Semana Santa dan Sole Oha akan Didaftarkan ke UNESCO sebagai Warisan Budaya

Larantuka, Ekorantt.com Pemerintah Kabupaten Flores Timur telah mengajukan usulan dua tradisi Lamaholot yakni Semana Santa dan Sole Oha ke Kementerian Kebudayaan RI sebagai warisan budaya tak benda.

Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Flores Timur, Silvester Ongo Toa Kabelen, menjelaskan usulan tersebut telah diterima oleh pemerintah pusat.

Saat ini memasuki tahap verifikasi lapangan oleh Kementerian Kebudayaan RI untuk selanjutnya didaftarkan ke United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO).

“Usulan awal kita ajukan pada bulan Februari 2025 dan telah diterima. Saat ini tim dari kementerian sedang melakukan tahapan verifikasi lapangan di sini,” kata Silvester di ruang kerjanya pada Jumat, 11 Juli 2025.

Ia menjelaskan, kedua tradisi ini memiliki sisi keunikannya tersendiri. Semana Santa adalah perpaduan dari tradisi Katolik dan budaya Lamaholot, sementara Sole Oha sendiri merupakan tarian kolosal yang di dalamnya terdapat tuturan adat atau kenahan-kenapen (Sastra lisan) yang memiliki banyak nilai.

“Tim akan wawancara dengan para narasumber untuk suku-suku pelaksana Semana Santa dan lusa akan dilanjutkan dengan verifikasi lanjutan di Adonara untuk tradisi Sole Oha,” ujar Silvester.

Silvester memperkirakan bila sudah terdaftar di UNESCO, maka akan memberikan keuntungan bagi masyarakat Kabupaten Flores Timur.

Kedua tradisi tersebut akan mendapatkan pengakuan dunia tentang keuniversalan budaya serta dapat menarik perhatian internasional sekaligus sebagai bentuk promosi dan mendapat dukungan finansial untuk pelestarian dari badan UNESCO.

“Kita harapkan agar proses dalam usaha untuk kedua warisan budaya ini dapat berjalan dengan baik hingga proses penetapan di UNESCO,” tutur Silvester.

Ia menyebutkan ada beberapa warisan tradisi budaya Lamaholot yang telah terdaftar dalam Data Pokok Kebudayaan (Dapobud) Kementerian Kebudayaan RI.

Silvester menyebutkan warisan budaya dimaksud yakni, Istana Kerajaan Larantuka, tenun ikat, Sole Oha, kuburan kesultanan dan bendera di Lamahala, rumah adat, Nopin Jaga atau batu bertulis dan fosil manusia purba di Desa Painhaka, Kecamatan Tanjung Bunga.

Komunitas KAHE Maumere dan AGHUMI Bali Kolaborasi Pentaskan Karya “Setali Cahaya” di Maumere

Maumere, Ekorantt.com – Sebuah kolaborasi lintas pulau kembali menyuguhkan karya teater dengan tema mendalam. Komunitas KAHE Maumere bersama Komunitas AGHUMI Bali menghadirkan pementasan berjudul “Setali Cahaya: Pantai dan Perihal yang Tak Sempat Kita Bicarakan”, yang akan digelar di Aula Rumah Jabatan Bupati Sikka, Sabtu dan Minggu, 12–13 Juli 2025.

Pementasan ini menyentuh tema besar yang sarat makna, kolonialisme dan modernisme, dalam dua latar berbeda, Maumere dan Bali. Isu-isu tersebut masih relevan dan kerap menjadi diskursus di berbagai kalangan, mulai dari akademisi hingga masyarakat umum, karena dampaknya yang masih terasa hingga kini.

Ketua Komunitas AGHUMI Bali, Wulan Dewi Saraswati menjelaskan, karya ini mulai digarap sejak 2023.

Ia mendapat inspirasi ketika terlibat dalam forum Temu Teater Monolog di Malang, Agustus 2023, yang mempertemukan 20 seniman dari berbagai daerah untuk mempresentasikan riset cagar budaya masing-masing.

“Pada saat itu, kami memang saling berbagi pengetahuan dan praktik kerja. Saya belum pernah bertemu Rio dan tidak tahu banyak tentang konteks Flores. Jadi yang kami kerjakan betul-betul adalah berbagi informasi dan berkolaborasi menciptakan karya ini,” ungkap Wulan.

Dalam forum tersebut, Wulan mengangkat riset tentang Pura Pencak Petali di Bali, yang kemudian menjadi titik mula dari penciptaan “Setali Cahaya.”

Sementara itu, Rio Nuwa dari Komunitas KAHE Maumere menyumbangkan risetnya tentang situs cagar budaya Liang Bua.

Untuk mendalami materi tersebut, Rio bahkan harus melakukan perjalanan ke Ruteng, Manggarai, dan menginap di museum Liang Bua demi merasakan langsung atmosfer lokasi.

