Jakarta, Ekorantt.com – Koalisi Pangan BAIK mengadakan Diskusi Publik Revisi UU Pangan bertajuk “Arah Baru UU Pangan: Memperkuat Lokal dan Sistem Pangan Berdaulat”, Rabu, 11 Juni 2025 di Swiss-Belresidences Kalibata, Jakarta.
Diskusi ini menjadi ruang penting untuk mengawal proses revisi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan agar lebih mendorong kebijakan pangan yang adil, memperkuat pangan lokal, dan responsif terhadap dampak krisis iklim yang semakin nyata di lapangan.
“Revisi UU Pangan adalah peluang untuk memperbaiki arah kebijakan pangan Indonesia. Sudah saatnya kita mengakui peran strategis pangan lokal dalam menghadapi krisis iklim dan membangun ketahanan pangan jangka panjang,” ujar Puji Sumedi selaku Manajer Program Ekosistem Pertanian Yayasan KEHATI.
Menurut Puji, Undang-undang Pangan yang baru harus memberikan perlindungan terhadap keanekaragaman hayati pangan lokal, memberi ruang pada komunitas adat dan petani kecil, serta mendorong keterlibatan aktif generasi muda dalam sistem pangan.
Salah satu sorotan dalam kegiatan ini adalah penyampaian dari local champion Koalisi Pangan BAIK, orang-orang muda yang aktif mengembangkan pangan lokal dan melakukan aksi iklim di daerahnya.
Mereka menyampaikan aspirasi dari tapak terkait tantangan yang dihadapi akibat perubahan iklim, inisiatif yang telah dilakukan sebagai solusi iklim berbasis lokal, serta harapan agar UU Pangan ke depan lebih adil dan berkelanjutan.
“Saya melihat banyak petani mulai kehilangan semangat karena perubahan musim yang tak menentu. Tapi kami di desa juga punya banyak solusi lokal — dari pola tanam tradisional sampai jenis pangan lokal yang lebih tahan iklim. Kami ingin UU Pangan yang berpihak pada kami, petani muda, agar kami bisa terus bertani dan menjaga budaya pangan lokal,” tutur Maria Mone Soge, petani muda dari Desa Hewa, Kabupaten Flores Timur.
Hal ini juga diperkuat oleh Andika, local champion dari Desa Tapobali, Kabupaten Lembata. Andika menyampaikan bahwa di desa setiap hari merasakan dampak iklim yang berubah.
“Tapi kami juga punya pengetahuan lokal dan cara bertahan yang bisa menjadi solusi. Pemerintah perlu mendengar suara kami. Revisi UU Pangan harus menjamin hak petani kecil dan ruang bagi generasi muda untuk memimpin perubahan,” tuturnya.
Dalam diskusi ini hadir pula para pemangku kepentingan seperti Anggota Komisi IV DPR RI Fraksi PKS, anggota Panja Revisi UU Pangan, akademisi, petani muda, organisasi masyarakat sipil, dan komunitas pangan dari berbagai wilayah Indonesia, terutama dari Nusa Tenggara Timur.
Anggota Panja Revisi UU Pangan, Riyono, menyampaikan bahwa pangan lokal adalah pangan masa depan dan harus diutamakan dalam kebijakan pangan.
Masyarakat Adat Dalam Sistem Pangan
Muhamad Burhanudin, Manajer Advokasi Kebijakan Yayasan KEHATI menekankan pentingnya pengakuan dan perlindungan masyarakat adat dalam sistem pangan.
“Masyarakat adat harus diberikan ruang dan kesempatan untuk mengelola wilayah mereka sendiri, misalnya memberikan akses untuk orang muda adat untuk bertani dan mengolah lahan”.
David Ardhian selaku penulis policy brief Sistem Pangan Negara Kepulauan, membahas pentingnya memasukkan perspektif keadilan iklim, keberagaman, kedaulatan pangan, dan transformasi sistem pangan yang berkelanjutan dalam revisi UU Pangan.
David mengatakan bahwa kedaulatan pangan bukanlah konsep yang lahir dari ruang kekuasaan, melainkan tumbuh dari perjuangan panjang petani kecil, nelayan tradisional, dan komunitas lokal dalam mempertahankan hak atas tanah, air, benih, dan budaya pangan mereka.
“Namun sejak dimasukkan dalam UU Pangan 2012, makna sejatinya kian terdistorsi oleh kebijakan sentralistik seperti food estate yang mengabaikan keberagaman lokal, menggusur masyarakat, dan merusak ekosistem,” jelasnya.
“Revisi UU Pangan harus menjadi momentum untuk mengembalikan ruh kedaulatan pangan sebagai hak rakyat, bukan kontrol negara. Ini bukan semata soal produksi dan mekanisasi, tetapi tentang keadilan, keberlanjutan, dan demokratisasi sistem pangan.”
“Sudah waktunya arsitektur kebijakan pangan dibangun dari bawah, mengakui inisiatif komunitas, membuka ruang partisipasi luas, dan berpihak pada solusi lokal dalam menghadapi krisis iklim dan ketimpangan sistem pangan nasional,” pungkasnya.
Isu Strategis
Beberapa isu strategis yang disoroti antara lain dalam diskusi ini antara lain pentingnya integrasi adaptasi perubahan iklim dalam sistem produksi dan distribusi pangan nasional. Kemudian, perlunya afirmasi terhadap keberagaman pangan lokal seperti sagu, sorgum, jagung, dan umbi-umbian.
Disoroti pula dukungan dan insentif bagi generasi muda sebagai produsen, inovator, dan pengambil keputusan dalam sistem pangan. Lalu, perlindungan terhadap hak petani kecil, komunitas adat, dan pelaku pangan lokal.
Kegiatan ini merupakan inisiatif dari Koalisi Pangan BAIK yang terdiri dari Yayasan KEHATI, KRKP, Yayasan Ayo Indonesia, Yayasan Ayu Tani Mandiri, dan YASPENSEL, serta didukung oleh Yayasan Humanis melalui program Voices for Just Climate Action (VCA).
Koalisi Pangan BAIK menegaskan bahwa Revisi UU Pangan harus menjadi langkah nyata untuk melindungi biodiversitas pangan, mendukung regenerasi petani muda, serta membangun sistem insentif dan perlindungan bagi pelaku pangan lokal.
Rekomendasi hasil diskusi ini akan dirumuskan dan disampaikan kepada DPR RI sebagai bahan masukan dalam proses legislasi. Koalisi Pangan BAIK berharap proses revisi UU Pangan dapat memperkuat posisi Indonesia dalam menghadapi tantangan krisis pangan dan iklim, serta mewujudkan sistem pangan nasional yang adil, berkelanjutan, dan berdaulat.