Hewuli, Ekorantt.com- Entah dengan cara apa kami kabarkan berita kepada para pemangku kebijakan tentang betapa sulitnya warga eks pengungsi letusan Gunung Rokatenda di Pemukiman Bukit Sion, Kelurahan Hewuli, Kecamatan Alok Barat, Kabupaten Sikka mengakses air bersih.
Tulisan a la features sudah. Berita straight news sudah. Foto sudah. Khusus di Harian Ekora NTT, hanya berita dalam rupa video belum kami kabarkan. Pusparagam berita lainnya sudah kami kabarkan. Oleh karena itu, tulisan di bawah ini akan dibuat dengan cara yang agak lain.
Untuk kesekian kalinya, pesan singkat masuk ke ponsel redaksi Ekora NTT, Selasa (26/3/2019). Bunyinya, “Kekurangan air sudah empat hari, Kk. Air keluar hari Jumat, tetapi kecil sekali. Sebelum itu, 1 Minggu tidak keluar. Kami hanya tadah air hujan saja.”
Warga eks pengungsi Rokatenda di Bukit Sion sudah biasa mengalami kekurangan air. Air tidak keluar selama empat hari berturut-turut sudah biasa. Seminggu bahkan sebulan tidak keluar juga sudah biasa. Bahkan untuk beberapa anak manusia di sana, hujan adalah sarana untuk bergembira ria. Mereka mandi air hujan.
“Kami rasa bahagia sekali kalau mandi air hujan, Kk. Sekalian mandi,” ungkap seorang remaja yang tidak mau namanya dikorankan.
Akan tetapi, alam selalu punya cara agar mereka tetap bisa hidup di bumi manusia ini. Saat hujan turun, mereka akan tadah air hujan. Hasil tadahan air hujan digunakan untuk keperluan mandi, cuci, dan kakus (MCK).
Bahkan, kalau air bersih tak kunjung keluar dari pipa, mereka tidak segan-segan minum air hujan. Oh! Tak takutkah mereka pada epidemi penyakit yang bisa saja merenggut nyawa kalau mereka minum air hujan?
Atau sudah begitu kebalkah sistem organ tubuh mereka seperti laiknya bukan homo sapiens sehingga tak mempan pada kuman penyakit suatu pun?
“Iya, terus mau bagaimana? Tidak ada air. Kita mau panjat timbang di bak penampung tidak bisa. Karena baknya di tengah kebun orang. Apalagi tanaman sudah besar-besar. Mau atau tidak mau minum pakai air hujan,” ungkap Noni, gadis 24 tahun asal Palue yang sedang menghabiskan masa liburan di Bukit Sion.
Jawaban Noni memberi kita satu kesadaran baru, tetapi serentak menyingkap soal lain yang jauh lebih raksasa.
Pertama, minum air hujan bukanlah hobi warga Bukit Sion. Sebaliknya, minum air hujan terpaksa mereka lakukan karena mereka tidak punya air bersih untuk diminum. Mereka terpaksa minum agar bisa hidup. Kalau tidak minum air hujan, mereka akan mati. Minum air hujan adalah persoalan atau hidup atau mati.
Kedua, minum air hujan terpaksa dilakukan warga karena akses mereka ke air bersih dibatasi. Di Bukit Sion, satu-satunya ruang publik tempat mereka timba air adalah bak penampung air di tengah pemukiman.
Akan tetapi, bak penampung air itu berada tepat di tengah kebun seorang tuan tanah bernama Ernawati, bekas anggota DPRD Sikka. Warga tidak bebas timba air di sini. Sebab, di atas kebun itu, sudah ditanami tanaman. Warga tidak bisa timba air pada siang hari. Jika berani timba di siang hari, maka akan ada perkelahian. Maka, bak pencuri, warga timba air pada malam hari.
Kesadaran baru yang tercipta bukanlah kesadaran umum, melainkan kesadaran kelas (class consciousness). Kesadaran kelas menunjuk pada insafnya seorang individu tentang fakta bahwa di masyarakat selalu terbagi atas dua kelas.
Yang satu adalah kelas pekerja (the workers), sedangkan yang lainnya adalah kelas pemodal (the borgouise). Kelas pemodal adalah kelas yang menguasai alat-alat produksi, sedangkan kelas pekerja adalah kelas yang tidak memiliki alat-alat produksi. Dalam masyarakat agraris, alat produksi utama adalah tanah.
Dalam masyarakat ini, kelas pemodal adalah tuan tanah, sedangkan kelas pekerja adalah para penggarap dan tani miskin. Untuk bisa bertahan hidup, kelas pekerja menjual tenaga kerjanya, satu-satunya modal yang ia punyai, kepada kelas pemodal. Sebagai imbalannya, kelas pekerja memperoleh upah. Kelas pekerja berada di bawah kendali kelas pemodal. Relasi kuasa yang tidak seimbang ini menyebabkan kelas pekerja akan selalu rawan dieksploitasi.
Sebab, kepentingan kelas pemodal bertentangan dengan kepentingan kelas pekerja. Kelas pemodal ingin mengakumulasi kekayaan dengan biaya produksi serendah-rendahnya. Sementara itu, kelas pekerja ingin mendapatkan upah setinggi-tingginya. Bla-bla-bla… Hingga suatu saat kaum sosialis mengimpikan suatu masyarakat tanpa kelas dengan cara menghapus kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi.
Di negeri impian itu, berdirilah suatu negeri di mana warganya berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. Suatu negeri di mana keadilan sosial meresap di setiap pori-pori tubuh warga negara. Suatu mimpi yang hingga era Revolusi Industri 4.0 ini belum terwujud.
Di Hewuli, kita saksikan dengan mata yang nanar, negeri impian itu masih sangat, sangat, sangat jauh panggang dari api.