“Risetnya memang untuk pertunjukan. Jadi pendekatannya adalah lebih kepada bagaimana menghidupkan cerita dalam konteks teater,” jelas Rio.

Setelah dipentaskan di Malang dan Ubud pada 2023 dan 2024, karya ini berkembang menjadi semakin kompleks. Proses diskusi yang terus berjalan mempertemukan dua wacana besar yang menjadi inti dari karya ini: kolonialisme dan modernisme.

“Waktu itu, kita bahas isu kolonialisme dan modernisme di Flores dan Bali. Kami menggunakan cerita eskavasi Pater Verhoeven, SVD, dan juga medium tarot untuk menggali narasi ini lebih dalam,” kata Wulan.

Karya ini juga menyinggung isu ekonomi dan pariwisata yang terus masuk dan berkembang di kedua wilayah. Wulan menilai bahwa dua sektor ini tak lepas dari jejak kolonialisme dan cara pandang Eropa terhadap modernisme.

Sebelum tampil di Bali dalam ajang Indonesia Bertutur (Intur), “Setali Cahaya” telah dipentaskan di Maumere pada 2024.

Kini, setelah melalui proses eksplorasi dan penyempurnaan, karya ini kembali dipentaskan di tempat yang sama dengan pendekatan yang lebih kolektif.

Pementasan kali ini melibatkan berbagai perspektif, baik dari sisi penulis, aktor, hingga tim produksi. “Setali Cahaya” bukan sekadar panggung sejarah, tapi juga ruang refleksi terhadap berbagai isu global: dari konflik, identitas, kapitalisme, hingga dampak pariwisata.

Rio menyampaikan harapannya agar pertunjukan ini memberi cara pandang baru terhadap berbagai isu yang diangkat.

“Kami ingin pertunjukannya lebih segar, tidak hanya soal membaca sejarah, tetapi juga membuka percakapan tentang masalah yang kita hadapi saat ini, perang, identitas, perebutan lahan, kapitalisme, dan pariwisata yang begitu kompleks,” ujar Rio.

Pementasan ini mendapat dukungan dari Yayasan Kelola, lembaga yang aktif mendukung pengembangan seni pertunjukan di Indonesia.

Sebuah Pelajaran Menjadi Guru: Mengenali Diri Lebih Dulu

Oleh: Erlyn Lasar

Dalam salah satu sesi bimbingan yang cukup menegangkan, saya dibuat terdiam oleh satu pertanyaan yang dilontarkan pembimbing saya di akhir pertemuan: “Anyway, who are you, really?”

Raut wajah mereka tetap tenang, seperti biasa, seolah pertanyaan itu wajar saja dilemparkan setelah satu jam diskusi metodologi yang rumit.

Tapi saya tahu, itu bukan pertanyaan iseng. Ia datang seperti tamu tak diundang yang mengetuk kesadaran. “Sudah satu semester lebih saya dibimbing, dan sekarang mereka masih bertanya siapa saya?” batin saya. Tapi di situlah justru letak kekuatannya.

Pertanyaan itu menggantung, sekaligus menyulut harapan. Saya merasa diajak masuk lebih dalam, bukan hanya ke soal-soal penelitian, tetapi ke dalam lapisan paling awal dan paling jujur dari kerja pendidikan: mengenali diri. Dan semakin saya renungkan, pertanyaan itu sebenarnya sangat relevan untuk siapa pun yang berdiri di depan kelas.

Siapa kita, sungguh-sungguh, sebagai manusia, sangat memengaruhi siapa kita sebagai guru. Sebab setiap guru membawa cerita hidupnya ke dalam kelas: nilai-nilai yang ia hidupi, pengalaman masa kecil yang membekas, guru-guru yang menginspirasi atau menyakiti, luka yang belum sembuh, pun harapan yang belum padam. Semua itu ikut duduk juga di bangku guru bersama kita, kadang diam-diam, tapi terus bekerja dalam setiap keputusan pedagogis yang kita ambil.

Parker J. Palmer, dalam bukunya The Courage to Teach (1998), berulang-ulang menekankan tentang kesadaran, tentang narasi pribadi yang sebenarnya sungguh mendasari bagaimana seorang guru mendidik.

Ia mengatakan, “we teach who we are”: kita mengajar dari siapa diri kita, bukan sekadar dari apa yang kita ketahui. Kalimat ini sederhana namun cukup menukik. Sebab kita bisa menguasai teori pendidikan dan strategi pembelajaran, tapi kalau kita tak pernah menengok ke dalam dan bertanya: siapa saya sebenarnya, dan mengapa saya memilih jalan ini? maka proses mengajar bisa saja berubah jadi sekedar aktivitas mekanis belaka.

Sayangnya, sistem pendidikan kita jarang memberi ruang untuk pertanyaan-pertanyaan eksistensial seperti itu. Guru lebih sering dilatih untuk menyusun RPP yang sesuai format, mengejar ketercapaian indikator, atau menyesuaikan gaya ajar dengan profil peserta didik berbasis data. Semuanya penting, tentu. Tapi terlalu lama kita bergerak di permukaan, dan lupa bahwa di bawah semua teknik mengajar itu, ada dimensi batin yang jauh lebih menentukan yakni narasi pribadi seorang guru.

Narasi pribadi ini bukan sekadar biografi. Ia adalah cara kita mengisahkan hidup kita, bagaimana kita memaknai masa lalu, apa yang kita anggap penting hari ini, dan untuk siapa kita melangkah ke depan, dalam kerangka menjadi seorang pendidik.

Dalam riset-riset pendidikan, seperti yang digagas Kelchtermans dan Palmer misalnya, narasi ini terbukti sangat memengaruhi bagaimana guru mengambil keputusan, merespons konflik, mengelola perbedaan, bahkan memahami “keberhasilan” peserta didik di kelas.

Guru yang pernah merasa ditolong oleh seorang guru lain, cenderung hadir lebih empatik di kelas. Guru yang pernah tumbuh dalam sistem yang menekan, mungkin akan lebih sadar untuk menciptakan ruang belajar yang bebas dan manusiawi. Ini bukan soal teknik, tapi soal cara memaknai peran dan hubungan dengan peserta didik. Dan ini semua lahir dari narasi diri yang jujur.

Kabar baiknya, narasi itu bukan sesuatu yang baku. Ia bisa diolah, dipertanyakan, ditulis ulang, dan dibentuk ulang dengan sadar. Melalui refleksi, melalui percakapan jujur antar guru, melalui tulisan pribadi, atau bahkan lewat momen-momen hening di ujung hari mengajar yang melelahkan. Kita bisa mengolah narasi itu agar makin jernih, otentik, dan memberdayakan.

Sebab melalui refleksi mendalam, dialog sejawat, menulis jurnal harian, atau praktik pedagogi naratif, guru bisa terus bertanya dan menyusun ulang cerita tentang dirinya. Bahkan luka atau kegagalan pun, jika dilihat secara reflektif, bisa menjadi sumber makna baru.

Palmer menyebut proses ini sebagai inner work, atau kerja ke dalam, yang tak kalah penting dari kerja ke luar. Mengapa ini penting? Karena sekali lagi, otentisitas guru terasa di ruang kelas. Peserta didik bisa membedakan guru yang hadir dengan tulus dan guru yang sekadar menjalankan peran. Guru yang mengenal dirinya akan lebih mudah menciptakan ruang aman bagi murid untuk juga mengenal dirinya sendiri. Dan dalam dunia yang kian penuh tekanan sosial ini, kemampuan menjadi diri sendiri adalah bekal hidup yang sangat berharga.
Tentu ini bukan perkara mudah. Tak semua guru punya waktu, ruang, atau keberanian untuk menengok ke dalam. Tapi membangun narasi yang jujur bukan berarti membuka semua luka. Ia justru soal menerima kompleksitas diri: bahwa kita pernah gagal, pernah ragu, pernah marah, dan itu manusiawi. Justru dari situ kehangatan muncul, bukan dari kepura-puraan.

Lagi-lagi, tentu ini bukan proses yang instan sebab tak semua guru punya ruang untuk merenung, apalagi menuliskan ulang narasi hidupnya. Tapi sekolah dan lembaga pendidikan bisa mulai menciptakan ruang kecil: sesi-sesi refleksi yang sungguh-sungguh, bukan sekadar formalitas dan laporan supervisi; komunitas pembelajar yang saling mendengarkan, bukan saling menilai apalagi saling membentuk kubu; dan pelatihan yang menghidupkan kembali semangat, bukan sekadar keterampilan teknis. Karena guru bukan hanya pelaksana kurikulum, ia adalah manusia yang tengah menjalani proses pembentukan dirinya sendiri, terus-menerus.

Lagipula, mengajar adalah kerja hati, bukan hanya kerja otak. Dan hati itu dibentuk dari perjalanan panjang yang kita lalui sebagai manusia. Maka mari kita mulai melihat tugas kita sebagai guru bukan hanya dari tentang teknis mengajar saja, tapi juga dari cerita hidup yang kita bawa ke kelas, secara jujur dan sadar. Karena di balik setiap pelajaran yang sampai ke peserta didik kita, selalu ada kisah yang lebih besar, kisah tentang bagaimana menjadi manusia.

Bagi kita para guru, Palmer menulis, “Good teaching comes from the identity and integrity of the teacher.” Dan identitas dan integritas itu tumbuh dari keberanian untuk menengok ke dalam. Maka, sebelum bicara soal kurikulum, asesmen, atau teknologi pengajaran, barangkali kita perlu lebih dulu menjawab satu pertanyaan penting: Who are you, really? Sebab dari situlah semuanya bermula, pembelajaran yang kita harapkan sungguh memanusiakan manusia itu.

*Erlyn Lasar.Mahasiswa di Melbourne.

