Maumere Kota Sampah?

Oleh: Rian Naur*

Wajah kota Maumere setiap musim penghujan “bopeng” akibat sampah di pekarangan rumah, pinggiran kali, selokan, badan jalan, laut, dan kompleks pertokoan. Sebuah pemandangan yang lazim dari tahun ke tahun.

Begitu memasuki kota nyiur melambai ini, kita akan disambut sampah yang terlihat tergenang dan berserakan di mana-mana.

Sampah-sampah yang tergenang dan berserakan itu terjadi akibat luapan air hujan di musim hujan. Belum lagi sampah-sampah yang disimpan lama dan dibiarkan membusuk pada musim kemarau.

Para petugas dan masyarakat yang turun membersihkan pun selalu menemukan kesulitan. Sudah sejak lama, sampah adalah salah satu penyakit akut yang belum secara serius diatasi oleh semua pihak di Maumere.

iklan

Layakkah Maumere disebut kota sampah?

Hemat saya, wajah “bopeng” kota Maumere ditengarai tiga fakta. Pertama, di musim penghujan, Maumere pasti sumpek akibat sampah. Bukan perkara baru, kita melihat wajah kota Maumere saat seperti itu.

Setiap tahun di bulan penghujan, akan ditemukan banyak sampah yang “merakyat.” Sampah-sampah itu merupakan hasil luapan air, yang oleh masyarakat dibiarkan menumpuk di drainase, pekarangan rumah, atau di lokasi sampah.

Kedua, Maumere masih terganggu oleh aroma bau sampah. Tidak hanya di saat musim penghujan, ketidakberesan masalah sampah terjadi hampir setiap hari.

Pada musim kemarau, misalnya, di sudut kota, kompleks pertokoaan, pasar, badan jalan, kali mati, dan bahkan di pelataran kantor berbagai jenis sampah berjubel.

Keluhan terbesar masyarakat dari waktu ke waktu adalah masalah sampah dan bau yang dihasilkannya. Ekora NTT sempat memberitakan masalah penumpukan sampah di sekitar area patung Kristus Raja Maumere.

Sampah di sebelah timur Patung Kristus Raja menggunung. Kita dibuat tercengang dengan fakta penumpukan sampah di tempat sakral.

Bupati Sikka, Robi Idong pun geram. Bahkan dirinya mengeluarkan kata marah dan benci jika masih melihat sampah berserakan.

Di manakah hati nurani masyarakat yang melihat sampah bukan sebagai masalah yang mendesak?

Pertanyaan ini, menghantar kita pada persoalan ketiga yang paling mendasar. Sudah enam tahun, saya tinggal kota ini. Saya melihat persoalan yang sama dari tahun ke tahun.

Setiap musim penghujan, sampah meluap dan mendatangkan bau yang tidak sedap dan mengganggu aktivitas.

Menurut saya, persoalan utama ialah kesadaran masyarakat yang lemah, selain ketidakberesan pengaturan pengairan selokan dan normalisasi drainase oleh dinas lingkungan hidup dan dinas pekerjaan umum.

Simbol Kota

Drainase adalah salah satu simbol kota. Di sebuah kota, simbol kemajuan tidak hanya ditunjukkan oleh lampu mewah yang kemerlap seperti di taman kota dan banyaknya tugu yang terpajang, tetapi juga ditandai oleh tata kelola drainase yang baik dan benar.

Sayangnya, normalisasi drainase sejauh ini belum terlihat jelas di Maumere. Salah satu simbol kota itu diabaikan.

Bahkan tidak terurus dan dibiarkan tergerus oleh sikap egoisme masyarakat. Pembiaraan itu kemudian membangkitkan sikap apatis masyarakat. Masyarakat tidak mengerti dan kerap membuang sampah di drainase.

Drainase bukan tempat pembuangan akhir sampah. Juga bukan tempat “jorok” yang pemanfaatannya dilakukan secara tidak manusiawi.

Keberlangsungan sebuah organisme ditentukan dari hubungan yang harmonis antara manusia dan lingkungan hidup. Pemanfaatan drainase secara benar akan turut memengaruhi cara pandang masyarakat.

Bagaimana mengubah cara pandangan apatis masyarakat?

Penyadaran kepada masyarakat pertama-tama ditanamkan oleh pihak keluarga, kedua, oleh pemerintah, dan ketiga oleh sekolah.

Tiga lembaga ini perlu bersinergi dan berkolaborasi melakukan sosialisasi dan kegiatan sadar lingkungan.

Lalu, apakah dengan melakukan normalisasi drainase dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya perawatan lingkungan akan meluluhlantahkkan sikap egois masyarakat?

Jawabannya, Ya. Sebab, itu jalan satu-satunya.

Menormalisasi drainase harus segera dilakukan di Kota Maumere. Sebab, sudah banyak drainase yang tertutup dan tergerus. Peningkatan kesadaran masyarakat perlu dilakukan dengan pelbagai cara.

Cara yang paling ketat sekalipun, misalnya, membuang sampah sembarangan didenda. Atau diberi sanksi administratif bagi yang melakukan pencemaran lingkungan.

Oleh karena itu, pemerintah harus menetapkan kebijakan yang tegas. Di tingkat provinsi, denda terhadap pelaku pembuang sampah secara sembarangan sudah diberlakukan oleh Gubernur Viktor Laiskodat.

Ia menindak tegas pelaku pembuangan sampah sembarangan. Selain itu, Pemerintah Kabupaten Sikka harus gencar menanamkan pendidikan tentang pengolahan dan pemanfaatan sampah di sekolah, masyarakat, dan instansi.

Pendidikan bisa dilakukan dengan membangun kerja sama antara dinas lingkungan hidup, lembaga bank sampah Maumere, dan pegiat-pegiat lingkungan hidup.

Misalnya, diwajibkan sehari dalam seminggu seluruh sekolah dan aparatur sipil negara (ASN) di Maumere turun ke lokasi sampah. Tujuannya, membersihkan dan mengangkut sampah di lokasi-lokasi “darurat” sampah seperti di Pasar Alok, kompleks pertokoan, dan kali mati.

Sudah saatnya Maumere berbenah. Jangan menunggu saat musim penghujan baru dilakukan penanggulangan.

Caranya adalah perketat regulasi sampah, menormalisasi drainase, dan membuat sosialisasi berkala di sekolah dan lingkungan masyarakat.

Dinas lingkungan hidup dan dinas pekerjaan umum tidak bekerja di kantor, melainkan mesti bertanggung jawab memperhatikan drainase dan sampah-sampah. Kita tentu tidak ingin menyebut Kota Maumere sebagai kota sampah.

*Rian Naur, wartawan Ekora NTT

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA