Maumere, Ekorantt.com– Dalam catatan perjalanannya yang terbit di Koran Tempo, seorang sahabat menulis begini: Maumere bagai sebuah kampung kota. Ada banyak ciri kota dalam pembangunan fisik (pusat perbelanjaan, tugu, dan monumen) serta bentuk pertukaran informasinya melalui banner-banner iklan produk maupun bursa calon legislatif. Di tempat yang sama, saya masih menemukan interaksi sosial yang menunjukkan kuatnya sifat guyub laiknya sebuah komunitas tradisi.
Maumere tua adalah tanah lapang luas dengan sebuah tempat sandaran kapal-kapal dagang yang kerap disebut Alok Wolokoli. Alok Wolokoli menjadi tempat pertemuan para pedagang asal Sikka Krowe dengan pedagang Bugis, Makassar, Maluku dan Kompani Belanda.
Di pinggirannya, orang-orang Makassar membangun gubuk-gubuk yang kemudian mereka tinggali. Lama-kelamaan lokasi ini berkembang menjadi pasar barter. Kerap terjadi huru-hara akibat gencarnya transaksi penyelundupan candu, obat bius, dan obat bedil di pasar kecil itu.
Pinggiran pantai yang luas dan indah, yang secara visual melekat pada pengenalan orang-orang tentang Alok Wolokoli ini kelak menjadi cikal bakal nama Maumere itu sendiri. Dan kota pelabuhan seakan memiliki nasibnya sejak awal dalam sejarah.
Dalam serba keterbatasan infrastruktur komunikasi, kota pelabuhan mau tak mau menjadi pintu utama segala pertukaran berita. Ia menjadi ruang yang melayani interaksi sosial berbagai ragam kultur. Tidak hanya transaksi ekonomi berlangsung di sana, tetapi juga pola-pola tingkah laku, ragam tutur dan bahasa, perkakas-perkakas, artefak-artefak material, dan idiom-idiom budaya, serta kebiasaan-kebiasaan. Ia semacam menjadi celah masuk sekaligus agen perubahan.
Meski demikian, Maumere tua bukanlah pusat peradaban dan kebudayaan. Ia hanyalah pasar. Tempat perjumpaan orang-orang seturut jadwal tertentu. Ia tidak sejak awal menjadi tempat diam satu komunitas kultural yang spesifik. Tak ada corak atau sisa-sisa arstitektur kampung adat di pusat kota Maumere sekarang, seperti di Bena, Ngada atau di Hubing-Wolomude misalnya.
Tak ada rujukan material yang kuat, selain sarung-sarung yang memang lebih mudah berpindah. Kampung-kampung dan komunitas adat lebih banyak dijumpai di wolon-wolon, atau kloang-kloang yang letaknya lebih jauh ke pelosok, di daerah dataran tinggi. Beberapa komunitas kultural yang lebih kecil ada di daerah pesisir, seperti Wuring atau Bebeng, tempat diam orang-orang dari suku Bugis dan Bajo.
Praktik kebudayaan Maumere bergerak mengikuti kultur populasi dominan orang-orang yang kerap berinterkaksi dan tinggal di tempat ini. Kebudayaan Krowe, tentu.
Tradisi, nilai-nilai, dan praktik-praktik kebudayaan yang hidup, paling dominan bersumber dan terproyeksikan pada kultur Krowe ini, selain beberapa kultur lain, dengan populasi yang lebih kecil yang juga diam dan hidup bersama seperti Lio, Bajo, Bugis, Palue, dan Krowin. Kultur Krowe kemudian menjadi semacam identitas budaya (dominan) bagi Maumere, bagi Kabupaten Sikka pada umumnya.
Lalu urbanisasi bergerak cepat. Semakin banyak orang datang dan berdiam di Maumere. Kios-kios dan ruko-ruko orang Makassar dibangun di mana-mana. Toko-toko orang China. Warung-warung orang Jawa. Para turis dan wistawan. Teknologi berkembang dan dengan segera menyerbu manusia-manusia. Anak-anak tak lagi bermain gogor ban, tekong, heti, boy. Tangan mereka memegang handphone, menonton youtube atau bermain game online.
Sudah jarang terdengar musik gong waning, atau musik kampung suling dan gambus. Speaker-speaker di angkutan kota memutar ST12, Deijeh Emil, K-Pop, hingga Coldplay dalam waktu bersamaan. Festival budaya, karena memang tidak digarap dengan konsep yang jelas dan matang, akan selalu kalah bersaing dengan Festival Jazz atau konser-konser rokok. Sanggar-sanggar budaya sepi, Near dan Karna Su Sayang viral, menembus angka hampir 100 juta penonton.
Sementara itu berlangsung, corak pengembangan kebudayaan kita cenderung bersifat turistik. Pantai Koka, Bukit dan Tanjung Kajuwulu, Hutan Manggrove dipromosikan dimana-mana. Sementara dari waktu ke waktu, abrasi kian parah. Debet air berkurang. Suhu udara kian panas. Sampah bertebaran dimana-mana.
Kita memang tak harus cukup berbangga dengan wisata alam yang kerap diagung-agungkan sementara visi pembangunan manusia dan praktik tradisi kita lupakan. Ini ibarat kubur batu pualam. Indah di luar, tetapi amis dan tinggal daging yang membusuk di dalam. Alam, bagaimana pun tetap terbatas. Sementara manusia, lebih cenderung mudah berkembang biak, beranak pinak memenuhi muka bumi.
Lalu bagaimana kita mengidentifikasi diri dan melihat identitas budaya kita di sini dan saat ini? Hibridasi terjadi di hampir segala aspek. Watak kebudayaan kita telah berubah, seiring perubahan yang terjadi pada masyarakat kita. Yang dianggap orisinil dan yang datang dari luar hampir tak lagi punya batas. Perdebatan tentang seni dan ragam budaya yang esensial dan yang profan tak lagi relevan.
Kenyataan-kenyataan produksi budaya berubah, seiring berubahnya pola-pola konsumsi dan distribusi. Semuanya bercampur, bersilang sengkarut. Menjadi youtubers hip-hop mungkin lebih menjanjikan dari pada bermain musik kampung. Namun, bukan tidak mungkin pula keduanya serentak berlangsung. Bermain musik kampong dengan sentuhan hip-hop dan menayangkannya di youtube.
Kita mungkin butuh melihat kembali strategi kebudayaan kita. Sebelum semua terlambat, dan kita menjadi kota tanpa identitas budaya yang jelas, tidak juga konservatif, tidak juga progresif, tidak juga sintesis dari keduanya. (Eka P. Nggalu, kolumnis lepas)