Desa Kerirea Luncurkan Mobile Digides demi Pelayanan yang Mudah dan Cepat

0

Ende, Ekorantt.com – Pemerintah Desa Kerirea, Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende, Provinsi NTT resmi meluncurkan pelayanan berbasis digital dengan menggunakan aplikasi Mobile Digides pada Kamis, 10 Juni 2025.

Pemanfaatan aplikasi digital merupakan bentuk komitmen Pemerintah Desa Kerirea dalam mewujudkan pelayanan yang mudah dan cepat.

Kepala Desa Kerirea, Urbanus Benga Karo, mengatakan bahwa digitalisasi merupakan hal yang penting dalam meningkatkan mutu pelayanan bagi masyarakat.

Program desa digital, kata Urbanus, tertuang dalam visi misi kepemimpinannya selama delapan tahun.

“Ini kan salah satu program prioritas desa berkaitan dengan inovasi desa,” ujarnya.

Melalui program digitalisasi desa, segala urusan masyarakat dimudahkan karena inti dari aplikasi Mobile Digides adalah kantor desa di setiap rumah.

“Masyarakat bisa mengajukan segala keperluannya yang berkaitan dengan surat menyurat tanpa harus ke kantor desa,” jelas Urbanus.

Layanan aplikasi Digides, kata Urbanus, bisa diakses oleh masyarakat di manapun mereka berada.

“Jadi kalau anak-anak sekolah dan yang sedang kuliah ketika butuh surat-surat seperti surat keterangan tidak mampu, tidak perlu ke kantor desa, dia bisa langsung buat pengajuan melalui aplikasi Digides dan akan diproses oleh operator desa,” terangnya.

“Lewat handphone, masyarakat bisa mengajukan permohonan layanan surat menyurat tanpa harus ke kantor desa,” lanjut Urbanus.

Aplikasi Mobile Digides juga membuka ruang bagi masyarakat untuk menjual dan mempromosikan hasil komoditinya.

Urbanus menambahkan, aplikasi ini menjadi bentuk transparansi sebab masyarakat bisa mengakses informasi program dan pembangunan di desa. Masyarakat juga bisa menyampaikan aspirasi dan pengaduan langsung kepada pemerintah di desa.

“Di era sekarang kita harus mampu mengikuti perkembangan zaman termasuk pelayanan berbasis digital,” kata dia.

Kendati begitu, Urbanus bilang bahwa ada kendala dalam memaksimalkan pelayanan berbasis digital yakni jaringan internet yang belum memadai.

“Saat ini, kita dibantu jaringan internet Bakti namun ketika mendung agak susah,” ujarnya.

Karena itu, Urbanus akan berkoordinasi dengan Dinas Kominfo Ende agar bisa membangun jaringan internet di desanya itu.

Tingkatkan Mutu Pelayanan

Aswar selaku Fasilitator Digides, mengatakan bahwa peluncuran desa digital adalah langkah besar dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan yang baik dan transparan.

“Di Ende, Desa Kerirea adalah desa yang pertama menggunakan layanan digital menggunakan aplikasi Digides mobile,” ujarnya.

Kehadiran layanan Digides  membantu dan memudahkan pemerintah desa dalam memberikan pelayanan bagi masyarakat.

Layanan Digides juga dapat membantu pemerintah desa dalam mempromosikan potensi, baik itu potensi ekonomi maupun potensi pariwisata.

“Aplikasi Digides membuka peluang bagi para investor untuk berinvestasi di desa dan dapat meningkatkan pertumbuhan perekonomian masyarakat desa,” jelas Aswar.

“Pelayanan yang bagus dari desa adalah cerminan dari bagaimana Indonesia yang sebenarnya,” tuturnya.

Yohanes Kristoforus Era selaku tokoh muda desa setempat, mengapresiasi langkah Pemerintah Desa Kerirea menghadirkan program desa digital.

Program desa digital diyakini bisa membantu masyarakat dalam hal layanan administrasi sekaligus promosi potensi di desa.

“Jadi kalau keluarga kita yang merantau bisa melihat progres pembangunan yang ada di desa melalui aplikasi tersebut,” tuturnya.

Ia berharap program tersebut bisa berjalan maksimal sehingga kebutuhan masyarakat dilayani dengan baik.

Bank NTT Bajawa Lakukan Aksi Donor Darah Sambut Hari Ulang Tahun

0

Bajawa, Ekorantt.com Bank NTT Cabang Bajawa melakukan aksi sosial donor darah di Bajawa, Kabupaten Ngada pada Kamis, 10 Juli 2025. Aksi ini dilakukan dalam rangka menyambut hari ulang tahun ke-63 Bank NTT pada 17 Juli mendatang.

Pimpinan Bank NTT Cabang Bajawa, Devideris D.H Seso mengatakan bahwa pihaknya mengandeng Palang Merah Indonesia (PMI) dalam melaksanakan aksi donor darah.

