Mengenang Sebuah Perjalanan Kecil ke Kampung

Maumere, Ekorantt.com – Jalanan lengang membelah jejeran hutan dan aneka tumbuhan di sisi kiri dan kanannya. Meskipun terik siang cukup menyengat, suasana di pedalaman itu tak menunjukkan pertanda apa-apa.

Yang ada malahan embusan angin sepoi-sepoi, hawa sejuk dan bunyi derap langkah kaki orang-orang kampung yang tengah beraktivitas.

Kendaraan yang lalu lalang pun amatlah sedikit. Saya mengendarai sepeda motor dan Pak Agus duduk di belakang saya.

“Ini sudah Nirangklung, Nong,” katanya kepadaku singkat.

Barangkali dia ingin memperkenalkan saya soal tanah leluhurnya.

iklan

Toh ini merupakan kali pertama saya menginjakkan kaki di desa yang berada di sebelah barat dari ruas jalan trans Flores Ende-Maumere ini.

Kami memang mesti melewati beberapa desa dulu sebelum memasuki area Nirangkliung. Tentu saja kondisi jalannya tak mulus sebagaimana di wilayah-wilayah perkotaan. Lubang menganga membentuk kubangan.

Pun bebatuan dan kerikil menghias pada badan jalan. Meskipun di lokasi pusat Nirangkliung sendiri, aspal masih terbentang cukup awet.

“Sudah jauh lebih baik daripada beberapa tahun lalu,” Pak Agus angkat bicara seperti tahu apa yang ada di dalam tempurung kepala saya.

Tapi, saya sebetulnya tak terlalu memedulikan itu. Yang lebih membikin nikmat ialah ihwal situasi perjumpaan saya dengan orang-orang Nirangkliung itu sendiri.

Anda tahu, setelah beberapa lama berkendara, kami tiba juga di rumah kediaman orang tua Pak Agus. Beberapa orang saudara/i-nya menyambut kami.

“Moat guru, bawa koran ko?” Sebuah pertanyaan langsung dikuncurkan dengan sunggingan senyum manis dan jabat tangan sebagai bentuk keramahtamahan.

Mendengar kalimat itu, saya sesungguhnya merasa heran serentak takjub. Mungkin juga malu. Ada orang yang tinggal di kampung dan bertanya tentang koran. Tentu bagi saya, ini percakapan yang tak biasa.

Baiklah, saya ikuti saja alur percakapan mereka.
Sekilas kemudian, Pak Agus mengeluarkan beberapa edisi koran Ekora NTT dan memberikan kepada mereka.

“Ini, baca-baca!” ujar dia, sedikit pongah memang, sambil membagi-bagikan lembaran cetak itu.

Awalnya, saya masih malu-malu untuk mengeluarkan bicara.

Tapi, sebagai tamu- orang baru di situ- tentu tak baik bila saya hanya memakukan diri seperti patung.

“Bapa, mereka di sini suka baca koran juga ko?” demikianlah kata-kata pertama yang keluar dari mulut saya. Setelah kopi dihidangkan.

“Iya Pa, kami selalu ikuti juga ew perkembangan di kita punya daerah ini,” saudara Pak Agus menimpali.

Saya mengangguk-angguk, tak canggung lagi dan suasana pun segera akrab.

Kami lantas membincangkan beragam hal. Mulai dari urusan politik yang lagi hangat-hangatnya, hingga situasi keseharian yang terjadi di kampung Nirangkliung.

Tentu, keluhan, celotehan, hingga pandangan hidup masing-masing kami lontarkan.

Dan, entah dirasuki oleh pikiran apa, saya tiba-tiba ceplos bilang begini, “Enak ew tinggal di kampung. Suasananya santai dan tidak hiruk-pikuk seperti di kota.”

Semua yang ada di situ tersenyum tipis, kecuali Pak Agus yang memang sudah makan garam dengan kehidupan dunia ini. Baik di kampung, maupun di kota.

“Ya, kami di kampung begini sudah. Tidak terlalu banyak pikiran. Lebih banyak urus kebun, hehehe,” lelaki tadi memberikan jawaban.

Dan suasana kembali diam. Saya lanjut minum kopi sambil mencari-cari jaringan ponsel, saudara Pak Agus membaca koran, saudarinya mengurus salah satu ponakan yang baru pulang sekolah dan Pak Agus sendiri memberikan wejangan-wejangan kepada mereka.

Tak berapa lama, kami lalu meneruskan perjalanan untuk mengikuti sebuah acara. Tak jauh dari rumah induk keluarga Pak Agus.

Di sana, percakapan yang terjadi lain lagi.
Pada saat jam makan siang, saya duduk di bagian belakang rumah, ditemani beberapa orang bapak. Mereka ramah sekali. Mungkin sebagai bentuk rasa respek terhadap orang baru atau karena saya adalah seorang jurnalis.

Saya tak mau mereka-reka kesimpulan segala macam.

Selanjutnya, kami, terutama saya, makan dengan lahap. Menu lokal tersedia; rumpu-rampe, ubi dan pisang, kuah asam, juga daging.

Dan satu yang tak luput, yakni moke, minuman alkohol tradisional masyarakat Flores. Sungguh, itu menjadi salah satu perjamuan makan siang terbaik yang pernah saya alami.

Bila di rumah sebelumnya percakapan kami berlangsung santai, di rumah kedua ini topiknya mulai panas.

Beberapa anggota keluarga Pak Agus datang merapat di sekitar kami dan mulai menyampaikan apa yang ada di dalam pikiran mereka. Ada yang bercerita soal pengalaman mereka waktu merantau, ada yang memberikan analisis soal kontestasi perpolitikan lokal, ada juga yang membicarkan masalah rumah tangga mereka.

Tentu saja saya pun mendengarkan secara saksama. Sesekali saya mengutarakan pandangan.

Tapi, yang membuat saya terkesan adalah soal pembicaraan ‘apa adanya’ dalam diri orang-orang tersebut. Apa yang ada dalam pikiran mereka disampaikan begitu saja. Benar atau salah, baik atau buruk, itu lain soal.

Kadar alkohol perlahan-lain naik dalam kerongkongan seiring dengan makin gencarnya moke yang terteguk.

Kebersamaan kami kian hangat. Saya masih lebih banyak menyimak. Saya perhatikan di dapur, ibu-ibu dan bapak-bapak sibuk menanak nasi, meniup api, memotong daging juga membersihkan peralatan makan. Semuanya riang gembira, walaupun wajah mereka bercucur peluh.

Saya sebenarnya merasa iri. Sudah lama sekali saya tak merasakan situasi macam itu. Ketika masih kecil dan tinggal di rumah nenek di daerah Tebuk, Nita, saya masih sempat terlibat ataupun mengalami momen-momen kebersamaan tersebut.

Namun, setelah pindah ke daerah di pinggiran kota Maumere, situasi kian berubah. Orang-orang sepertinya lebih sibuk memikirkan diri mereka sendiri. Bekerja dan mengurus rumah tangganya masing-masing.

Tentu tak dapat dimungkiri, di kampung mana saja, kebersamaan hidup memang selalu jadi salah satu kata kunci.

Laku hidup orang-orangnya adalah antitesis atas realitas yang selalu mengedepankan individualisme dan kepentingan orang per orangan.

Namun, saya sangka, itu bukan berarti orang-orang kampung hidup tanpa punya masalah. Setiap kelompok masyarakat sudah barang tentu memiliki persoalannya masing-masing.

“Nong, mari sudah kita pulang,” Pak Agus memanggil saya. Saya tersadar dan rupanya moke sudah lima kali putaran.

TERKINI
BACA JUGA