudah kering. Dengan sigap, bocah berumur 10 tahun itu menyalakan api untuk memasak.
Kedua tangannya tampak lincah mengumpulkan setiap jenis kayu bakar di atas tungku api, memastikan api menyala dengan normal.
Rafa harus memastikan ibunya makan tepat waktu, meski dirinya harus cepat-cepat berangkat ke sekolah yang jaraknya sekitar lebih dari dua kilometer dari rumahnya.
Anak bernama lengkap Rafael Momang itu setia merawat ibunya Sabina Jemamu (48) yang menderita sakit stroke. Aktivitasnya di rumah dilakukan saban hari selama ibunya sakit.
“Bisanya saya masak nasi, sayur, dan goreng telur,” kata Rafa, sapaan anak kelas 5 Sekolah Dasar itu kepada Ekora NTT pada Kamis, 18 Desember 2025 sore.
Ia biasanya berjalan kaki ke sekolahnya di Sekolah Dasar Katolik Kumba II. Di sekolahnya, dia beraktivitas seperti biasa dengan teman-temannya, seakan-akan semuanya baik-baik saja keadaan di rumahnya. Rafa tampak tegar.
Bila pulang sekolah anak-anak lain mungkin saja langsung bermain. Namun tidak bagi Rafa. Ketika sampai di rumah, ia justru langsung mencari sayur di sekitar rumahnya, kemudian memasak lalu memberikan makan untuk sang ibu.
Setelah itu mencuci piring. Peran Rafa sungguh menjadi tulang punggung keluarga.
“Saya tidak mau mama tidur dalam keadaan lapar,” ungkapnya.
Rafa rupanya tidak hanya memasak. Ia seringkali memandikan ibunya. Rafa cekata mengelap, lalu menggantikan pakaian ibunya.
Sesekali, ia ke kios, membeli beras untuk kebutuhan sehari-hari. Bila tidak ada uang, mereka biasanya disumbang beras oleh tetangga.
“Saya biasa beli beras 5 kilogram. Beras itu cukup untuk kami makan selama dua minggu,” ucapnya.
Tinggal di Gubuk Sederhana
Rafa dan ibunya tinggal di sebuah gubuk sederhana – beralamat di Cimpar-Ruteng, Kelurahan Laci Carep, Kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai.
Ayah Rafa merantau di Bangka Belitung sudah sejak lama.
Kediaman mereka masih berada di wilayah Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
“Kami tinggal berdua saja,” ungkap sang ibu yang mulutnya terlihat kaku.
Mama Sabina mengaku mengalami sakit stroke sejak Juni 2024. Kala itu, tubuhnya terasa kaku.
Ia hanya baring di dalam kamarnya yang berdindingkam pelupuh bambu. Ranjang tidurnya tampak dibuat seadanya – terbuat dari potongan bambu.
Beberapa pakaian yang gantung di sekitarnya sudah mulai usang, termasuk baju yang dikenakan Mama Sabina.
“Saya di kamar terus, karena saya tidak bisa jalan.”
Ketika awal sakit, ia sempat rawat di RSUD Ruteng, sebuah rumah sakit milik pemerintah di kota itu.
Ia kemudian diwajibkan mengontrol setiap bulannya, juga untuk mendapatkan pengobatan dari dokter.
“Tapi sekarang tidak pergi (ke rumah sakit) lagi,” katanya.
Mama Sabina mulai berhenti minum obat dan mengecek di rumah sakit sejak Maret lalu. Tidak ada yang menemaninnya.

Mimpi Bangun Rumah
Mama Sabina dan anaknya belum memiliki rumah. Gubuk sederhana yang mereka tinggal saat ini milik saudara sepupunya. Sebelum tinggal di rumah itu pada 2023, ia dua kali mengontrak di rumah orang.
“Ini bukan kami punya rumah,” ucap wanita kelahiran 1982.
Jauh sebelumnya, dia sempat tinggal di Bangka Belitung dengan sang suami. Di sana, mereka baru pertama kali bertemu.
Mama Sabina kemudian memutuskan pulang ke kampung halaman untuk beternak babi.
“Mimpi saya, dengan beternak itu saya bisa bangun rumah, selain uang yang dikirim dari suami.”
Rupanya mimpi Mama Sabina kandas saat dirinya mengalami sakit, ditambah lagi dengan himpitan ekonomi yang serba sulit.
Dia sudah melepaskan usaha ternaknya. Hanya bisa duduk di kamar.
Untuk ke kamar mandi, ia hanya dipangku oleh sang ipar yang rumahnya tidak jauh dari kediaman Sabina.
“Saya memang tidak bisa berdaya sekarang,” katanya.
Sang suami berusaha membelikannya tongkat untuk jalan. Namun tidak digunakan karena kondisinya yang tidak bisa berjalan sendiri.
Ia bilang dirinya hanya mendapat bantuan langsung tunai dari pemerintah yang terimanya di kantor lurah dan Pos.
“Dulu empat kali. Sekarang tidak lagi,” pungkasnya.