“Ini merupakan bentuk kepedulian kita terhadap kebutuhan masyarakat khususnya darah,” kata Devideris.

Bakti sosial tersebut, kata dia, dilaksanakan setelah adanya keluhan masyarakat terkait kebutuhan darah di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Bajawa.

“Kita sering mendengar kekurangan darah, sehingga kita berharap dengan adanya kegiatan bisa membantu masyarakat yang membutuhkan transfusi darah,” ujarnya.

Selain pegawai Bank NTT, Devideris bilang, aksi donor darah juga melibatkan masyarakat, pegawai pemerintah, dan anggota DPRD Ngada.

Devideris menargetkan 50 kantong darah. Harapannya, aksi donor darah menjadi agenda tetap yang akan dilakukan setiap tiga bulan.

Ketua PMI Kabupaten Ngada Romilus Juji mengapresiasi komitmen Bank NTT, yang tidak saja bergerak di bidang perbankan maupun ekonomi masyarakat, namun terlibat dalam aksi kemanusiaan.

“Kami menyampaikan terima kasih, meskipun sibuk dengan kegiatan perekonomian masyarakat, tapi masih bergerak juga aksi kemanusiaan,” kata Romilus.

Di bawah kepemimpinannya sebagai ketua PMI Ngada, Romilus berkomitmen menjadikan aksi kemanusiaan seperti itu menjadi agenda utama.

Bupati Ngada, Raymundus Bena, yang juga ikut dalam aksi tersebut, mengatakan bahwa kegiatan donor darah menjadi bentuk edukasi kepada masyarakat agar peduli terhadap sesama.

Ia berharap Bank NTT Cabang Bajawa terus berbenah demi pelayanan yang terbaik kepada masyarakat.

“Sehingga sejalan dengan moto Bank NTT yakni melayani lebih sungguh,” pungkasnya

Kopdit Pintu Air Dukung Penyelenggaraan Festival Pesona Lewomada

Maumere, Ekorantt.com – Manajemen KSP Kopdit Pintu Air mendukung penyelenggaraan Festival Pesona Lewomada yang berlangsung selama tiga hari berturut-turut sejak 9 hingga 11 Juli 2025. Festival ini diselenggarakan di Desa Lewomada, Kecamatan Talibura, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Dengan mengusung tema “Soga Lewo”, kegiatan ini menjadi momentum penting bagi Kopdit Pintu Air untuk menyapa langsung anggota-anggotanya yang tinggal di wilayah pedesaan, sekaligus mengampanyekan pentingnya hidup berkoperasi, terutama bagi masyarakat di daerah terpencil.

“Kami diundang oleh Pemerintah Desa Lewomada untuk mendukung kegiatan ini. Namun, saya tidak ingin menyebut Pintu Air sebagai sponsor. Sebut saja kami mendukung kegiatan tersebut,” ujar Ketua Pengurus KSP Kopdit Pintu Air, Yakobus Jano kepada Ekora NTT pada Kamis, 10 Juli 2025.

Lebih lanjut, Jano menyampaikan terima kasih kepada Pemerintah Desa Lewomada atas kepercayaan yang diberikan kepada Kopdit Pintu Air dengan menyediakan ruang khusus untuk memamerkan produk-produk hasil sektor riil koperasi kepada masyarakat.

Produk-produk tersebut di antaranya adalah air mineral kemasan, garam beryodium, sabun, serta berbagai jenis pembersih lantai dan perlengkapan dapur. Produk-produk ini merupakan hasil karya anggota koperasi sendiri.

“Kami memiliki kewajiban untuk memperkenalkan produk anggota kepada sesama anggota maupun masyarakat luas. Daripada menggunakan produk dari luar, lebih baik kita manfaatkan hasil produksi sendiri,” jelas Jano.

Sementara itu, Kepala Desa Lewomada, Dominikus Pondeng, mengatakan bahwa Festival Pesona Lewomada tidak hanya melibatkan Pemerintah Kabupaten Sikka, tetapi juga Pemerintah Kabupaten Flores Timur. Hal ini karena Desa Lewomada merupakan wilayah perbatasan yang memiliki banyak kesamaan budaya dengan Kecamatan Demon Pagong di Flores Timur.

Dominikus mengakui sempat merasa khawatir mengenai kelangsungan festival tahun ini. Namun berkat dukungan dari berbagai pihak, termasuk Kopdit Pintu Air, acara dapat terlaksana meski masih ada beberapa kekurangan.

“Kami menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung, khususnya kepada pengurus Kopdit Pintu Air yang telah membantu panitia, sehingga kegiatan ini bisa berjalan dengan baik,” ucapnya.

Ia berharap Festival Pesona Lewomada dapat terus dilaksanakan setiap tahun. Festival ini kini telah ditetapkan sebagai agenda tahunan oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Sikka.

