Ruteng, Ekorantt.com – Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyoroti meningkatnya kasus kriminalisasi terhadap masyarakat adat di Indonesia selama paruh pertama tahun 2025.
Dalam keterangan resmi yang diterima Ekora NTT pada Sabtu malam, 14 Juni 2025, AMAN menyatakan, pola kriminalisasi terus digunakan negara sebagai alat untuk membungkam suara kritis masyarakat adat terhadap pembangunan yang merusak lingkungan dan ruang hidup mereka.
“Kriminalisasi terhadap perjuangan masyarakat adat telah menjadi pola yang dipakai negara untuk menghentikan sikap kritis dan penolakan masyarakat adat terhadap berbagai agenda pembangunan yang merusak,” kata AMAN dalam pernyataannya.
Selama enam bulan terakhir, AMAN mencatat sedikitnya 120 kasus pelanggaran di wilayah adat. Dari jumlah itu, setidaknya 25 orang pejuang adat dan warga dikriminalisasi dengan menggunakan berbagai peraturan yang dinilai tidak adil.
Beberapa kasus menonjol mencakup kriminalisasi terhadap Mikael Ane di Manggarai Timur; Sorbatua Sialagan dan Djoni Ambarita di Sumatera Utara; delapan warga Suku Soge dan Goban; Afrida Erna Ngato di Maluku Utara; serta Antonius Toni dan Anton Johanis Bala di Sikka, Flores. Mereka disebut tengah menghadapi berbagai bentuk ancaman akibat perjuangan membela hak masyarakat adat.
AMAN juga mencatat dampak serius dari perampasan wilayah adat yang terjadi di berbagai daerah.
Masyarakat adat Ohongana Manyawa di Maluku Utara, Poco Leok, Suku Tukan, Goban di Flores, Cek Bocek di Sumbawa, Kuala Begumit dan Sihaporas di Sumatera Utara, serta masyarakat adat Moi Sigin dan Suku Marind di Papua menjadi sebagian korban dari praktik ini.
Selain itu, masyarakat Dayak Meratus di Kalimantan Selatan, Suku Baliq di Kalimantan Timur, Suku Pagu di Maluku Utara, masyarakat adat Goiso Oinan di Pulau Sipora, Mentawai, serta Kasepuhan Cicarucub di Banten juga mengalami tekanan serupa.
Menurut AMAN, hak-hak masyarakat adat sejatinya telah diakui dalam berbagai instrumen hukum nasional dan internasional. Di antaranya Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, serta berbagai konvensi internasional seperti Konvensi ILO 169 dan Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat.
“Sejak 2014, sedikitnya 11,7 juta hektare wilayah adat telah dirampas,” ungkap AMAN.
Dampaknya tak hanya berupa kehilangan lahan, tetapi juga pemberangusan sistem sosial, politik, ekonomi, dan budaya masyarakat adat. AMAN menilai pembangunan nasional cenderung rasis, diskriminatif, dan berwatak kekerasan.
Pembangunan yang merusak itu, lanjut AMAN, semakin diperparah oleh ketundukan Indonesia terhadap agenda-agenda global seperti perubahan iklim, just transition, SDGs, dan perjanjian ekonomi-politik internasional.
“Hukum dijadikan alat untuk melegitimasi perampasan wilayah adat,” tambahnya.
Tuntutan
Atas situasi ini, AMAN menyampaikan lima tuntutan kepada negara: pertama, menghentikan segala bentuk perampasan wilayah adat, termasuk proyek-proyek yang diberi label Proyek Strategis Nasional (PSN).
Kedua, mengakhiri kekerasan dan kriminalisasi terhadap masyarakat dan pejuang adat.
Ketiga, menuntut netralitas Polri dan TNI serta penegakan prinsip HAM dalam menjalankan tugas di wilayah adat.
Keempat, mendesak pembentukan Undang-Undang Masyarakat Adat dan pencabutan regulasi yang diskriminatif seperti UU Minerba, UU KSDHAE, dan UU Cipta Kerja.
Kelima, meminta pemerintah daerah di seluruh Indonesia segera menyusun kebijakan yang mengakui dan melindungi hak masyarakat adat.
“Kami kembali mengingatkan bahwa salah satu tujuan pembentukan negara Indonesia adalah untuk melindungi tanah air dan tumpah darah,” kata AMAN.
“Sudah saatnya seluruh penyelenggara negara menunjukkan komitmennya melalui tindakan nyata dan pembentukan hukum yang benar-benar berpihak pada masyarakat adat.”