Terranusa Kritik Tajam Laporan Satgas Geotermal Flores, Minim Fakta dan Keberpihakan

0

Ruteng, Ekorantt.com – Laporan investigasi Satuan Tugas Penyelesaian Masalah Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Pulau Flores menuai kritik tajam dari lembaga Terranusa Indonesia. Laporan itu disampaikan dalam Rapat Koordinasi Uji Petik yang digelar di Hotel Harper, Kota Kupang, Jumat, 4 Juli 2025.

Satgas ini dibentuk oleh Gubernur Nusa Tenggara Timur, Melki Laka Lena, untuk merespons berbagai penolakan masyarakat terhadap proyek-proyek geotermal di wilayah tersebut.

Terranusa, lembaga yang fokus pada isu hak asasi manusia dan demokrasi, mengaku telah menerima sejumlah dokumen digital dari hasil presentasi satgas tersebut.

Direktur Eksekutif Terranusa Indonesia, Emilianus Afandi, mempertanyakan integritas dan objektivitas laporan itu.

“Laporan ini diberi embel-embel diksi ‘investigasi’. Sebuah langkah baik namun hasilnya minim fakta dan keberpihakan,” kata Emilianus dalam keterangannya yang diterima Ekora NTT, Kamis, 10 Juli 2025.

Menurutnya, sejak awal pembentukan tim satgas tersebut, pihaknya telah menyuarakan kekhawatiran atas kurangnya keterlibatan kelompok independen.

Ia menilai komposisi tim yang didominasi oleh unsur pemerintah membuat laporan sulit dipercaya publik.

“Bagaimana mungkin sebuah laporan itu diterima publik apabila di dalam tim adalah orang-orang pemerintahan, yang justru dipandang sebagai sumber masalah, baik dari aspek kebijakan maupun pendekatan proyek,” lanjut Emilianus.

Dari enam lokasi pengembangan panas bumi yang dikunjungi, Atadei, Sokoria, Mataloko, Ulumbu, Wae Sano, dan Nage, Terranusa mempertanyakan validitas data dan sumber informasi yang digunakan dalam laporan tersebut.

Di Ulumbu, misalnya, Emilianus menyoroti keberpihakan laporan pada kelompok pendukung proyek.

“Ambil contoh Ulumbu. Laporan tersebut hanya memperlihatkan aksi dukungan dari kelompok yang pernah mengungkapkan bahwa mayoritas massa aksi pendukung geotermal adalah bukan orang Poco Leok asli,” ungkapnya.

Ia juga menyayangkan tidak dimasukkannya temuan KfW Development Bank yang menyoroti adanya pelanggaran terhadap prinsip Free, Prior, Informed, and Consent (FPIC) di lokasi tersebut.

Lebih jauh, Terranusa mengkritik laporan karena dinilai abai terhadap keberadaan masyarakat adat dan hak-hak mereka.

Emilianus menyebut, laporan tidak mengandung perspektif Indigenous Peoples Plan (IPP), yang semestinya menjadi bagian dari proses perencanaan pembangunan.

“Jangan-jangan, para peneliti satuan tugas ini tidak pernah tahu atau bahkan mengingkari adanya entitas masyarakat adat yang hidup di berbagai lokasi proyek tersebut,” katanya.

Emilianus juga menilai laporan terkait PLTP Atadei dan Ulumbu membingungkan dan memunculkan lebih banyak pertanyaan ketimbang jawaban.

“Ambil contoh laporan terkait PLTP Atadei dan Ulumbu. Di dalam bagian rekomendasi disinggung terkait tokoh adat. Akan tetapi tidak dijelaskan apakah ada Indigenous Peoples Plan (IPP),” tegasnya.

Sorotan lain adalah ketiadaan pembahasan mengenai pendanaan proyek panas bumi, termasuk potensi keterlibatan entitas asing.

“Tim juga tidak menyinggung apakah terdapat skema Geothermal Resource Risk Management (GREM) World Bank melalui PT Sarana Multi Infrastruktur (PT SMI) yang diakses oleh PT PLN?” tukasnya.

Menurutnya, hal ini sangat krusial mengingat keterlibatan lembaga pembiayaan internasional mensyaratkan kepatuhan pada standar perlindungan hak-hak masyarakat adat.

Secara metodologis, laporan juga dianggap bermasalah. Emilianus menilai waktu penelitian terlalu singkat, sumber informasi kurang diverifikasi, serta netralitas tim diragukan.

“Masa waktu penelitian yang menurut kami kurang, verifikasi informasi dan sumber informasi, netralitas dan objektivitas tim satuan tugas merupakan pertanyaan kunci atas laporan tersebut,” beber Emilianus.

Ia mencontohkan kasus Poco Leok di Ulumbu. Menurutnya, laporan tidak mengakui adanya penolakan mayoritas masyarakat adat terhadap pengembangan proyek PLTP Ulumbu 5-6.

“Apa arti laporan ini bagi kami? Tidak lebih dari sebuah upaya pemaksaan kehendak agar setiap rencana pembangunan geotermal di Flores diterima karena dinilai baik, tidak menjadi masalah apabila ada pelanggaran HAM di sana,” jelasnya.

Lebih jauh, ia menilai laporan itu justru berpotensi memicu konflik horizontal baru ketimbang meredamnya.

“Dengan kata lain, menyedihkan!” tegas Emilianus.

Sebagai informasi, Pulau Flores telah ditetapkan sebagai Pulau Panas Bumi oleh Kementerian ESDM melalui Keputusan Menteri ESDM Nomor 2.268 K/30/MEM/2017 tertanggal 19 Juni 2017.

Sejumlah proyek geotermal seperti di Ulumbu, Poco Leok, Wae Sano, Mataloko, dan Sokoria, masih terus menghadapi gelombang penolakan dari masyarakat setempat, termasuk lembaga keagamaan.

Indeks Ruang Terbuka Hijau di Sikka Masih di Bawah Standar

0

Maumere, Ekorantt.com – Indeks ruang terbuka hijau (RTH) di Kabupaten Sikka masih di bawah standar. RTH merupakan area memanjang  atau mengelompok yang penggunaannya ditumbuhi pepohonan baik secara alami maupun ditanam.

Fungsinya adalah untuk menyerap kadar karbondioksida (CO2), menambah oksigen, menurunkan suhu dengan keteduhan dan kesejukan tanaman, menjadi area resapan air, serta meredam kebisingan.

“Indeks RTH kita masih di bawah dari yang ditetapkan pemerintah, sehingga butuh penanaman banyak pohon ke depannya. RTH perkotaan masih 13,9 persen, sedangkan secara kabupaten masih 9 persen,” kata Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sikka Gaudensius Nong Pio saat ditemui di ruangannya, Selasa, 8 Juli 2025.

Angka tersebut terbilang sangat jauh di bawah rata-rata minimal RTH dalam sebuah daerah, yakni 30 persen. Kata dia, pemerintah punya komitmen untuk membuka ruang terbuka hijau dalam kota Maumere dengan menanam sebanyak mungkin pohon agar standarnya dapat terpenuhi dan menjaga kualitas lingkungan hidup di kota dan seluruh kabupaten.

“Kita mengajak semua pihak untuk lakukan penanaman pohon. Kita butuh banyak pohon. Rencana ke depannya akan dioptimalkan taman kota dan sejumlah jalur jalan, serta akan dibuat taman kecamatan dan kelurahan,” jelasnya.

Target tahun 2025, kata Nong Pio, akan dibuka taman depan Gelora Samador, taman belakang Gelora Samador, serta taman Lingkar Luar arah barat.

Pantauan Ekora NTT, ketersediaan pohon dalam kota Maumere semakin menipis. Sejumlah jalur seperti jalan Gadjah Mada dan jalan anggrek hampir tanpa pohon. Sementara di jalan Pramuka, dan jalan Ahmad Yani semakin berkurang karena adanya penebangan.

Kata Nong Pio, pepohonan di beberapa jalur yang membutuhkan pembangunan trotoar jalan terpaksa harus ditebang, dengan alternatif pengganti menggunakan pot-pot bunga besar.

Larangan Menebang Pohon

Dinas Lingkungan Hidup melarang masyarakat serta pihak manapun untuk menebang pohon secara semena-mena. Bagian Pengendali Dampak Lingkungan DLH Sikka, Florentina Oro mengatakan masyarakat hanya dibolehkan untuk memangkas rantingnya, bukan menebang.

“Semua aktivitas itu harus mengajukan izin terlebih dahulu ke DLH. Kami akan survei dan menentukan tindakan yang tepat. Pihak lain tidak boleh melakukannya sesuka hati,” kata Florentina.

Pihaknya cukup menyayangkan adanya tindakan dari masyarakat dan beberapa pihak perusahaan seperti PLN yang dengan sengaja menebang pohon tanpa pemberitahuan.

“Butuh waktu lama agar pohon bisa tumbuh besar. Makanya kita selalu anjurkan dilakukan pemangkasan. Kecuali di jalur atau tempat tertentu yang mengharuskan untuk ditebang, baru dilakukan penebangan. Siapapun yang lakukan penebangan wajib menggantikannya dengan anakan pohon yang baru,” jelas Florentina.

Florentina mengharapkan masyarakat untuk tidak menebang pohon sembarangan, serta bahu membahu bersama pemerintah untuk lakukan penanaman di masing-masing area privat maupun di area untuk kepentingan publik seperti di mata air.

Kebakaran di Likong Gete, Empat Rumah Ludes Dilalap Api

0

Maumere, Ekorantt.com – Kebakaran melanda pemukiman di wilayah Desa Likong Gete, Kecamatan Talibura, Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) pada Kamis pagi, 10 Juli 2025. Insiden itu menyebabkan empat rumah warga setempat ludes dilalap api.

Penjabat Kepala Desa Likong Gete, Heribertus mengatakan bahwa api merambat hingga ke lima unit rumah warga.

“Yang hangusnya empat, satunya masih utuh karena rumah tembok,” kata Heribertus sembari menambahkan bahwa dirinya belum mengetahui penyebab terjadinya kebakaran.

Menurut pengakuan warga, api diduga berasal dari rumah kosong yang berlokasi di belakang Masjid Al Muhajirin. Penghuninya sedang berada di pasar.

Dalam sekejap, nyala api membesar hingga merambat ke bangunan rumah lain.

Melihat kejadian itu, warga berlarian untuk menyelamatkan diri sembari mengamankan barang-barang rumah tangga.

Mereka juga berusaha memadamkan api dengan peralatan seadanya. Namun kobaran api yang terus meluas dengan bantuan angin kencang tak bisa dibendung. Mereka kewalahan.

Iriana, warga Desa Likong Gete, mengatakan bahwa dirinya kaget melihat nyala api yang membesar. Ia tidak tahun dari mana sumber api berasal.

“Karena angin, api merambat cepat. Saya punya rumah tingkat, kena di bagian atas,” kata Iriana.

Kini, petugas pemadam kebakaran, dibantu warga setempat, telah memadamkan api di lokasi kejadian. Sementara itu, korban berharap bantuan dari pemerintah.

Operasi Gabungan di Ende Jaring Kendaraan yang Belum Bayar Pajak

0

Ende, Ekorantt.Com – Satuan Lalu Lintas (Satlantas) Polres Ende mengadakan operasi gabungan bersama UPT Pendapatan Daerah (Bapenda) Kabupaten Ende, Dinas Perhubungan (Dishub), dan Jasa Raharja Cabang Ende sejak 7 hingga 10 Juni 2025.

Kegiatan yang digelar selama empat hari tersebut menyasar kelengkapan surat kendaraan seperti Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), Surat Izin Mengemudi (SIM), serta kelengkapan kendaraan lainnya seperti helm, kaca spion, dan pelat nomor. Dalam pelaksanaannya, petugas juga menjaring kendaraan yang belum membayar pajak kendaraan.

“Ini hari ketiga operasi kami, dan kami menggandeng dinas-dinas teknis lainnya,” kata KBO Satlantas Polres Ende, Ipda Efraim Y. Mosa Rago kepada Ekora NTT pada Rabu, 9 Juni 2025.

Efraim bilang, operasi gabungan bertujuan untuk menekan angka kecelakaan lalu lintas di wilayah Kabupaten Ende. Selain itu, operasi juga mendukung upaya Pemerintah Provinsi NTT dan Kabupaten Ende dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui pajak kendaraan.

“Kami juga menargetkan kendaraan yang belum membayar pajak, untuk segera melakukan kewajiban mereka,” ujarnya.

Selama operasi, puluhan kendaraan terjaring, baik roda dua maupun roda empat. Pada hari pertama, sebanyak 40 kendaraan terjaring, sementara pada hari kedua jumlahnya meningkat menjadi 43 kendaraan, termasuk tujuh kendaraan roda empat.

“Pengendara yang tidak menggunakan helm mendominasi pelanggaran, disusul pengendara yang tidak melengkapi surat-surat kendaraan dan kaca spion. Semua kendaraan ini ternyata belum membayar pajak,” tutur Efraim.

Ia mengingatkan masyarakat bahwa selain pengendara, penumpang juga wajib memakai helm sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 291 Ayat 2 Undang-undang Lalu Lintas.

Sementara itu, Kepala UPT Pendapatan Daerah Kabupaten Ende, Abdulgani Rasyd Tokan, mengatakan bahwa operasi tersebut berdampak positif terhadap penerimaan pajak kendaraan bermotor di Ende.

“Operasi ini sangat efektif dalam meningkatkan kesadaran masyarakat. Pada hari pertama, kami berhasil mengumpulkan pajak kendaraan sebesar Rp10 juta, dan pada hari kedua mencapai Rp9 juta,” terang Tokan.

“Penerimaan kita sampai bulan ini mencapai Rp8 miliar, dengan opsen sebesar Rp2,6 miliar itu sudah diserahkan ke Bapenda Kabupaten Ende,” tambahnya.

Target penerimaan pajak kendaraan pada 2015, kata dia, sebesar Rp34 miliar. Ia berharap operasi gabungan dapat terus berlanjut untuk mendorong masyarakat lebih patuh dalam membayar pajak.

Tokan mengapresiasi kepada semua pihak yang terlibat dalam operasi gabungan dan berharap sinergi antar-lembaga mampu mendongkrak pendapatan asli daerah, terutama dari sektor pajak kendaraan.

Tokan pun mengimbau masyarakat untuk segera memenuhi kewajiban pajak kendaraan. Pajak nantinya akan membiayai pembangunan daerah yang pada selanjutnya bermanfaat bagi masyarakat.